Sementara itu di tempat parkir ...
"Nunggu siapa, Mbak Dewi?" tanya Pak Harno sambil mendorong pintu gerbang belakang sekolah dan disisakan sedikit cukup untuk lewat sebuah sepeda motor saja.
"Itu, Pak, Andini. Masih di kantin sama cowoknya," jawab Dewi sambil tersenyum.
"Itu Mas Aldi? Mereka sudah jadian to?" tanya Pak Harno memperhatikan mereka berdua.
"Sebenarnya belum sih, Pak. Aldi baru pedekate gitu ..."
"Hmm ... siapa sih yang tidak kesengsem sama Mbak Andini itu? Banyak yang suka sama dia. Kalau saya perhatikan pembicaraan anak-anak kelas satu sampai kelas tiga waktu di kantin paling sering dibicarakan itu ya ... Mbak Andini," kata Pak Harno sambil mengeluarkan kotak rokoknya, "mungkin karena Mbak Andini itu masih kelas satu, masih baru di sini," lanjutnya setelah menyalakan rokoknya.
"Iya, ya, Pak. Seperti produk baru di toko, banyak menyita perhatian. Tapi yang beli ya yang benar-benar butuh aja."
"Masak Mbak Andini seperti barang di toko? Ada-ada saja Mbak Dewi ini," Pak Harno tersenyum sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Maksudnya ... nanti yang terus membicarakan dan ngejar-ngejar dia pasti yang benar-benar menyukai Andini, gitu Pak Harno," kata Dewi menjelaskan.
"Tapi kalau Mbak Andini kayaknya akan terus jadi bahan perbincangan cowok-cowok di sekolah ini, Mbak. Soalnya orangnya cantik, periang, supel, pergaulannya baik tidak membeda-bedakan teman."
"Nhah ... memuji nih, jangan-jangan Pak Harno juga suka sama Andini. Awas lho, Pak, cinta itu nggak memandang usia!" seloroh Dewi memotong perkataan Pak Harno.
"Ah, Mbak Dewi ini ... saya sudah tua, anak dua lagi. Tapi mungkin sih, kalau ketemunya pas sama-sama muda," katanya sambil tersenyum.
"Nhah ...! Ketahuan lagi kalau mata keranjang," kata Dewi sambil tertawa.
"Ya, saya kan pernah muda, Mbak. Jadi tahulah perasaan anak muda usia sekolah seperti Mbak Dewi ini. Mudah tergoda masalah cinta." Pak Harno kembali menghisap dalam-dalam rokoknya.
"Iya, Pak. Bercanda tadi." Dewi melihat ke arah kantin.
Lama sekali mereka. Apa saja yang diomongkan? Seandainya itu aku yang ada di sana. Ada perasaan galau di hati Dewi.
"Ada apa, Mbak Dewi?" Pak Harno ikut melihat ke kantin.
"Ingin seperti mereka, ya? Atau malah Mbak Dewi cemburu?" Seketika memerah wajah Dewi.
"Ah, Pak Harno, kok malah saya yang diolok-olok." Dewi pasang muka cemberut.
"Iya, maaf, Mbak." Pak Harno tersenyum, "ngomong-ngomong, sudah berapa lama Mas Aldi pedekatenya?"
"Berapa ya, Pak. Mungkin enam bulanan sudah ada. Tapi kayaknya Andini jaga jarak terus kalau sama Aldi."
"Wah, cukup lama juga, ya. Mungkin Mbak Andini sudah menyukai cowok lain?"
"Enggak juga sih, Pak. Cuma akhir-akhir ini sepertinya Andini berharap pada kakak kelasnya."
"Oo, mungkin sama anak kelas dua itu," kata Pak Harno sambil mengangguk-anggukkan kepala, "Mas Arya, iya ... sepertinya dia juga menyukai Mbak Andini."
"O ya? Serius nih, Pak?" tanya Dewi setengah tidak percaya apa yang diomongkan Pak Harno.
"Saya pernah dengar waktu itu di kantin. Mas Arya bersama Mas Anton, Mas Yuda, dan Mas Baskoro lagi ngobrol. Terus membicarakan Mbak Andini juga. Sepertinya Mas Arya sih yang jadi sasaran," kata Pak Harno menceritakan kejadiannya.
"Oo ... begitu ceritanya, bisa jadi kisah cinta segitiga nih!" Dewi tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala.
"Permisi dulu, Mbak. Saya mau kontrol ke kelas, nutup pintu dan jendela."
"Iya, Pak, silahkan. Tapi jaga kesehatan, Pak. Kurangi rokoknya!" kata Dewi sambil tersenyum.