“Selamat pagi, Bulik Ning," sapa Anton kepada seorang ibu yang sedang menyapu halaman di bawah pohon sawo kecik yang sedang berbuah lebat. Anton turun dari sepedanya. Kemudian dengan sopan dan sedikit membungkukkan badannya dia berjalan mendekat.
Anton berperawakan kekar, padat dan berisi. Cukup besar ukuran tubuhnya bagi anak usia sekolah lanjutan atas. Tetapi dia tidak lebih tinggi dari Arya. Rambutnya lurus pendek dan berwajah agak bulat dengan kulit berwarna sawo matang sedikit gelap.
"Oh kamu, Nak Tono," jawab Bulik Ning atau Setyaningsih nama lengkapnya.
"Iya, Bulik. Arya ada di rumah?" tanya Anton sambil tersenyum.
"Sepertinya kalian sudah jarang saling memanggil dengan nama masa kecil dulu, ya? Atau malah sudah tidak pernah lagi?" Sejenak Bulik Ning mengalihkan pertanyaan Anton.
"Ee, iya, Bulik," jawab Anton sambil tersenyum, "habis kalau di sekolah, kami dipanggil dengan nama depan, seperti nama teman-teman yang lain. Sedangkan saya sendiri dipanggil Anton. Jadi kami sudah terbiasa dengan nama itu," jelas Anton.
"O, begitu. Seperti Om kamu itu, dia juga sudah terbiasa memanggil Sono dengan panggilan Arya," jawab Bulik Ning sambil tersenyum.
"Masuk sana. Itu Sono, eh, Arya ada di sana." Bulik Ning menunjuk seorang anak yang sedang mencuci sepeda di samping rumah joglo.
"Terima kasih, Bulik," jawab Anton kemudian berlalu sambil menuntun sepedanya.
"Masuk dulu, Ton. Tunggu di dalam pendopo. Sebentar juga aku selesai nyuci sepeda ini," sambut Arya ketika melihat sahabatnya datang.
Anton segera masuk ke dalam pendopo yang terletak di samping rumah Joglo. Pendopo itu berupa bangunan terbuka dengan delapan tiang penyangga pendopo dan empat tiang utama yang berada di tengah-tengahnya. Tanpa dinding di samping kanan, kiri, dan depannya. Satu-satunya dinding hanya di bagian belakang dengan beberapa foto dipajang di sana. Di bawahnya ada sebuah bufet tempat Arya menaruh beberapa piala penghargaan dan gasing bambunya.
Anton berjalan berkeliling. Dia merasakan dinginnya lantai pendopo yang telah dipakainya untuk latihan selama ini. Tiba-tiba langkahnya terhenti pada sebuah foto yang terpajang di dinding pendopo tersebut. Sebuah foto yang baru beberapa bulan dipajang di situ selalu mengundang tanya meskipun Anton sudah sering melihatnya. Tetapi selama ini tidak pernah diungkapkan pada Arya.
Cukup lama Anton memandangi foto itu. Foto laki-laki berperawakan sedang dan berambut agak bergelombang. Laki-laki itu berdiri menggendong seorang balita dan di sampingnya ada seorang wanita muda berparas ayu merangkul pinggangnya.
Tak berapa lama Arya sudah kembali ke pendopo sambil membawa gelas dan botol air putih dingin. Diletakkannya kedua benda itu di pinggir pendopo. Arya kemudian mendekati Anton.
"Itu foto waktu aku kecil. Foto terakhir bersama ayah dan ibu. Satu bulan sebelum ayah meninggal karena dibunuh. Kemudian disusul ibuku juga beberapa bulan kemudian," kata Arya yang sudah berdiri di samping Anton.
"Aku ikut prihatin, Ar. Tapi benarkah berita yang aku dengar di luar tentang meninggalnya ayah dan ibumu?" tanya Anton masih memperhatikan foto itu. Arya terlihat menghela napas panjang ikut memperhatikan foto ayah dan ibunya.
"Ada yang menduga Jarwo, salah satu murid padepokan ini yang membunuh ayahmu, " kata Anton kemudian menoleh ke arah Arya seolah meminta persetujuan atas apa yang baru saja diucapkannya.
"Hingga kini masih simpang siur, Ton. Belum bisa dipastikan siapa pembunuh ayah dan ibuku yang sebenarnya," jawab Arya.
"Kata Om Aris, Jarwo memang menghilang setelah peristiwa itu, Ton. Dan tidak pernah muncul lagi di padepokan hingga terjadi peristiwa penculikan dan pembunuhan ibuku beberapa bulan kemudian. Bagiku itu terlihat janggal meski tidak ada penjelasan apapun dari Om Aris." Sejenak Arya menghentikan perkataannya. Matanya menerawang jauh memandang hamparan padi di sawah.
"Om Aris berteman akrab dengan Jarwo. Beliau pasti tahu penyebab Jarwo pergi dari Banyumeneng. Sepertinya masih ada cerita yang disembunyikan oleh Om Aris. Bisa jadi menyangkut Jarwo atau kelompok gali pada waktu itu yang tidak suka pada Padepokan Banyumeneng ini. Mungkin juga pembunuhan orang tuamu telah direncanakan oleh seseorang," kata Anton menduga.
"Memang luka-luka di tubuh ayahku menunjukkan pelaku pembunuhan itu lebih dari seorang dan dilakukan secara brutal. Begitu keterangan dari pihak berwajib saat itu. Bagiku, semua masih simpang siur, Ton. Baik om, bulik, maupun mendiang kakek dulu, belum mau menceritakan kejadian sebenarnya. Tetapi siapapun pembunuh ayah dan ibuku, kelak jika aku bertemu dengannya, aku akan menuntut balas! Dia telah merampas masa-masa bahagiaku bersama ayah dan ibu!" Terlihat Arya tidak bisa menahan amarahnya. Kedua tangannya mengepal erat.
"Aku turut prihatin dan berduka, Ar. Maafkan telah mengingatkan luka itu!" kata Anton sambil menepuk-nepuk pundak sahabatnya itu.
Kembali Arya menarik napas panjang untuk meredam amarahnya. Mereka kemudian beranjak dari tempat itu dan duduk-duduk di pinggir pendopo.
"Minum dulu, Ton. Kamu pasti haus setelah bersepeda cukup jauh." Arya menuangkan air dingin ke dalam gelas.
"Terimakasih, Ar." Anton segera mengambil gelas itu dan meneguk isinya hingga habis.