Garis Waktu yang Terulang

Dimas Adiputra
Chapter #3

#2. Akhir sebuah Awalan (2)

Malam itu, setelah berpisah dari Aditya, Edwin merogoh saku celananya. Mengeluarkan dompet dan membuangnya ke tong sampah. Dia tidak ingin identitasnya diketahui jika orang-orang itu menemukannya. Satu-satunya identitas pada dirinya hanyalah pakaian korsa dengan lambang universitas yang ia kenakan.

Dengan menyeret sebelah kakinya yang sudah kram, ia berusaha mencari tempat persembunyian. Edwin berusaha untuk tidak menarik perhatian. Menjauh dari jalan raya.

Tapi belum sempat menemukan tempat, salah seorang dari gerombolan itu melihatnya. Tidak perlu waktu lama bagi mereka untuk mengejar seorang yang sudah berjalan pincang.

Dengan langkah yang tertatih, ia mencoba terus bergerak. Saat para pemburu hanya tinggal selangkah di belakang, Edwin mencoba melindungi kepala. Hantaman pertama mengenai punggung. Spontan kedua tangannya kini memegang bagian yang kena pukul. Kepalanya kini sudah tidak terlindung, dan segera sebuah pentungan menghantam kepala bagian belakang.

Edwin terjerembab menghantam tembok belakang belakang bangunan pertokoan. Belum sempat mengaduh, serangan lain datang bertubi-tubi. Dia hanya bisa berlindung dengan memiringkan badan, menahan serangan ke arah perut dengan menutup alakadarnya dengan kaki dan paha. Membuat puggung, perut bagian kanan, dan kaki menjadi arena hantaman benda tumpul.

Seseorang memukul kaki. kemudian menginjak sebelum akhirnya menendang keras hingga menimbulkan bunyi ‘krak’. Setelah itu terbukalah benteng pertahanan Edwin. Ia tidak lagi punya tenaga untuk melindungi. Pukulan-pukulan segera mendarat di sekujur tubuhnya. Sambil memukul mereka bertanya, “Dimana Okto? Dimana Okto?” Ia hanya bisa menjawab dengan erangan.

Edwin sempat terbangun di perjalanan. Saat itu dia sudah masuk ke sebuah truk tanggung bekas mengangkut pasir. Ia diletakan di bak, bersama sisa-sisa pasir dan dua buah sekop. Di sampingnya duduk dua orang yang saling diam. Edwin tidak dapat melihat ekspresi wajah keduanya, jalanan yang dilalui malam itu begitu gelap.

Tampaknya truk yang membawanya melewati jalan kecil berbatu. Truk bergoyang-goyang melindas tumpukan batu diantara aspal yang tidak rata. Pemandangan yang bisa dilihatnya hanyalah pohon yang berderet-deret. Selain itu hanya tampak langit malam di atasnya, tanpa ada bintang dan cahaya bulan.

Kemana truk ini membawanya? Jika merasakan kondisi jalan yang dilalui, pepohonan yang masih rapat, kesunyian dan gelap gulita tanpa lampu penerangan, Edwin menebak mereka sudah berada di luar kota. Namun sampai mana? Gunung Kidul? Sleman atas? Magelang pegunungan, atau Temanggung? Yang jelas kendaraan ini dari tadi terus menanjak.

Saat ia terbangun keesokan harinya, semua hipotesa itu semakin kuat. Sudah pasti dia dibawa ke daerah pelosok di dataran tinggi. Badannya menggigil kedinginan. Mereka membiarkan tubuhnya menyerap hawa dingin dari lantai tanah. Baju korsa yang dikenakannya kemarin sudah tidak terpasang dibadan. Tersisa kaos dalam putih, yang kini sudah berwarna merah kecoklatan karena tercampur darah dan tanah liat.

Badannya tidak bisa digerakan. Sekujur tubuhnya ngilu. Organ-organ di sekitar kepala tidak berfungsi dengan baik. Telinganya berdengung, Mata kirinya bengkak sehingga tidak dapat dibuka. Bibirnya terkatup rapat. Darah di area itu sudah mengering sehingga berubah fungsi sebagai lem dan mengunci mulutnya.

Lihat selengkapnya