Mentari pagi menghamparkan sinarnya, menyibakkan kabut tipis dan menembus rimbunnya dedaunan. Sono terlihat keluar dari rumah menuntun sepedanya. Pagi itu dia libur sekolah dan bersiap pergi ke rumah Tono.
"Awass, Kek! Minggir ...!" teriak Sono sambil memacu sepedanya.
Hampir saja Sono menabrak kakeknya yang sedang berolah raga menikmati hangatnya sinar mentari pagi. Kakek Panji hanya geleng-geleng kepala menyaksikan ulah cucunya. Sedangkan Sono terus saja memacu sepedanya menyusuri jalan-jalan kampung menuju rumah Tono. Titik-titik peluh mulai terlihat di kening Sono meskipun udara masih terasa dingin.
Tiinggg ... tiiinnggg ...!
Terdengar bunyi bel sepeda Sono ketika masuk ke halaman rumah Tono yang tidak begitu luas. Meskipun begitu rumah sederhana berbentuk limasan khas Jogja dan berpagar bambu itu terlihat bersih dan asri. Di sampingnya terlihat sumur timba dan bangunan kecil di belakangnya untuk kamar mandi terpisah dari rumah induk.
Sono langsung menuju halaman belakang rumah. Sebagai sahabat sejak kecil, Sono sudah hafal kebiasaan pagi hari Tono jika libur sekolah. Dilihatnya Tono sedang memberi makan hewan piaraannya. Beberapa ekor ayam dan itik dalam kandang terletak di pojok belakang rumahnya.
"Ada apa, Son. Sepertinya terburu-buru datang ke sini?" tanya Tono ketika melihat Sono datang.
"Iya, Ton. Aku butuh bantuanmu. Ada sedikit masalah nih," kata Sono masih dengan nafas memburu.
"Iya ... tapi sabar dulu, Son. Ingat pesan kakekmu, kamu harus berlatih sabar dan mengendalikan emosimu."
Sono tersenyum dan beberapa kali menarik nafas untuk mengatur iramanya setelah tadi memacu sepedanya menuju rumah Tono. Dia mencoba berdiri tenang di samping Tono dan ikut memberi makan hewan piaraannya. Tak lama kemudian Tono membuka pembicaraan.
"Ada masalah lagi dengan Genk Butterfly, Son? Apa kamu bertemu dengan anak itu lagi?"
"Bukan, Ton! Memang sih aku pernah beberapa kali melihat rombongan Genk Butterfly. Waktu itu aku lagi ikut Om Aris ke kota, mereka naik motor semua, aku lihat beberapa anak bertato kupu-kupu." Sejenak Sono menghentikan ceritanya. Dia kembali mengambil pakan ayam dan disebarkan di kandang.
"Terus kenapa, Son. Apa kamu berjumpa dengan anak itu lagi dan terlibat keributan dengannya?" tanya Tono penasaran.
"Bukan! Bukan itu masalahnya."
"Terus apa? Sepertinya penting sekali sampai pagi-pagi datang kesini."
"Enggak penting sekali sih! Aku cuma butuh penjelasan. Mungkin kamu bisa membantuku, Ton," kata Sono sambil memandang Tono.
"Penjelasan? Hmm, boleh, jika aku mampu. Penjelasan apa, Son?"
"Begini, Ton. Kemarin malam aku mendapat wejangan dari kakekku tentang mata batin." Sono kemudian menjelaskan semua peristiwa yang dia alami bersama kakeknya.
"Ooo ... sepertinya beliau mau mengajarkan tentang pengendalian emosi padamu, Son. Kamu kan tahu sendiri, kamu itu bagaimana. Cepat emosi, meledak-ledak, tidak sabaran ...."
"Ha ha ha ... benar juga, Ton!"
"Tapi sepertinya tidak hanya itu, Son. Kakekmu ingin agar kamu bisa mengendalikan mata batinmu. Itu untuk melengkapi ilmu silat yang telah beliau ajarkan padamu."
"Hmm ... benar juga. Kakek Panji ingin aku memperdalam ilmu silatku dengan serius. Dan kakek akan memberi bekal padaku untuk menemukan dan menghadapi pembunuh ayah dan ibuku," kata Sono sambil menerawang jauh ke angkasa.