"Kek, aku sudah paham tentang gasing bambu," kata Sono ketika pulang dari mushola di depan rumahnya dan mendapati Kakek Panji sedang duduk di pendopo.
Sono mendekat dan memperhatikan posisi duduk kakeknya. Kakek Panji duduk bersila dengan kaki kanan di atas kaki kiri dan posisi kedua tangan terbuka di atas lutut. Matanya terpejam dengan irama napas halus teratur. Tak berapa lama kemudian, Kakek Panji membuka matanya dan menatap tajam pada Sono.
"Hmm ... kalau begitu kamu lakukan olah napas ini. Lakukan rutin kapan saja dalam keadaan tenang terutama setelah melakukan latihan fisik. Tetapi jangan sampai mengganggu aktivitas belajarmu. Ini untuk membantu mengatur emosimu," kata Kakek Panji sambil memberi contoh cara melakukan latihan pernapasan tersebut. Bagaimana menghirup napas panjang dari hidung dan mengeluarkannya dari mulut beserta irama dan hitungan pada tiap-tiap tahapnya.
"Baiklah, Kek. Nanti sore akan aku coba berlatih napas ini bersama Tono," kata Sono kemudian bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk bersiap-siap berangkat ke sekolah.
Tak lama kemudian Sono keluar dari kamarnya sudah terlihat rapi dengan baju seragam putih birunya. Dia menuju meja makan dan mengambil singkong rebus untuk sarapan paginya.
"Tidak sarapan nasi, Son?" tanya Ningsih.
"Ini sudah cukup, Bulik," jawab Sono. Dia telah menghabiskan tiga potong singkong rebus ukuran besar.
"Ya, sudah. Berangkat sana," kata Ningsih lagi sambil tersenyum.
Diperhatikan anak semata wayang mendiang kakaknya yang tengah beranjak remaja. Usai rawan bagi seorang anak untuk perkembangan psikologisnya. Akan sangat berisiko jika tidak ada pendampingan secara bijaksana dari Aris dan Ningsih sebagai pengganti kedua orang tuanya. Tapi untunglah Sono dibesarkan di lingkungan yang keras dan penuh disiplin, yaitu sebuah padepokan pencak silat Banyumeneng yang diasuh oleh Panji Asmoro, kakek Sono sendiri.
"Bulik, Sono berangkat dulu," kata Sono berpamitan sambil mencium tangan buliknya.
Sono menyambar tas lalu bergegas menuju garasi untuk mengambil sepedanya. Sebentar kemudian dia sudah menyusuri jalanan kampung menuju rumah Tono.
"Ton, ayo berangkat!" teriak Sono di depan pagar rumah Tono. Tono bergegas keluar menuju sepedanya yang telah dia persiapkan di depan rumahnya.
"Yah ... kamu, Son. Hampir saja aku berangkat sendiri. Sudah lewat lima belas menit, nih, nunggunya," kata Tono.
"He he ... maaf, Ton. Aku agak kesiangan tadi bangunnya."
"Makanya jangan kemalaman tidurnya. Pasti ngelamunin Putri terus kamu, Son!"
"Aku memang belajar sampai malam, Ton. Tapi cuma sebentar saja, keterusan ngelamunin Putri," kata Sono tidak menepis tuduhan Tono. Memang begitulah cinta akan menemukan jalannya sendiri. Meskipun Sono hingga kini belum mengetahui keberadaan Putri.
"Sudah selesai pekerjaan rumahmu, Son?" tanya Tono. Sono menjawabnya dengan mengacungkan jari tangannya membentuk lingkaran dari jari telunjuk bertemu dengan ibu jarinya.
"Ayo berangkat! Keburu upacara dimulai. Kita tidak bisa masuk ke tempat parkir sepeda," kata Tono.