Jumat, 8 Mei 1998 malam.
“Sial, mereka ada dimana-mana!” maki Aditya Tawamila sambil tersengal-sengal. Ia dan juga Edwin Rumengan terpisah dari kerumunan. Mereka lari semampunya, terpojok diantara kios-kios yang hari ini tutup karena sudah diberi tahu sebelumnya bahwa akan ada aksi massa. Pilihan mereka hanya tinggal dua, mencari persembunyian diantara kios-kios atau mengungsi ke kampus.
Kembali ke kampus adalah prioritas. Namun kondisi ternyata tidak memungkinkan. Beberapa jalan masuk telah diblokir dan dijaga aparat. Mahasiswa yang turun ke jalan juga sudah terpecah-pecah menyelamatkan diri. Jika nekat menerobos masuk, mereka kalah jumlah, membuat mereka hanya akan menjadi bulan-bulanan aparat.
Lampu yang hanya menyala beberapa sedikit menguntungkan posisi keduanya. Lokasi persembunyan mereka cukup gelap. Kemungkinan mereka terlihat mengecil. Asalkan tidak bertemu langsung dan bertatapan muka dengan gerombolan massa yang entah dari mana datangnya itu, ada kemungkinan mereka bisa selamat.
“Siapa mereka,” Edwin kebingungan sambil berusaha mengatur nafas. Tapi percuma, jantung mereka sudah terlanjut berdegup kencang. Ia hanya bisa bersandar pada tembok pembatas antar kios untuk istirahat sejenak. Jangan sampai lengannya merosot ke samping karena akan mengenai rolling door. Itu bisa menimbulkan bunyi yang akan memancing orang-orang tersebut menemukan tempat persembunyian keduanya.
“Kalau bukan aparat berpakaian preman ya massa bayaran pemerintah,” Aditya menyambung. “Keduanya berbahaya, karena jika mereka menyerang, pemerintah bisa angkat tangan. Tidak ada atribut yang melekat dari mereka.”
“Lalu bagaimana?”
“Tunggulah di sini sebentar.”
Aditya melepaskan jas almamater yang dikenakannya. Jas itu basah kuyup karena terkena semburan air dari mobil water canon. Jaketnya yang basah beradu dengan badannya yang panas karena berlari, membuat tubuhnya terasa lembab dan risih.
Edwin mengucek matanya yang masih terasa perih. Dia tidak bisa melihat dengan jelas. Ia tadi berada pada sekumpulan massa yang diserang oleh aparat dengan gas air mata.
Awalnya aksi mereka berjalan damai. Beberapa ketua organisasi pergerakan mahasiswa berorasi di depan rektorat. Meminta dukungan dari rektor dan juga wakil-wakilnya untuk mewujudkan reformasi. Tapi tidak ada satu pun perwakilan mereka yang menemui peserta aksi. Hanya ada para petugas keamanan kampus dan para staf. di dalam gedung itu. Para pimpinan bersembunyi entah dimana, dengan dalih sedang melakukan kegiatan dinas di luar.
Setelah itu kampus kedatangan massa dari perguruan tinggi lain. Sebuah pertemuan yang sudah direncanakan sebelumnya. Setelah ini pun rombongan mereka akan ikut turun ke jalan dan menyambangi kampus IKIP, sebelum kemudian bergabung dengan seluruh gerakan mahasiswa Yogyakarta di Bundaran UGM.
Gabungan mahasiswa dari dua kampus itu membuat para petugas keamanan tak kuasa menahan agar para demonstran tetap berada di lingkungan kampus.
Tapi ternyata penghadangan tidak hanya dilakukan petugas keamanan universitas. Saat peserta aksi sampai di jalan Gejayan, di pertigaan telah menghadang aparat angkatan bersenjata. Mereka telah membuat blokade dengan memasang pagar hidup lengkap dengan helm, tameng, dan pentungan ditangan.
Dua jam mereka tertahan di pertigaan Gajayan. Segala upaya damai coba dilakukan, namun tidak juga membuahkan hasil. Negosiasi dengan aparat bersejata buntu. Aparat meminta para pengunjuk rasa kembali ke kampus masing-masing. Mereka sudah menyiapkan puluhan angkutan di belakang barikade keamanan. Sedangkan massa peserta aksi enggan mundur. Perwakilan mahasiswa yang berorasi di depan mereka juga tidak membuka hati nurani untuk bergabung dalam gerakan reformasi. Akhirnya jalan membuka blokade paksa dengan mendorong mundur aparat harus ditempuh.
Senja telah tiba. Para demonstran masih tertahan sehingga tidak dapat membaur dengan rekan-rekan kampus lain yang sudah menunggu di bundaran UGM. Dari titik itu, massa demonstran berencana melakukan long march menuju kediaman gubernur, meminta pemimpin pemerintahan di Yogyakarta ini ikut dalam barisan mendukung reformasi.
Saat mencoba membuka blokade dan terjadi dorong mendorong dengan aparat, tiba-tiba ada lemparan batu dari belakang. Jumlahnya semakin banyak dan tidak terkendali. Tidak lama kemudian sebuah molotov terbang ke atas kerumuman. Meletupkan amarah polisi. Mereka membalas dengan menembakkan gas air mata dan mengarahkan tongkat rotan pada para peserta aksi yang tidak terlindung dengan apapun.
Tidak jauh dari pusat bentrokan muncul percikan api. Sebuah kios di pertigaan jalan terbakar. Mobil water canon merangsek ke depan sambil menyemprotkan air. Tidak memperdulikan massa yang terserempet dan terbentur oleh mobil. Mobil itu juga lebih banyak menyemprotkan air kepada massa yang berkerumunan daripada berusaha mematikan sumber api.
Serangan batu dari orang-orang di belakang yang tadinya menyasar aparat kini justru diarahkan kepada sekumpulan mahasiswa. Para demonstran kocar kacir menyelamatkan diri. Mereka berlarian tidak tentu arah karena diserang dari depan oleh aparat dan dari belakang oleh gerombolan massa tidak dikenal.
Dalam sebuah kerumuman yang kacau balau itu Edwin akhirnya bertemu dengan Aditya. Mereka berlari ke arah kampus. Namun ternyata jalan-jalan menuju kampus juga dibokir oleh polisi. Keduanya tertahan, hanya bisa bersembunyi disela-sela kios sepanjang jalan Kolombo.
“Kita gagal,” ucap Edwin penuh penyesalan. “Kita bahkan tidak membawa air minum.” Kerongkongannya kering.
Aditya menepuk pundak tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia juga memikirkan apa yang dirasakan rekannya itu. Apalagi dia adalah koordinator aksi di kampusnya. Tapi sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk pasrah. Mereka harus menyelamatkan diri, juga membantu rekan-rekan lain yang kondisinya sama-sama terpojok.
Tidak kuat menahan letih dan haus, Edwin menghempaskan pantatnya di lantai keramik bagian depan kios. Ia mengutuki dirinya sendiri. Tidak menyangka bahwa akan ada serangan balik dari aparat dan kroninya, mengejar para demonstran hingga lorong-lorong kecil.
Padahal kelompok mereka sudah merumuskan sebuah aksi tanpa kekerasan. Atas kesepakatan semua kelompok, aksi kali ini tidak boleh ada bentrokan. Dorong-dorongan dengan aparat itu wajar, bagaimanapun mereka harus membuka blokade. Mereka harus mencapai titik kumpul yang dipusatkan di Bundaran UGM sebelum long march ke kediaman Gubernur. Tapi itu harusnya sebatas dorong mendorong.
Masing-masing kelompok sudah menyepakati tidak ada lemparan batu, lemparan air mineral, benda-benda berbahaya, apalagi menimbulkan api.
Sebagai tangan kanan Aditya, Edwin sudah berusaha meminimalkan terjadinya bentrokan. Dia sudah memberitahu kepada para peserta aksi untuk tidak membawa tas. Edwin tidak ingin ada penyelundup yang dapat melakukan provokasi. Semua keperluan logistik disiapkan di belakang, seperti air minum dan obat-obatan pertolongan pertama. Barang yang boleh dibawa hanya dompet berisi identitas diri, selain bendera dan juga plakat kalimat tuntutan.