Mentari tanpa lelah menyapa lembut dan menghamparkan sinarnya. Burung-burung pipit beterbangan dan menetaskan anak-anaknya diantara dahan-dahan pepohonan. Sementara itu pohon sawo kecik di halaman rumah Arya silih berganti berbuah lebat dan sedikit menggugurkan daunnya.
Sang waktu pun tanpa permisi menyeret Arya Wibisono, seorang remaja yatim piatu yang tinggal di kampung Wulung di pinggiran utara Kota Jogja itu tumbuh dan berkembang menuju dewasa. Dia telah ditempa oleh keadaan. Kematian kedua orang tuanya karena pembunuhan dengan suatu sebab yang belum bisa dipahaminya serta belum terungkap telah menjadi bara dalam hatinya.
Dengan sabar dan telaten sang Kakek Panjiasmoro di Padepokan Banyumeneng mengajarkan ilmu silat serta filosofi gerak gasing bambu untuk menghadapi pembunuh kedua orang tuanya. Latihan fisik yang keras dan meditasi olah napas yang telah dilakukan Arya kelak akan menjadi bekal dalam pertarungannya.
Gasing bambu atau biasa disebut juga gangsingan merupakan alat permainan tradisional Jawa, semakin cepat berputar pada porosnya akan semakin terlihat tenang dan kokoh berdiri di atas tanah. Begitulah Arya, setelah mempelajari filosofi gasing bambu dia terlihat tenang dan bisa menguasai egonya meskipun jiwa muda remajanya begitu bergelora.
Bersama sahabat waktu kecil, Anton, Arya menjalani masa remajanya. Dan sebuah kenangan tentang seorang gadis yang telah diberinya gasing bambu masih tersimpan rapi dalam memori otaknya. Sedangkan ancaman dari Jack, anak Genk Butterfly saat mereka terlibat perkelahian di arena Pasar Malam Perayaan Sekaten Alun-alun Utara Jogja tetap mengganggu pikiran Anton.
Waktu terus berganti hari. Minggu terus berganti bulan. Orang-orang pun silih berganti berdatangan ke Alun-alun Utara Kota Jogja menikmati keramaian Pasar Malam dan Perayaan Sekaten yang diselenggarakan setiap tahunnya.
Hingga tak terasa dua tahun telah berlalu dari peristiwa itu ....