Garuda Kirana

Adlet Almazov
Chapter #1

Prolog

Asap hitam mengepul dari obor kayu yang terbakar, membumbung tinggi di atas langit yang mulai gelap. Aroma kayu yang terbakar memenuhi desa, semua orang yang semula bersembunyi di rumah mereka, berhamburan keluar saat mendengar kabar bahwa 'Sang pembawa bencana' telah ditangkap dan tiba saat baginya untuk mengakhiri malapetaka yang telah ia buat selama ini.

"Bakar! Bakar tubuhnya! Hancurkan dedemit itu!"

Teriakan dan sumpah serapah menggema di tengah desa. Sekumpulan pria berkerumunan dengan wajah geram dan obor di tangan mereka menyala terang. Melihat kekacauan ini, para wanita dan anak-anak yang ketakutan mengintip dari pintu-pintu rumah mereka. Berusaha melihat sendiri tragedi dan akhir mengerikan dari hidup manusia lelembut yang menjadi teror bagi desa ini selama 17 tahun.

"Tresno, sekarang waktu yang tepat bagimu untuk mengambil keputusan! Kami tidak mau ini ditunda kembali, mengingat sudah begitu banyak korban atas ulah putrimu yang sinting!" Raden Kuncoro menggeram. Kesabarannya telah mencapai batasnya.

Tresno Wijaya menguatkan hatinya, ia tahu amarah warga desa sudah tak dapat dibendung. Meski mereka tinggal di desa terpencil, jauh dari pusat Kerajaan Mengkobumi, namun dampak yang ditimbulkan mungkin akan mencapai ibukota jika masalah ini tak segera diselesaikan.

Tresno Wijaya menutup matanya. Bayangan wajah istrinya yang telah tewas 10 tahun yang lalu kembali masuk ke dalam pikirannya. Tangan yang berlumuran darah itu berusaha menyentuh wajah pucatnya yang gemetar.

"Habisi dia! Jangan biarkan dia hidup! Aku mohon padamu, Kangmas!"

Tangannya yang terkepal erat, gemetar. Rasa sakit yang ia rasakan saat itu membuat kebencian dan dendam di hatinya semakin bertambah kuat. Andai saja ia punya kekuatan yang besar, sudah sejak dulu ia bunuh putrinya ini. Namun ia menyadari, membunuh makhluk yang dikuasai lelembut terkuat di hutan ini adalah sesuatu yang sangat mustahil.

Dengan satu tarikan nafas, Tresno mengeluarkan keris sakti dari sakunya. Ia sudah bertapa dan berpuasa selama 40 hari demi mendapatkan kekuatan, ia sangat yakin kali ini upaya untuk membunuh putrinya akan membuahkan hasil.

"Tuanku Raden Kuncoro, saya mohon ampun jika setelah ini, saya tidak lagi dapat mengabdi pada anda dan desa. Saya menyerah, karena itu saya mohon ampun." Ucapnya. Matanya menatap nanar pada sosok gadis muda yang terlelap dan terikat di dahan pohon besar.

"Akan aku kabulkan semua permohonanmu. Karena itu, aku minta padamu untuk mengakhiri malapetaka ini!"

Mendengar jawaban dari pria yang berdiri di sampingnya, membuatnya sudah cukup yakin untuk melakukannya. Meski ia tahu bahwa nyawanya adalah taruhan.

"Apa Bapak yakin membunuh Anjani? Bagaimana jika dia bangun dan menghabisi kita semua?" Tubuh Jaka gemetar, mengingat apa yang akan terjadi jika misi kali ini gagal mereka lakukan.

"Kau tidak perlu takut, Jaka! Bapak sudah mempersiapkan semuanya sejak ibumu tewas di tangan makhluk ini. Karena itu, Bapak sudah tak peduli lagi jika harus mati di sini. Pesan Bapak padamu, tolong kau jaga adik-adikmu, Ratih dan Abiseka." Ucapnya.

Jaka tahu bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan Bapaknya. Meskipun Anjani sedang tertidur berkat ramuan Mbah Cakra. Namun, tidak ada jaminan bahwa Anjani akan terus tertidur sampai mereka berhasil mengepung dan membunuhnya.

Tresno Wijaya menghunuskan kerisnya, memberi aba-aba pada orang-orang di belakangnya untuk melemparkan obor mereka pada kayu-kayu yang mengelilingi tubuh Anjani.

Blaaarrr...

Api menyambar dengan cepat, suara yang terdengar mengerikan itu langsung membuat gadis muda yang terkepung itu tersentak. Matanya terbuka lebar, melotot dan memerah melihat api yang menyala di sekelilingnya.

"Uhuk...uhuk..." Asap hitam yang mengepul dari kayu yang terbakar membuat nafasnya sesak. Ia terbatuk-batuk dan berusaha melepaskan ikatan kuat yang melilit tubuh dan tangannya pada pohon besar.

"Bapak! Tolong Anjani, Pak! Bapak!" Anjani meronta-ronta. Tubuhnya yang lemah tak lagi memiliki kekuatan untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari kobaran api yang semakin bertambah besar.

"Lenyaplah kau! Pergilah kau ke alam para lelembut! Tinggalkan tempat ini, kau tidak bisa hidup di sini!" Raden Kuncoro berusaha menjelaskan pada Anjani yang tampak kebingungan dengan tragedi mengerikan yang sedang ia alami.

Lihat selengkapnya