Hasbi
Sayang aku minta maaf, sepertinya aku gak bisa antar kamu ke acara reuni.
Khalisa memasang wajah kecewa, saat mendapati isi pesan Hasbi yang nampaknya membuat ia jadi kurang semangat tuk menghadiri acara reuni teman SMA-nya itu. Padahal, ia telah mempersiapkan dresscode couple terbaiknya bersama Hasbi.
Di saat yang sama, jemari Khalisa begitu lincah menari di atas layar dan menyentuh ikon hijau pada beranda WhatsApp panggilannya, di saat yang sana ia menempelkan benda tipis itu di telinganya. "Halo, Mas?"
"Halo, sayang. Aku minta maaf ya. Pekerjaanku hari ini belum selesai."
"Iya, Mas. Gak apa-apa. Tapi, kamu sekarang masih di kantor?"
"Iya. Aku masih sibuk dengan asistenku, Tio. Maaf, ya. Tapi kalau acara reuni kamu selesai, aku bisa kok jemput kamu. Kamu tunggu sebelum aku jemput, ya."
"Baiklah, Mas. Aku akan kabari kamu."
Khalisa segera menutup panggilan dengan rasa kecewa. Usai ia mengganti pakaiannya dengan balutan dress dengan potongan yang ssangat elegan, Khalisa melangkah keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu.
Renata tak curiga. Sebab, Khalisa telah ijin pada wanita itu jauh-jauh hari, bahkan terkesan tidak peduli saat Khalisa pamit pergi hingga taksi online telah membawanya pergi menuju tempat reuni yang di selenggarakan di sebuah ballroom hotel yang tak begitu jauh dari pusat kota.
Dua puluh menit di perjalanan, Khalisa akhirnya tiba di sana. Ia beringsut turun dari kabin mobil berwarna hitam itu lalu bergerak menuju ke tempat acara.
Gerak Khalisa perlahan namun pasti. Saat memasuki ballroom hotel, ia disambut oleh suara-suara ruang dan suara musik yang membuat suasana kian hangat. Bulat bola matanya menyapu ke setiap penjuru, melihat orang yang ia kenal dari SMA.
Usai berjalan menuju meja pendaftaran, dimana ia menerima sebuah gelang sebagai tanda bahwa ia telah terdaftar sebagai peserta acara reuni, langkah Khalisa bergerak lebih cepat menghampiri keramaian.
"Khaaaal!" Sambut salah satu seorang wanita berbalut dress pastel dengan suara yang ceria menghampiri Khalisa dengan pelukan hangat. "Gimana kabar kamu?"
Khalisa melepaskan pelukan dan menatap teman dekatnya, Frida. "Baik! Aku kangen banget sama kamu."
Frida mengangguk dan memandang perubahan yang ada dalam diri Khalisa. "Kamu cantik banget sekarang."
"Oh jadi dulu, aku gak cantik?"
"Kamu sama sekarang tetap cantik, kok." Timpal seseorang mendadak muncul memecah perbincangan mereka.
"Ge-Gerald?!"
Lelaki berkemeja hitam dengan kacamata transparannya itu mengangguk tanpa suara. Membuat keduanya terkejut dan tak menyangka bahwa lelaki teman dekat mereka yang dulu sangat cuek terhadap penampilannya, kini nampak tampan dan kharismatik.
"Gerald... Serius ini lo?" Ucap Frida.
"Iya, ini gue. Napa?!"
Frida berteriak sambil melompat-lompat kecil ke udara. "Gak nyangka... Temen yang dulu selalu jadi sasaran buli kita, ya ampun...." Geleng Frida.
"Hey... Hey!" Gerald menepiskan jemari di depan wajah Frida sembari membusungkan dadanya yang nampak bidang dan sempurna. "Inilah kalau seseorang yang dulunya selalu jadi korban buli, takdir yang akan membawa mereka pada kesuksesan. Hukum alam itu ada dan nyata!"
Frida tertawa sambil menepuk pundak bahu Gerald. Sementara, Khalisa menggeleng dengan tawa yang membuat mata Gerald mengunci wajahnya.
"Sombong, lo!" Tambah Frida mengejutkan Gerald. "Emang lo sekarang jadi apa? Atau penampilan malam ini aja yang buat lo bersinar!"
Gerald mendesis. "Enak aja! Gue sekarang dokter spesialis ahli bedah!"
Frida dan Khalisa terkejut dan saling menatap dengan rasa ketidakpercayaannya.
"Serius?!" Ucap Khalisa.
"Khal, kamu gak percaya sama aku?!"
"Aku bukannya gak percaya, Rald. Tapi aku masih inget kalau dulu itu nilai Biologi kamu aja di bawah rata-rata, itupun hasil nyontek."
Frida menjentikkan ibu jari. Sementara, Gerald dengan penuh percaya dirinya itu segera merogoh sesuatu dari balik sakunya. Ia mendapati sebuah dompet dan memperlihatkan identitas di balik kartu namanya.
"Wow, Rald!" Gumam Khalisa melihat foto Gerald dengan balutan jas putih di balik kartu nama itu. "Kamu emang benar-benar berubah sekarang."
Gerald menatap Frida penuh kemenangan. "Mau bilang apa, lo?"
Frida mengulum bibirnya. "Iya, iya... Lo hebat!"
Gerald tertawa puas. Di saat yang sama, matanya menatap Khalisa. Ia memandang Khalisa dari atas kepala hingga ujung kaki. Wanita itu tidak pernah berubah. Hanya saja, make-up yang membuat wajah wanita itu lebih bersinar juga tubuh yang...
"Khal. Kamu hamil?" Tebak Gerald. "Kamu udah nikah, ternyata?"
Khalisa mengangguk. "Iya, Rald. Aku udah nikah dan sekarang aku lagi hamil dua bulan. Aku tadinya mau kemari dengan suamiku. Tapi, dia masih ada pekerjaan yang harus di selesaikan."
Sedikit terkejut, Gerald dan Frida membulatkan bibirnya membentuk vokal O.
"Suami kamu kerja, apa?" Lanjut Gerald.
"Iya. Suami kamu kerja apa, Khal? Nikah kok gak bilang-bilang?!"
Khalisa tersenyum. Dulu, ia pernah meminta kepada Hasbi tuk mengundang semua teman terdekatnya di SMA, termasuk Frida dan Gerald. Tetapi, Renata tak setuju. Ia bahkan tak mengijinkan teman-teman Khalisa tuk menghadiri acara pesta pernikahannya yang saat itu justru di gelar cukup mewah. "Sorry, ya semua. Aku..."
"Udah lupain kita, nih!" Timpal Frida.
"Enggak, bukan gitu."