Sono dan Tono berjalan santai menikmati keramaian Alun-alun Utara malam itu dan sesekali berhenti di suatu stan untuk melihat barang-barang yang dijual.
"Pinten niki, Pak?—berapa ini, Pak?" tanya Tono sambil menunjuk patung kecil berkarakter Petruk, salah satu tokoh wayang punakawan.
"Seket ewu, Nak—lima puluh ribu, Nak," kata penjualnya.
"Wah ... mahal sekali. Sepuluh ribu boleh, Pak?" Tono mencoba menawar. Tapi penjual hanya menggelengkan kepala sebagai tanda tidak setuju.
Mereka terus berjalan berkeliling keluar masuk stan yang ada. Terkadang harus berdesak-desakan karena banyaknya pengunjung di Pasar Malam Sekaten itu.
"Awas dompet!" kata Sono mengingatkan sahabatnya. Tono pun tersenyum dan mengangguk.
Stan pakaian paling mendominasi di Pasar Malam Sekaten ini dan banyak dikunjungi oleh sebagian besar anak muda remaja sebaya mereka. Berbagai macam kaos dengan aneka gambar dan tulisan ditawarkan di sana. Merasa sebagai anak remaja, Sono dan Tono ikut masuk ke stand pakaian tersebut. Mereka ikut berdesak-desakan bahkan harus rela antri agar dapat memilih-milih kaos kesukaannya. Dengan susah payah akhirnya pilihan Sono tertuju pada sebuah kaos hitam bertuliskan metalica. Rupanya dia begitu tertarik dengan kaos itu.
"Hmm ... bagus juga kaos ini. Keren, Ton! Biar kelihatan sebagai anak gaul dan modern." Sono mengambil kaos tersebut dan menunjukkannya pada Tono.
"He he he, mau terlihat gaul dan modern? Itu tuh ... lebih keren, Son!" Tono tersenyum sambil menunjuk kaos bergambar Bima, tokoh wayang kesukaannya.
Hmm ... benar juga. Kita harus mencintai dan melestarikan budaya sendiri, kata Sono dalam hati. Dilihatnya Tono masih asyik melihat-lihat kaos dengan bermacam-macam gambar wayang. Ada juga kemeja dengan motif batik. Rupanya sahabat yang satu ini tidak kehilangan akar budaya dan adat istiadat bangsanya sendiri.
Dari arah depan Sono kembali memperhatikan sekeliling stan itu. Dan tanpa sengaja tatapan mata Sono tertuju pada seorang tua bercaping yang duduk beralas tikar di samping stan pakaian tersebut. Di hadapannya banyak terdapat potongan bambu yang berbentuk tabung tertutup dan berwarna kuning gading dengan corak hiasan berwarna coklat. Potongan bambu tersebut mempunyai sumbu dari bilah bambu juga.
"Itu gasing, ya ... gasing bambu! Permainan tradisional yang sering diceritakan kakek. Akhirnya aku menemukan juga benda itu!" kata Sono dengan ekspresi gembira.
Sono kemudian memperhatikan seorang tua itu. Dia duduk melamun sendirian di belakang setumpuk gasing bambu dagangannya. Caping tuanya masih setia bertengger di kepala. Sebatang sigaret kretek yang tinggal separuh dan masih menyala terselip disela-sela jemari keriputnya. Sesekali pandangan matanya mengikuti orang-orang yang lewat di depannya. Dia tak peduli dengan debu-debu yang beterbangan karena jejak-jejak kaki pengunjung Sekaten pada malam itu.
Perlahan-lahan seorang tua itu mengangkat tangannya dan memasukkan sigaret kretek ke dalam mulutnya. Dihisapnya sigaret itu dalam-dalam dan dihembuskan asapnya. Dia memandangi asap sigaret yang membumbung tinggi ke langit lepas. Dan menunggunya turun lagi menjadi sebuah keberuntungan dari langit. Dia berharap akan datangnya seorang pembeli di tempat dagangannya itu.
Tak beberapa lama berselang, Sono melihat seorang tua itu tersenyum ketika seorang balita terlepas dari gandengan tangan ibunya dan datang menghampirinya. Balita itu terdiam di depan tumpukan gasing bambu. Sejenak telaga bening balita menatap seorang tua itu. Kemudian beralih pada tumpukan gasing bambu di depannya.