Saat jam makan siang, Khalisa berjalan menuju kantin kantornya dan duduk di meja makan ia tak ingin memesan apapun di sana. Pikirannya masih terbelenggu oleh pernyataan Hasbi dan Renata dan mempertimbangkan keputusannya supaya dirinya tidak menyesal sesudahnya.
"Menyesal?" Tanyanya pada diri sendiri. "Aku pasti akan sangat menyesal."
"Mikirin apa, si... Pengantin baru, keliatannya kayak udah banyak beban rumah tangga." Celetuk Sherly sambil menggoyangkan tubuh Yasmin menggoda.
"Hai. Aku cuma lagi sedikit pusing." Timpal Khalisa. Matanya berpaling menatap langit yang nampak jelas dari gedung lantai atas itu.
Sherly tertawa kecil sambil menarik kursi di depannya, lalu duduk menghalangi pandangannya. "Apa yang udah buat kamu pusing?"
Khalisa menarik napas dalam-dalam. "Suami dan ibu mertuaku nyuruh aku buat berhenti bekerja."
Sherly menjentikkan ibu jari. "Sudah aku tebak! Mereka pasti melakukan itu padamu. Baguslah! Secara... Kamu itu istri orang kaya! Istri manajer perusahaan utama di kantornya. Kenapa? Apa yang harus kamu khawatirin? Semuanya kan sudah terjamin."
"Tapi menurutku ini gak adil."
Sherly tertawa sembari menyelipkan rambut panjangnya ke belakang. "Sa, menurutku kehidupan yang gak adil itu adalah sesuatu yang menurut kamu gak adil, belum tentu kata orang pun sama. Contohnya, kamu itu sekarang udah hidup bahagia. Udah nikah sama orang kata dan istri terpandang. Sementara aku, aku ini masih lajang. Padahal, usiaku udah lebih dari dua puluh lima tahunan. Kamu itu lebih muda dari aku. Adil gak?"
Bahagia? Kamu gak tahu kebahagiaan itu adalah lembah penderitaan aku di atas caci maki mertuaku yang seenaknya, Sher. Enggak! Aku gak boleh cerita tentang Mama pada siapapun.
Khalisa menarik napas dalam-dalam dan mencoba untuk menenangkan dirinya. Ia tidak ingin membicarakan tentang masalahnya tentang mertuanya kepada siapa pun, bahkan kepada teman dekatnya, yang telah ia anggap lebih dari sahabat. Ia merasa bahwa itu adalah masalah pribadinya dan tidak ingin membuat orang lain tahu.
Apalagi Hasbi yang selalu ujung-ujungnya mendukung keputusan Ibunya. Khalisa memang merasa sangat sedih dan kesal, tapi bagaimanapun Hasbi juga adalah bagian dari dirinya. Ia tak mungkin menceritakan semua kejelekan suaminya pada orang lain, termasuk Sherly.
"Khal, menurut aku... Kamu kayaknya emang harus nurut sama suami dan ibu mertua kamu buat berhenti bekerja, deh." Lanjut Sherly mengejutkan. "Yakin deh, ini pilihan yang terbaik buat kamu. Kamu pasti gak akan pernah menyesalinya."
Khalisa masih bergeming.
"Emang, wanita karir itu super duper mandiri dan berani. Tapi, kamu harus ingat... Kamu juga wanita dan punya tanggungjawab sebagai seorang istri dan calon ibu. Jangan kamu pikir bahwa ini adalah suatu pilihan yang berat, tapi mana yang lebih kamu prioritaskan." Beberapa Sherly. "Sifat mandiri dan berani pada wanita karir tidak akan pernah pudar saat kamu berhenti bekerja nanti, sebab itu kan watak.... bukan tugas kamu sebagai wanita pekerja."
Khalisa mengangguk dan mulai termakan oleh saran-saran yang temannya itu ucapkan. "Kamu benar." Gumamnya dengan mata kosong.
Sherly tertawa lagi. "Udah... Istri orang kaya mah... tenang aja! Di jamin kok, semuanya!"
Khalisa menatap Sherly. Wajah wanita itu terlihat sangat yakin dan penuh percaya diri...
"Gimana? Apa yang kamu pikirkan?" Tanya Sherly lagi.
"Kayaknya saran kalian memang benar." Angguk Khalisa. "Aku akan mengajukan resign."
****
Dari luar jendela, langit sore nampak gelap. Angin pertanda hujan begitu menyeruak menusuk pori-pori kulit. Jam kantor hari ini sudah selesai. Khalisa segera mengemas barang-barangnya dan bersiap-siap untuk pulang. Langkahnya segera bergerak keluar menuju pintu lift sambil menatap layar ponsel saat satu pesan masuk dari Hasbi memberitahu bahwa lelaki itu telah menunggunya di luar.
"Sherly!" Sahut Khalisa saat ia keluar dari badan lift dan mendapati wanita itu berada di luar. "Belum pulang?"