Malam itu di sudut Kota Jogja bagian barat terlihat sepasang cowok dan cewek berboncengan sepeda motor masuk ke sebuah gang kampung. Mereka berhenti pada sebuah rumah berpagar hijau dengan sebuah taman dan kolam ikan kecil di depan teras. Ceweknya turun dan terlihat bercakap-cakap sebentar sebelum masuk ke dalam halaman rumah itu.
"Din, besok aku jemput, ya?"
"Nggak usah, Al. Aku biasa naik bus."
"Sekali saja, ya?"
Andini tetap menolaknya meski Aldi, cowok yang dipanggilnya Al itu memaksanya. Tak lama kemudian Aldi meninggalkan Andini yang masih berdiri di depan pintu rumahnya.
Tok ... tok ... tok ....
Terdengar pintu rumah di ketuk.
"Oo ... kamu, Putri," sapa ibunya, "sudah selesai acara ulang tahunnya?" lanjut ibunya kemudian membukakan pintu untuk Andini. Andini tersenyum dan mengangguk.
"Sama siapa pulangnya, Put?"
"Diantar Aldi, Bu," jawab Andini sambil masuk ke dalam.
Ibunya menjulurkan kepala menengok ke luar rumah. Dilihatnya seorang cowok mengendarai motor berjalan pelan pergi dari depan pintu pagar.
"Sepertinya dia juga pernah mengantar kamu pulang beberapa hari yang lalu," kata ibunya sambil memperhatikan Andini dengan penuh selidik.
"Baru sekali, Bu ..."
"Baru sekali ... memangnya pingin diantar lagi?" tanya ibunya. Andini hanya tersenyum.
"Satu kelas denganmu?"
"Iya, Bu. Rumah dia satu jalur juga denganku. Kebetulan waktu itu Dewi nggak masuk sekolah, aku takut sama anak-anak Genk Butterfly kalau pulang sendiri."
"Kamu suka dia?" tanya ibunya.
"Aku ...? Enggaklah, Bu. Entah kalau dianya yang suka," jawab Andini tersenyum sambil mengangkat bahunya. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya di depan ibunya.
"Oo ... begitu," kata ibunya sambil tersenyum penuh arti.
"Lagian, Aldi yang menawarkan diri untuk mengantarku pulang. Ya sudah, aku terima saja, yang penting ... gratis," kata Andini sambil tertawa.
"Jangan terlalu dekat. Nanti dikira kamu juga suka sama dia. Yang penting jangan mempermainkan perasaannya," kata ibunya menasehati.
"Iya, Bu, akan selalu kuingat nasehat Ibu. Kalau begitu aku mau istirahat dulu," jawab Andini sambil tersenyum dan mencium pipi ibunya.
Rasa lelah dan penat menyelimuti tubuh Andini setelah seharian beraktivitas di sekolah ditambah ada acara ulang tahun di rumah temannya hingga malam hari. Dia berjalan pelan masuk ke kamarnya. Terlihat kasur empuk berseprei merah muda seperti melambaikan tangannya untuk segera ditiduri. Tapi Andini hanya duduk di tepi pembaringannya. Beberapa kali dia terlihat menghela nafas panjang.
Yang penting jangan mempermainkan perasaannya, kembali pesan itu terngiang di telinganya. Andini teringat kejadian beberapa hari yang lalu saat Arya melihat dia berboncengan dengan Aldi.
Kak Arya dan Aldi, aku di antara dua pilihan. Aku seperti tidak ingin kehilangan Kak Arya meski aku baru saja mengenalnya. Sementara dengan Aldi, aku merasa dekat meski aku tidak mencintainya, kata hati Andini.
Bola mata Andini berputar mengelilingi ruangan kamarnya. Pikirannya melayang mengingat kembali saat-saat dia bertemu pertama kali dengan Arya. Tiba-tiba pandangan matanya tak sengaja tertuju pada sebuah bilah bambu yang menyembul di antara tumpukan boneka dan mainan lainnya di dalam kotak kayu di pojok ruang kamarnya. Tapi dia tidak menghiraukannya. Hingga pada kali ketiga pandangan matanya berhenti pada bilah bambu itu. Andini kemudian berdiri dan menghampirinya. Diambilnya bilah bambu itu hingga terlihat sebuah mainan utuh.
Gasing bambu ... kenapa benda ini jadi menarik perhatianku ya? Sejenak Andini memperhatikan mainan tradisional masyarakat Jawa itu.
Selama ini mainan itu selalu disingkirkannya saat dia akan bermain dengan bonekanya. Tapi malam ini benda itu bagaikan magnet bagi Andini dan seolah-olah memancarkan getaran-getaran energi yang sangat kuat untuk mengingat-ingat kembali dari mana mainan itu berasal.
Hmm, seorang cowok telah memberiku gasing bambu ini. Kapan, ya? Mungkin satu atau dua tahun yang lalu, aku sudah lupa. Bahkan aku sudah tidak bisa mengingat lagi wajahnya.
Angannya kembali melayang mengingat kejadian saat dia bersama ibunya dicopet di Alun-alun Utara dulu. Kemudian seorang cowok jago berkelahi menolongnya dan memberikan gasing bambu itu.
Andini mengambil gasing bambu tersebut dan memperhatikan setiap inchi permukaannya seolah-olah dia sedang mencari sesuatu untuk dijadikan petunjuk tentang cowok itu. Berkali-kali dia putar gasing bambu tersebut tapi belum bisa menemukannya juga. Hanya tulisan nama Andini Putri dan Sono yang dia lihat di permukaan lengkung di bawah lubang gasing bambu itu.
Andini Putri dan Sono. Putri itu nama belakangku. Dulu aku menyebut namaku Putri saat pertama kali berkenalan. Sedangkan Sono nama cowok itu. Apakah Kak Arya adalah Sono sehingga dia memanggilku Putri saat bertemu denganku? Mungkinkah gasing bambu ini ada hubungannya dengan Kak Arya? Andini menatap tajam gasing bambu itu.