Lima belas tahun yang lalu ....
"Mungkin aku agak lama pulangnya, karena ada sedikit masalah di proyek. Aku harus memastikan semua berjalan sebagaimana mestinya. Setelah itu aku pastikan pulang seminggu sekali" kata Ciptomurti.
"Tidak apa-apa, Mas. Sempatkan mampir di cabang padepokan kita di sana," kata Sulastri menyampaikan pesan ayahnya, Guru Panjiasmoro. Dia memakaikan kalung berbandul kulit hitam persegi pada leher suaminya. Bandul kalung itu bertuliskan huruf kapital BM berwarna kuning emas.
"Ayah, aku ikut!" Terdengar teriakan seorang balita yang berlari-lari kecil menubruk kaki Ciptomurti. Dia memegang erat kaki ayahnya seolah tidak mau melepasnya.
"Hei, Jagoan! Kamu temani ibu di rumah, ya." Ciptomurti kemudian berjongkok dan memegang kedua pundak anaknya.
"Setelah ini kamu yang akan menjaga ibumu!" lanjutnya sambil menatap dalam-dalam telaga bening di kedua mata kecil itu. Ciptomurti segera melangkah meninggalkan Padepokan Banyumeneng yang sekaligus menjadi tempat tinggalnya.
"Ayah, kapan pulangnya?" Ciptomurti menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke belakang.
"Ayah tidak akan pulang," jawab Ciptomurti dengan nada datar dan sedikit tersenyum. Sang balita pun cemberut dan hampir menangis mendengar jawaban itu.
"Sudah, sini .... Ayah cuma becanda, sebentar juga ayah akan pulang," kata Sulastri sambil meraih tubuh anaknya dan digendongnya. Dia merasa ada sedikit keanehan dengan nada bicara suaminya tersebut.
Sementara itu di dalam pendopo yang terletak di samping rumah utama Padepokan Banyumeneng, di mana Sulastri dan Ciptomurti tinggal, terlihat dua orang murid padepokan yang lain sedang berlatih. Mereka sedang memperagakan gerakan jurus berpasangan dengan menggunakan pedang.
Gerakan-gerakan mereka begitu mantap dan terarah. Kibasan kedua pedang menyapu setiap jengkal area di sekeliling mereka. Kedua pedang itu saling menggulung, memotong, dan menebas pertahanan lawan. Beberapa jurus mereka mainkan dengan baik. Saling melengkapi dan saling menguatkan. Jurus Pedang Mengayun Samudra. Jurus ini untuk menghadapi lawan dalam jumlah banyak.
Pemain pedang itu adalah Jarwo dan Aris. Mereka berdua menguasai Jurus Pedang Mengayun Samudra dengan baik bahkan mendekati sempurna dibanding Ciptomurti. Baik untuk jurus tunggal maupun berpasangan. Tetapi menuju jurus kesepuluh, gerakan mereka sedikit kacau. Salah satu di antara mereka tiba-tiba saja kehilangan konsentrasi. Mereka tidak lagi saling melengkapi. Pedang mereka terkadang saling berbenturan sendiri.
Traanggg ...!!!
Tiba-tiba Jarwo membanting pedangnya. Dia menghentikan latihannya dan berdiri tegak dengan napas memburu.
"Dia akan ke luar kota lagi. Ini kesempatanku. Kali ini rencanaku tidak boleh gagal!" Nada berat menahan amarah keluar dari mulut Jarwo. Pandangan matanya nanar menatap Ciptomurti yang sedang bercakap-cakap dengan istrinya, Sulastri, di depan rumahnya.
"Rencana? Gagal? Rencana apa, Wo?" tanya Aris. Dia pun menghentikan latihannya dan melempar pandangan keluar pendopo. Dilihatnya Sulastri sedang melepas keberangkatan suaminya.
"Ee, itu ...," Jarwo terkejut dan gugup. Dia tidak mengira mendapat pertanyaan seperti itu dari Aris, "rencana ... rencanaku untuk menikah dengan Sulastri gagal karena Ciptomurti." Jarwo berusaha menutupi kegugupannya.
Tetapi Aris bisa melihat dan merasakan keanehan dengan sikap Jarwo itu. Aris menatap tajam pada Jarwo seolah ingin mengetahui apa yang ada dalam pikiran Jarwo. Tetapi Jarwo segera membuang muka. Aris merasa Jarwo seperti menyembunyikan sesuatu.