Semenjak genderang perang di tabuh oleh Arya dan Anton di arena Sekaten Alun-alun Utara dua tahun yang lalu, perkelahian demi perkelahian tidak bisa dihindarkan antara Arya dengan Jack, anak Genk Butterfly itu. Dendam Jack semakin berkobar. Bagai api dalam sekam, yang sekarang telah menjadi bara yang sangat sulit dipadamkan dengan siraman air.
"Setiap orang akan menempuh jalan hidupnya sendiri dan akan bertanggung jawab penuh untuk dirinya. Ini mungkin sudah jalanku, Ton," kata Arya sambil menghela nafas panjang.
"Benar! Kamu sudah tidak mungkin menghindar atau menyerah. Karena Jack sendiri telah bertekat akan mengalahkanmu. Pertahankan gasing bambu itu tetap berputar, Ar, agar kamu mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan masalah ini dengan baik walau harus dengan perkelahian. Dengan niat baik di dirimu pasti akan ada jalan," kata Anton memberi semangat pada sahabatnya.
Arya menatap tajam sahabatnya. Pandangan mata mereka seolah saling menguatkan tekad mereka untuk tidak mudah menyerah pada permasalahan ini. Terlihat beberapa kali Arya menarik nafas panjang seolah sedang menata hati dan pikirannya agar bisa selaras.
"Hmm ... baiklah, Ton, kita hadapi bersama. Dan kita akan menyelesaikannya. Tapi aku tidak ingin bertarung di tempat dulu seperti yang sudah dijanjikan Jack. Tempat itu dekat dengan sekolah kita. Aku tidak mau pihak sekolah mengetahui masalah kita ini."
"Benar kamu, Ar. Kita menghindari banyak orang. Karena segala kemungkinan bisa terjadi. Usahakan untuk mengajak mereka kompromi agar mau bertarung di tempat lain. Selain untuk menghindari pihak sekolah kita agar tidak mengetahui keributan ini, kita juga tidak ingin pertarungan kita nantinya akan memicu anak-anak Genk Butterfly yang lain untuk membalas dendam pada siapun. Yang pada akhirnya akan berimbas lagi pada sekolah kita. Meskipun ini akan sulit untuk kita lakukan," jelas Anton.
"Baik, nanti kita lihat bagaimana situasi di sana," kata Arya.
***
Lembayung senja baru saja beranjak dari cakrawala. Gemerlap bintang dan cahya rembulan separuh purnama pun segera menghiasi langit malam menggantikan sang mentari. Malam itu malam minggu, malam panjang bagi para muda-mudi di Kota Jogja untuk menikmati keramaian Jalan Malioboro.
Selepas Maghrib Arya dengan meminjam sepeda motor Om Aris, berboncengan dengan Anton meluncur ke rumah Andini di Wirobrajan. Tak butuh waktu lama mereka sudah sampai sana, sebuah rumah berpagar hijau dengan kolam ikan kecil di depan teras. Di sana Dewi pun sudah menunggu. Mereka ngobrol sejenak. Setelah itu segera bersiap-siap berangkat menuju Toko Buku Gunung Agung yang berada di pojok barat laut perempatan Tugu Pal Putih.
"Ibu, Putri berangkat dulu," teriak Andini dari ruang depan.
"Din, kenapa mesti teriak sih, kami juga mau berpamitan sama ibumu," kata Dewi.
"Tuh, denger kata Dewi." Terdengar suara dari dalam. Kemudian muncul wanita paruh baya dengan rambut sebahu dan sedikit memutih. Tapi gurat-gurat kecantikannya masih tergambar jelas di wajahnya.
"Oh, ada tamu rupanya," kata wanita paruh baya itu ketika melihat Arya dan Anton di depan rumah.
"Iya, Bu. Saya Arya dan ini Anton. Kami sebenarnya kakak kelas Putri," jawab Arya. Andini terlihat ceria saat Arya menyebutnya dengan nama Putri.
"O, satu sekolah juga, to. Saya Ratri, ibunya Putri."
"Iya, Bu. Kami mohon ijin pergi bersama Putri. Kami mau ke toko buku sekalian pulangnya mau jalan-jalan dulu ke Malioboro," kata Arya. Ibu Ratri mengangguk.
"Ibu pasti sudah lupa sama mereka berdua," kata Andini. Ratri mengerutkan dahinya sambil bergantian memperhatikan Arya dan Anton.
"Hmm, siapa ya? Ibu kok sudah lupa."
"Mereka dulu yang menolong ibu dan aku saat dicopet anak genk di Sekaten dua tahun lalu." Andini berusaha membuka ingatan ibunya.
"O ya? Ibu lupa-lupa ingat peristiwa itu. Syukurlah kalau kalian bisa ketemu lagi dan jadi berteman. Cuma pesan ibu, jangan suka berkelahi lagi. Ibu dengar lagi ada keributan antar anak sekolah dengan anak-anak genk. Tidak usah ikut-ikutan. Ibu takut kalau-kalau sampai ada korban."
"Iya, Bu, kalau begitu kami berangkat," kata Andini mewakili teman-temannya.
"Hati-hati ya, Nak. Jangan terlalu malam pulangnya," pesan Bu Ratri pada mereka. Andini mengangguk.
Mereka berdua-dua berboncengan sepeda motor segera berangkat. Pelan-pelan sepeda motor mereka melewati jalan kampung yang sempit. Seorang cowok pengendara sepeda motor berhenti sebentar dan memperhatikan mereka ketika berpapasan saat keluar dari gang.
Andini dan Dewi? Mau ke mana mereka? Siapa juga dua cowok yang di depannya itu? katanya dalam hati.
Tetapi mereka tidak memperhatikan pengendara motor itu dan terus melaju keluar menuju jalan raya. Pengendara motor melajukan kembali motornya hingga di depan rumah Andini. Dia berhenti dan memanggil ibunya Andini yang hendak masuk ke dalam rumah.
"Malam, Bu. Tadi Andini keluar sama teman ya, Bu?" tanya cowok itu. Ibu Andini diam sejenak sambil memperhatikan cowok yang masih duduk di atas motornya.