Sono segera menuju sisi selatan Tugu Pal Putih dan berdiri tegak dengan pandangan mata lurus ke depan.
"Kamu mau ngapain juga, Son?" Kini gantian Tono yang keheranan dengan tingkah sahabatnya ini.
"Ada mitos tentang garis imajiner yang dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Jogja. Aku akan membuktikannya," jawab Sono.
Sono sedikit memicingkan matanya seolah ingin menyibak tabir garis imajiner yang menghubungkan Tugu Pal Putih dengan pantai laut selatan. Dia membayangkan pandangan matanya ke arah selatan dari Tugu Pal Putih menyusuri Jalan Malioboro, Alun-alun Utara, Pagelaran keraton, Siti Hinggil, Alun-Alun Selatan, Panggung Krapyak, Jalan Parangtritis, hingga Pantai Selatan Parangkusumo.
Sono kemudian terlihat memejamkan mata dan mengatur irama nafasnya. Tono ikut berdiri di samping Sono. Angin bertiup sepoi-sepoi memberikan kesegaran bagi mereka berdua. Senja sebentar lagi membayang di ufuk barat dan mereka berdua larut dalam suasananya. Perlahan-lahan Sono membuka matanya. Pandangannya menatap tajam ke depan tanpa berkedip.
"Ton, aku melihat perlintasan kereta api ... Jalan Malioboro ... keramaian Sekaten. Samar-samar tampak Bangsal Pagelaran Keraton Jogja ... terus pandanganku mulai kabur," kata Sono sesaat kemudian dia memejamkan matanya kembali.
"Kenapa tidak bisa kulihat Panggung Krapyak dan Pantai Selatan?" katanya lirih sambil mencoba mengatur nafasnya kembali.
"Ya iya, Son. Tempat itu berada jauh sekali di sebelah selatan Kota Jogja. Memangnya pandangan matamu bisa melihat tembus tembok-tembok bangunan sampai di sana?"
"Bukankah Tugu Pal Putih ini satu garis lurus dengan tempat-tempat itu?"
"Benar, Son. Dibutuhkan kejernihan mata batin agar dapat melihat tempat-tempat itu menjadi satu garis lurus secara imajiner."
"Hmm ... benar juga. Aku belum mampu ke sana. Perlu latihan panjang untuk mengasah dan mempertajam mata batin seperti kata kakek," kata Sono.
Samar-samar Sono mendapatkan bayangan semua itu. Begitu berat latihan yang telah diberikan kakeknya untuk mempertajam mata batinnya tetapi belum bisa sempurna. Karena hal ini berhubungan dengan pengendalian diri. Sedangkan Sono mempunyai sifat tidak sabaran dan sulit mengendalikan emosi. Suatu sifat yang bertolak belakang dengan sahabatnya, Tono.
"Sepertinya aku harus banyak belajar darimu," kata Sono sambil menoleh ke arah Tono.
"Kita perlu latihan lebih mendalam, Son. Dan sepertinya kakekmu tidak mau tergesa-gesa. Beliau mau agar kamu lebih memahami tentang apa itu mata batin. Mungkin itu juga alasannya mengapa kakekmu menyuruh kita untuk mempelajari gerakan gasing bambu," kata Tono.
"Iya, Ton, kita harus lebih giat berlatih."
***
Mereka melanjutkan perjalanannya ke selatan. Melintasi rel kereta api Stasiun Tugu dan masuk ke Jalan Malioboro, sebuah ruas jalan yang telah melegenda. Jalan itu menghubungkan Stasiun Tugu ke arah selatan menuju Alun-alun Utara dan Bangsal Pagelaran Keraton Kasultanan Jogjakarta.
Jalan Malioboro waktu itu cukup lebar sehingga diperuntukkan jalur dua arah. Berbagai jenis alat transportasi dapat melewati jalan itu. Sepeda, becak, andong, sepeda motor, mobil pribadi, dan angkutan umum silih berganti melewati ruas jalan itu.
Pedagang kaki lima pun tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Tawar-menawar menjadi suatu keasyikan dan membutuhkan suatu cara tersendiri agar mendapatkan barang yang diinginkan dengan harga yang lebih murah. Mereka pun menikmati keramaian dan suasana sore di sepanjang Jalan Malioboro itu.