Apa yang sempat diucapkan ayah pada ibu waktu itu? Mungkinkah ada hubungannya dengan kejadian yang menimpa ayah? Arya dengan serius memperhatikan cerita Aris.
"Setelah itu, apakah ibu pernah cerita pada Om tentang dua kata tersebut?" tanya Arya.
"Iya. Setelah empat puluh hari meninggalnya ayahmu. Saat itu keadaan ibumu sudah lebih tenang. Ibumu baru bisa menceritakan pada Om," Aris menghentikan ceritanya. Dia mengambil napas panjang dan menatap Arya dalam-dalam.
"Kata apa itu, Om?"
"Jarwo dan gali."
"Jarwo dan gali?" Arya terkejut mendengar jawaban Aris. Sementara Aris hanya menganggukkan kepala.
"Kenapa waktu itu Jarwo tidak langsung ditangkap untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya, Om?" lanjut Arya.
"Ucapan dari ayahmu tidak bisa dijadikan bukti kuat. Apalagi setelah itu ayahmu meninggal. Pihak berwajib tidak bisa mengkorfirmasi keterangan itu," jawab Aris.
"Darah harus dibalas dengan darah! Bukankah Om Aris sudah mengetahui rencana jahat Jarwo sebelumnya? Kenapa juga mendiang kakek tidak mengambil tindakan pada Jarwo?"
"Waktu itu sebenarnya Guru Panji menyuruh beberapa murid senior untuk mencari Jarwo. Tapi dicegah oleh ibumu."
"Kenapa, Om? Kenapa ibu mencegahnya?"
"Ada alasan kuat dari ibumu. Guru Panji pun menyetujuinya," jawab Aris.
"Apa alasan itu, Om?"
"Iya, Om. Mendiang Bulik Sulastri begitu tegar. Apa yang bisa membuatnya seperti itu?" Anton ikut bertanya.
Aris menarik napas panjang. Kembali dia membongkar ingatannya pada kejadian lima belas tahun lalu ....
***
Empat puluh hari sudah berlalu dari peristiwa dibunuhnya Ciptomurti. Sulastri tidak pernah mengungkapkan lagi peristiwa itu meskipun kepada Guru Panji, ayahnya. Bahkan ketika mendadak Jarwo menghilang dan meninggalkan padepokan serta orang-orang menduga bahwa Jarwo adalah pelakunya, Sulastri tetap diam. Dia tidak ingin ada dendam berkepanjangan yang berbuntut pada pertumpahan darah lagi di antara murid-murid Padepokan Banyumeneng. Biar bagaimanapun, Jarwo adalah murid utama dan mempunyai pengaruh di padepokan.