Suara jangkrik di sela-sela rerumputan, kicau burung hantu di antara dahan-dahan pepohonan serta bunyi gemerisiknya dedaunan yang tertiup angin menjadi melodi malam menemani hati Sono yang sedang gundah.
Sono melangkah keluar kamar menuju ruang tamu. Dia hendak keluar rumah tapi langkahnya berhenti di depan pintu. Dari sana dia melihat Kakek Panji sedang duduk-duduk di pendopo bersama Om Aris. Kakek duduk membelakangi salah satu tiangnya. Di depannya ada sebuah radio transistor menemaninya. Irama musik berlanggam Jawa sayup-sayup terdengar merdu.
Mata Kakek Panji terlihat terpejam dan duduk bersila seperti sikap seseorang yang sedang bermeditasi. Begitu juga dengan Om Aris. Sono mengalihkan langkahnya menuju akuarium. Sejenak dia mengawasi ikan-ikan itu. Tak lama kemudian Om Aris menghentikan meditasinya dan beranjak masuk ke dalam rumah.
"Kamu belum tidur, Sono?" sapa Om Aris dari depan pintu ruang tamu.
"Belum, Om. Belum ngantuk," jawab Sono sambil tersenyum. Sejenak dia menoleh ke arah Om Aris. Kemudian pandangan matanya beralih mengikuti gerakan ikan-ikan dalam akuariumnya.
"Tumben kamu di rumah saja? Nggak ada acara sama Tono?" Sono hanya menggelengkan kepalanya.
Dia kemudian mengambil makanan ikan dan ditaburkannya sedikit ke dalam. Tapi pandangan mata Sono tidak benar-benar fokus pada ikan-ikannya. Hal itu membuat Om Aris mendekat dan berdiri di samping Sono.
"Kamu masih memikirkan cerita Om Aris saat di pemakaman tadi, Son?" tanya Om Aris sambil memegang pundak Sono. Sono hanya mengangguk mengiyakan.
"Simpan dulu emosimu. Om Aris juga tidak akan membiarkan pembunuh itu masih berkeliaran," kata Om Aris. Dia ikut mengambil makanan ikan kemudian ditabur ke dalam akuarium.
"Kakek sebenarnya sedang mempersiapkan bekal padamu untuk menghadapi pembunuh itu seperti pesan mendiang ibumu yang disampaikan pada kakek," lanjutnya.
"Pesan? Ibu memberi pesan untukku? Apa itu, Om?" Sono memandang Om Aris. Kelopak matanya sedikit membesar menandakan kuatnya rasa ingin tahu siapa pembunuh itu sebenarnya.
"Ibumu sebenarnya ingin melihat pembunuh ayahmu itu menemui karmanya di tanganmu. Tapi takdir berkata lain. Ibumu dibunuh oleh orang itu juga." Sejenak Aris terdiam.
"Pembunuh ayah ibuku adalah orang yang sama. Katakan sekarang di mana pembunuh ayah ibuku, Om! Aku akan menuntut balas!" kata Sono dengan emosi meninggi dan kedua tangannya mengepal.
"Tidak sekarang Sono. Nanti akan tiba saatnya!"
"Kenapa tidak sekarang, Om? Kenapa? Apa Om Aris sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini? Tidak peduli pada mendiang ayah ibuku? Tidak peduli padaku lagi?" Sono tidak bisa membendung emosinya. Tak terasa air matanya mengalir teringat pada ayah ibunya.
"Bukan begitu, Son. Meski Om menduga kuat orang itu pelakunya tetapi hingga saat ini pihak berwajib belum bisa menemukan bukti keterlibatan orang itu. Jadi Om tidak mau gegabah menuduh dan menangkapnya," jelas Aris.
"Sudah lebih dari sepuluh tahun. Sampai kapan Om Aris akan merahasiakan semua ini?"
"Sebenarnya Om kesulitan menelusuri jejak orang itu. Semenjak perkelahian antar genk di Jogja, dia seperti menghilang di telan bumi. Om tidak tahu pasti apakah dia masih hidup atau tidak."
"Kalau begitu, sia-sia harapan mendiang ibuku." Tergambar kekecewaan di wajah Sono.
"Tapi firasat Om, orang itu masih hidup. Dan menjadi bagian dari sebuah genk besar di Jogja."