Garis Terdepan

Rini Lakmita Dewi
Chapter #9

Lembaran Masa Lalu

Zidan akhirnya menginap dirumahku semalam, Ia tidur disofa diruang tengah, katanya jagain ember kalo airnya penuh. Gara – gara Zidan menginap Aku jadi bangun kesiangan, karena semalam kita bertiga tidur dini hari karena asyik bermain kartu uno. Aku sudah bilang Mike kalo hari ini Aku datang terlambat dan Ia tidak perlu menjemputku karena Aku berangkat diantar Zidan.

Jam menunjukan pukul 06.30, Aku masih mengeringkan rambutku yang basah karena baru keramas, Zidan juga sedang menikmati kopinya, Ibu sedang menyiapkan sarapan untuk kami, sedangkan Danisa Ia masih tidur nyenyak dikamarnya.

“Gue bantuin apa, biar Lu ngga telat?”. Tanya Zidan padaku.

“Sepatu udah disiapin didepan, barang – barang juga udah ditas semua, tinggal bantuin kipasin Gue aja nih”.

Zidan melemparku menggunakan roti tawar yang Ia sedang makan. “Memanfaatkan moment, kebiasaan”.

Aku tertawa.

“Ini bekelnya udah Ibu bawain satu – satu ya buat sarapan”. Kata Ibu dengan membawa 2 kotak makan. “Kamu kerja nak?”. Tanya Ibu pada Zidan, si anak bujangnya.

“Iya Bu, lagi jaga pagi”.

“Yaudah berangkat, entar telat lho”.

“Ini nunggu tuan puteri Dania, lama banget”. Gerutu Zidan yang membuat Ibu langsung menatapku tajam.

“Iya ini udah siap”. Aku langsung bangkit dari dudukku. “Dania berangkat ya Bu”. Kataku sambil mencium tangan Ibu.

“Saya pamit ya Bu, makasih Bu tebengan tidurnya”. Kata Zidan yang juga mencium tangan Ibu setelahku.

“Ibu yang makasih sama kamu Nak”. Ibu mengusap punggung Zidan. “Kalo anak Ibu mau sama kamu, aman selalu Ibu”. Tambah Ibu sambil menatapku.

“Danisa kan udah punya pacar Bu”. Jawabku. “Udah ah Bu, udah siang”.

“Iya hati – hati ya anak – anak Ibu”. Kata Ibu padaku dan Zidan sambil melambaikan tangannya.

“Assalamualaikum Bu”. Pamit Zidan sambil menganggukan kepalanya. “Salam sama Danisa ya Bu”.

“Waalaikumsalam, hati – hati ya Nak”.

***

“Kenapa parkir disini sih?’. Omelku pada Zidan saat kami sudah sampai dimobilnya. Zidan memarkirkan mobilnya di masjid sebelum masuk keperumahanku, jadi kami membutuhkan waktu sekitar 7 menit berjalan kaki.

“Kalo parkir didepan rumah Lu semalem, kebanjiran mobil Gue yang ada”.

Iyasih saluran air didekat rumahku sering mampet dan membuat air menggenang cukup tinggi ketika hujan turun.

“Udah bilang Kania?”. Tanyaku pada Zidan sambil merias wajahku.

“Soal apa?”.

“Berangkat bareng Gue”.

“Kenapa Gue harus bilang?”.

“Lu ada niat jadian engga sih sama Kania?”. Tanyaku lagi pada Zidan, kali ini sambil menatapnya.

Zidan menaikan kedua bahunya. “Engga tahu, kalo sekarang sih engga, besok juga kayanya masih engga, besoknya lagi juga engga”.

“Lu phpin anak orang?”. Aku menatap Zidan tajam.

Zidan menoleh kearahku sebentar kemudian fokus lagi kejalan. “Engga, orang Gue niatnya nambah temen, ya kalo jodoh ya jadi pasangan, kalo engga ya masa mau dipaksa”.

Aku mencubit perut Zidan.

“Sakit”. Zidan menepis tanganku dari perutnya. “Kenapasih? Tau tau nyubit”.

“Jangan sok ganteng, awas aja macem – macem sama Kania”.

Zidan tertawa. “Gue kalo mau macem – macem mending sama Dania deh, kekuatannya imbang, macan lawan macan”.

Aku menonjok pelan lengan Zidan. “Engga jelas”.

“Sama kaya Lu, engga jelas”.

“Siapa yang engga jelas?”. Aku memicingkan mataku, memfokuskan pandangku pada Zidan. Kalo Zidan bilang, ini tatapan maut yang mengancam.

Lihat selengkapnya