Setelah keributan tadi terlihat seorang ibu berjalan tergesa-gesa di antara lalu-lalang para pengunjung Sekaten. Si ibu berusaha mendahului orang-orang yang berjalan di depannya. Tetapi satu kantong kresek hitam besar yang dibawanya selalu memperlambat geraknya.
Sesekali ibu itu menoleh ke belakang untuk melihat anak gadisnya. Saat itu juga si ibu bertambah rasa kesalnya. Karena anak gadisnya tertinggal langkah dan selalu menoleh kebelakang seperti sedang mengharapkan sesuatu.
"Ada apa lagi, Putri? Ayo cepat sedikit. Ibu masih takut sama anak-anak pencopet tadi." Si ibu itu berhenti sejenak menunggu anaknya.
"Tidak ada apa-apa, Bu," jawab Putri sambil berusaha mempercepat langkah mengikuti ibunya.
Mereka adalah Putri dan ibunya yang baru saja menjadi korban pencopetan di arena Sekaten. Tetapi beruntung dua orang cowok remaja, Sono dan Tono, yang telah menjadi dewa penolong bagi mereka. Hingga terjadi perkenalan singkat antara Putri dengan Sono.
Kak Sono, di manakah kamu? Bagaimana kamu akan mencariku kalau belum tahu di mana rumahku? Putri bingung sendiri memikirkan janji Sono yang akan mencari di mana pun dia berada. Hatinya galau. Dia berharap dapat bertemu lagi dengan dewa penolongnya dalam perjalanan pulang.
Ini gara-gara ibu yang buru-buru mengajak pulang. Aku jadi tidak sempat memberitahu alamatku. Hati Putri semakin galau. Dia tidak ingin kehilangan kesempatan kedua untuk bertemu Sono secepatnya.
Kerlap-kerlip cahaya bintang di langit malam dan gemerlapnya warna-warni lampu yang ada di arena Sekaten tetap tidak dapat menutupi kegalauan hati Putri. Dia seperti merasa kehilangan setelah perpisahannya dengan salah seorang dewa penolongnya. Cowok ganteng itu telah mencuri perhatian sang gadis kecil periang berwajah manis itu.
Panah asmara begitu kuat menancap dan mengikat dua hati yang baru saja bertemu, meskipun keduanya baru seusia anak SMP. Putri juga merasakan apa yang dirasakan Sono saat itu. Jatuh hati pada pandangan pertama!
Tak lama kemudian Putri dan ibunya sudah sampai di jalan beraspal di depan pintu masuk arena Sekaten. Jalan beraspal itu membujur ke arah utara menuju perempatan ait mancur. Sebuah angkot kuning Kobutri penuh penumpang datang mendekat.
"Mari naik, Bu. Belakang masih kosong," kata kernetnya sambil bergelantungan di pintu angkotnya.
"Mana kosong? Penuh sesak gitu di bilang kosong!" kata Putri cemberut.
Si ibu hanya menggelengkan kepalanya tanda tidak mau menaiki angkot tersebut. Mereka tetap berdiri di samping barang-barang belanjaannya. Putri pun masih saja tengak-tengok dan berharap dapat bertemu kembali dengan Sono.
Sementara itu pengunjung Sekaten masih berdatangan dan berhilir mudik melewati jalan itu. Para pedagang pun masih setia menawarkan barang dagangannya. Geliat aktivitas pasar malam dan perayaan Sekaten mencapai puncaknya pada malam itu. Tidak lama kemudian sebuah andong berjalan pelan menuju ke tempat mereka berdua.
"Mau pulang, Bu? Mari saya antar," kata sopir andong dengan sopan sambil menarik tali kendali kudanya.
Andong pun berhenti tepat di depan mereka. Si ibu pun menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. Terlihat sopir andong itu berpakaian adat Jawa. Kemeja lurik lengan panjang, celana hitam panjang, dan kepalanya memakai blangkon)*.
"Ke Wirobrajan ya, Pak," kata si ibu sambil menaikkan barang-barang belanjaannya kemudian beranjak naik ke dalam andong.
"Mari, Bu!" Pak Kusir segera turun dan ikut membantu menatanya.
"Ayo, Putri, cepat naik!" perintah ibunya dari dalam andong.
"Iy ... iya, Bu," jawab Putri gugup sambil tengak-tengok karena belum juga bertemu kembali dengan Sono. Dengan hati galau Putri pun segera naik ke dalam andong. Andong kemudian berjalan pelan ke arah utara meninggalkan Alun-alun.