Gasing Bambu

bomo wicaksono
Chapter #33

Bab 32. Kematian Sulastri

Malam semakin larut. Arya duduk termenung di kursi belajar dalam kamarnya. Tubuhnya mulai terasa pegal dan nyeri akibat pukulan ruyung Jack. Arya tidak menduga kalau apa yang sudah dijongko)* oleh kakeknya tidak semudah apa yang dia bayangkan. Sedangkan usaha yang telah dijangkahnya)* untuk menemukan pembunuh kedua orang tuanya ternyata berbuntut panjang dan penuh liku. Genderang perang yang telah mereka tabuh di Alun-alun Utara dua tahun lalu pun masih menyisakan dendam yang harus dibalas. Jack akan tetap menjadi kerikil tajam dalam usaha mencari pembunuh itu.

Sepertinya dendam Jack begitu besar. Dia tidak akan berhenti sebelum bisa mengalahkan Arya. Meskipun Arya telah memberi kesempatan padanya untuk berubah. Arya tidak ingin terjadi apa-apa pada Jack saat dia harus menentukan pilihannya.

Mungkin dendam ini hanya akan selesai jika salah satu mati. Tapi aku tidak ingin kejadian yang menimpa kedua orang tuaku terulang kembali. Masalah ini pasti akan bertambah panjang. Apalagi dia akan melibatkan Goprak, yang belum pasti dia adalah Jarwo, kata Arya dalam hati.

Arya menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi. Beberapa kali dia menarik napas panjang. Matanya menerawang memandangi gasing bambu yang berada di lemari kacanya. Angannya kembali teringat saat dia bertemu dengan Putri.

Putri ... kamu dulu sebuah misteri yang menyertai permasalahanku dengan Jack. Kini aku sudah menemukanmu dalam diri Andini. Dan apa yang kurasakan saat ini masih sama seperti rasa dua tahun yang lalu.

Arya kemudian mengambil buku pelajaran, membuka lembar demi lembar dan berusaha membacanya. Tetapi nyeri di tubuhnya itu terasa mengganggu konsentrasinya.

Aku khawatir masalah ini juga akan mengganggu kegiatan sekolahku. Aku hanya bisa berharap pada Sang Waktu. Semoga Dia akan menuntunku untuk menyelesaikan masalah ini. Dan semoga juga perkelahianku tadi tidak menjadi pembicaraan orang-orang dan didengar pihak sekolah.

Belum semua materi pelajaran tadi pagi selesai dia ulangi dan dia pahami lagi. Rasa capek telah menyelimuti seluruh tubuh Arya. Dan mata itu sudah terasa berat untuk menahan kantuknya.

Malam pun semakin naik tinggi meniti lembaran-lembaran waktu menggantikan lembayung senja. Dan Arya pun terlelap dalam tidurnya yang paling dalam.

***

Malam itu Aris masih ngobrol dengan Ningsih di kamarnya.

"Mas aku sebenarnya mengkhawatirkan keselamatan mereka berdua, terutama Arya," kata Ningsih sambil memandang sayu pada Aris. 

"Aku tidak ingin kejadian yang menimpa Mas Ciptomurti dan Mbak Lastri dialami juga oleh Arya. Hanya dia satu-satunya keluarga penerus padepokan ini. Sementara kita juga belum dikaruniai anak," lanjut Ningsih.

Lihat selengkapnya