Gasing Bambu

bomo wicaksono
Chapter #13

Bab 12. Nasihat Bulik Ning

Baru satu minggu berlalu pertemuannya dengan Putri di arena Sekaten Alun-alun Utara. Kenangan itu masih teringat kuat di kepala Sono. Hatinya pun galau jika teringat Putri. Berdiri tak enak duduk tak nyaman tidur pun tak nyenyak.

Sono memperhatikan sebuah benda yang masih tersimpan dengan baik dalam lemari kaca di kamarnya. Dia teringat kembali saat bersama Tono pergi ke Alun-alun Utara. Saat dia membeli dua buah gasing bambu pada seorang tua. Tanpa sengaja Sono harus berurusan dengan dua anak Genk Butterfly yang kemudian mempertemukannya dengan Putri. Sono kemudian memberikan salah satu gasing bambunya pada Putri.

Gasing bambu ini harusnya ada pasangannya. Putri ... masihkah engkau menyimpannya? Suatu saat pasti aku akan menemukanmu!

Sono mengambil handuk dan segera menuju kamar mandi. Air dingin mengguyur tubuhnya dari kepala hingga kaki. Seolah meluruhkan semua rasa lelah setelah seharian beraktivitas di sekolahnya. Tubuhnya terasa nyaman dan segar kembali.

Hari pun semakin sore. Burung-burung terbang pulang ke kandangnya. Langit merah di ufuk barat terlihat jelas dari jendela kamar Sono. Dia duduk di belakang meja belajarnya. Dibukanya lembar demi lembar buku pelajaran sekolahnya untuk dibacanya. Tetapi dia tidak bisa konsentrasi belajar. Pikirannya melayang tak menentu. Bayangan wajah Putri seolah-olah berseliweran di otaknya. Dan tulisan pada lembaran-lembaran buku itu hanya melintas di depan matanya saja.

Putri, kenapa di setiap lembar buku ini selalu terlukis bayangan wajahmu? Kamu telah mencuri perhatianku. Apakah ini pertanda aku telah jatuh hati padamu?

Bukannya membaca dan mempelajari buku itu Sono malah melamunkan Putri hingga tak terasa gelap telah datang menggantikan lembayung senja yang tenggelam di bawah cakrawala.

Sono keluar dari kamarnya. Dia mendapati Bulik Ningsih sedang duduk termenung di ruang depan. Kedua tangannya di atas pangkuan memegang sebuah bingkai foto. Ningsih tidak menyadari ketika anak semata wayang kakaknya itu sudah berdiri di belakangnya. Pelan-pelan Sono memegang kedua pundak Ningsih.

"Bulik Ning, ada apa dengan foto ayah dan ibuku? Bulik kangen sama mereka, ya?" tanya Sono. Ningsih mengangguk.

"Sudah sepuluh tahun ayah dan ibumu meninggalkan kita. Banyak kenangan buat bulikmu ini," jawabnya masih memperhatikan foto mendiang kakaknya. Sono kemudian ikut duduk di samping Ningsih.

"Bulik, kenapa ayah dan ibu meninggal begitu cepat? Saat itu usiaku kurang lebih baru tiga tahun. Siapa yang telah membunuh mereka?" tanya Sono lagi.

Sejenak Ningsih hanya diam mendengar pertanyaan Sono. Dia memandang Sono dengan mata berkaca-kaca. Hatinya ikut teriris-iris mendengar pertanyaan Sono yang sudah dianggapnya seperti anaknya sendiri. Apalagi pernikahan Ningsih dengan Aris belum dikaruniai seorang anak.

"Siapa, Bulik? Katakan! Aku akan menuntut balas padanya!" Sono menatap kedua bola mata Ningsih yang tampak berair.

"Tidak sekarang, Sono! Kamu belum cukup umur untuk memahami semua peristiwa itu. Emosimu belum stabil. Bulik takut kamu terjebak dalam api dendam yang akan menghancurkan dirimu sendiri."

"Aku sudah cukup kuat, Bulik! Kakek telah mengajarkan aku cara untuk meredam emosiku," kata Sono dengan semangat. Ningsih hanya tersenyum mendengar jawaban Sono.

"Itu belum cukup, Nak. Perlu kematangan dan keseimbangan jiwa yang baik agar kamu benar-benar dapat mengendalikan emosimu. Tidak cukup hanya dengan meredamnya saja. Masih ingat tentang gasing bambu seperti wejangan kakekmu? Kamu harus bisa seperti itu!" Panjang lebar Ningsih menasihati Sono. Sono mengangguk mendengar penjelasan buliknya meski belum sepenuhnya memahami tentang filosofi gasing bambu itu.

"Bulik, apakah orang itu benar-benar jahat dan mempunyai dendam pada keluarga kita hingga harus membunuh ayah dan ibu?"

"Hmm ... tidak juga! Dia sebenarnya baik dan pernah menyukai ibumu lebih dulu sebelum ayahmu. Jadi semacam cinta segitiga di antara mereka. Perkiraan om Aris dan kakekmu, orang itulah yang telah membunuh ayahmu." Ningsih diam sejenak memperhatikan reaksi keponakannya itu.

"Menyukai ibu sebelum ayah? Apakah ibu juga menyukai orang itu?"

"Tidak, Sono," jawab Ningsih sambil menggelengkan kepalanya, "ayahmu adalah yang pertama sekaligus terakhir yang berlabuh di hati ibumu," lanjutnya.

Lihat selengkapnya