Gasing Bambu

bomo wicaksono
Chapter #42

Bab 41. Pengakuan Goprak

Perkelahian antara Arya dan Goprak mempertontonkan gerakan jurus-jurus ilmu silat yang sebenarnya. Ibarat sebuah pertandingan di arena, mereka berusaha saling menjatuhkan dengan teknik-teknik yang mereka kuasai. Tetapi hingga jurus ke sepuluh, yang merupakan gerak jurus pengembangan, Arya mulai kelihatan berada di atas angin. Goprak mulai terlihat kesulitan mengatur irama nafasnya bahkan sering kehilangan nafas sehingga gerakannya terlihat lebih lamban. Sedangkan gerakan tubuh Arya masih terlihat aktif bila dibandingkan Goprak karena telah dibekali dengan ilmu olah pernafasan oleh kakeknya. Gerakan-gerakannya menjadi lebih lincah dan variatif.

Arya memperagakan gerak jurus tipuan yang merupakan inti dari jurus kesepuluh ini. Goprak salah menduga, pukulan yang dilayangkan Arya baru setengahnya ditarik kembali dan secepat kilat berubah menjadi sebuah tendangan samping yang cukup keras. Goprak terlambat mengambil nafas sehingga tidak cukup cepat untuk menangkisnya. Tendangan kaki Arya mengenai bahu kirinya. Goprak terhuyung ke samping kehilangan keseimbangan. Segera Arya menarik nafas untuk mengumpulkan energi gelombang dari sekitarnya. Dan dengan didorong putaran pinggangnya secepat kilat Arya melayangkan pukulan tangan kirinya tepat mengenai dada Goprak.

Goprak terdorong ke belakang cukup keras terkena tendangan dan pukulan Arya. Dia berusaha mengatur gerakan kakinya untuk menahan tubuhnya yang terhuyung-huyung ke belakang. Arya menghentikan serangannya, memberi kesempatan pada Goprak. Tetapi energi yang dilepaskan oleh Arya seolah-olah terus mendorong tubuh Goprak. Dia benar-benar kehilangan keseimbangan tubuhnya dan terjatuh ke belakang. Segera Anton berlari ke tengah arena dan berseru menghentikan perkelahian selanjutnya.

"Cukup! Hentikan dulu pertarungan ini! Sepertinya Goprak masih satu perguruan dengan kita," kata Tono. Arya dan Goprak terkejut mendengar ucapan Anton.

"Aku juga menduga demikian, Ton."

Sementara itu Goprak berusaha berdiri sambil menahan rasa sakit di dadanya. Dia terlihat mengatur nafasnya untuk mengurangi rasa sakit dan mengembalikan tenaganya. 

"Tenagamu kuat sekali anak muda. Meskipun gerakan jurus kita hampir sama dan kau berhasil memukulku belum tentu kita satu perguruan. Jangan sombong dulu! Aku belum mengeluarkan jurus andalanku. Dan aku belum kalah," tanya Goprak.

"Ilmu silatmu mirip ... bahkan bisa dikatakan sama dengan ilmu silat Padepokan Banyumeneng. Berarti kau pernah berguru di Padepokan Banyumeneng!" kata Anton memandang tajam pada Goprak.

"Hmm ... benar! Aku memang pernah berguru di padepokan itu, pada si Tua Panji." Akhirnya Goprak mulai membuka jati dirinya.

"Bagaimana kabar dia sekarang?" tanya Goprak dengan nada sinis.

"Kakekku sudah meninggal. Tapi beliau sudah memberi bekal padaku untuk mencari Jarwo."

"Si Tua Panji itu kakekmu. Kalau begitu kau pasti anak dari Ciptomurti!"

"Benar, aku putra tunggal dari Ciptomurti. Rupanya kau mengenal keluargaku dengan baik." kata Arya.

"Itu tidak penting bagimu. Sekarang apakah kau ingin bernasib sama seperti ayah dan ibumu mati ditanganku anak muda?"

Arya terkejut mendengar pengakuan Goprak.

"Jarwo ...! Kau pasti Jarwo! Kaulah pembunuh kedua orang tuaku!" 

"Benar, aku Jarwo!" kata Goprak tersenyum sinis.

"Mengapa kamu lakukan itu? Saat itu ... usiaku baru tiga tahun. Kamu begitu tega merebut kebahagianku bersama kedua orang tuaku." lanjut Arya. Samar-samar ingatan Arya kembali ke saat terakhir bersama ayahnya.

Lihat selengkapnya