E S O K
Esok,
hari ini adalah kemarin
Terlaksana atau tidak,
harapan akan jadi kenangan
Rindu Kelana
Yoan menutup kembali buku mungil tebal bersampul hitam itu, yang berisi puisi-puisi yang ia tulis sendiri sejak lama. Ia memandang ke sekeliling.
Halaman yang luas itu dinaungi pohon mangga besar tepat di tengah-tengah. Daun-daunnya yang rimbun masih terlihat basah karena hujan malam tadi. Udara terasa sejuk. Saat itu menjelang pukul enam pagi. Dari pepohonan di sebelah Timur, Matahari mengintip. Sinarnya yang hangat menyisip dari antara daun-daun, menerangi dan menghangatkan pekarangan ini.
Tak jauh dari tempat gadis itu duduk, ada tiga pemuda sedang sarapan: yang seorang mengenakan kaos merah berkerah, seorang lagi berkaos oblong putih, dan yang terakhir berkemeja flanel kotak-kotak hijau. Di meja pendek di depan mereka, tergeletak dua kotak makan plastik besar. Yang satu sudah kosong tapi terlihat masih ada remah-remah ubi dan singkong menempel di sana sini. Yang satu lagi masih berisi beberapa potong wortel, telur-telur rebus yang dibelah dua dan tomat cherry utuh kecil-kecil. Ada tempat minum plastik besar ukuran 1.5 liter berisi teh yang tinggal sepertiga. Tutupnya terbuka dan samar-samar terlihat masih mengepulkan uap panas.
Tak jauh dari mereka, seorang perempuan lansia duduk menghadap arah timur, bersiap-siap menyambut sinar matahari pagi yang merambat dan sebentar lagi akan menghampiri tubuhnya. Bu Haji Samsudin--beliau biasa dipanggil--adalah pemilik kompleks kos-kosan pria ini. Ada enam petak kamar berderet di sisi Barat yang disewakan per bulan. Di sisi Timur terdapat dua buah rumah berukuran kecil yang disewakan per tahun. Sementara di sisi Utara terdapat rumah utama, yang ia huni bersama dua anak, satu menantu perempuan dan tiga cucu. Suaminya telah lama meninggal. Menantu lelakinya beberapa tahun lalu juga meninggal.
Yoan membuka kembali buku kecilnya tadi. Pikirannya merenung. Ia membaca lagi baris puisi yang ia tuliskan beberapa waktu yang lalu. Esok, hari ini adalah kemarin.... Pikirannya mencoba menggali kembali suasana hatinya kala menuliskan kalimat itu
"Tanpa pengharapan, manusia... tak akan bertahan hidup," ucapnya datar. Ia ingin menulis lagi puisi tema serupa, semacam kelanjutan dari yang baru saja ia baca. Namun ia ingin menggali terlebih dulu tema ini. Mendiskusikannya dengan teman-temannya, adalah salah satu cara Yoan mematangkan materi puisinya. Tanpa pengharapan, manusia... tak akan bertahan hidup
Pemuda di sebelahnya yang berkemeja flanel menoleh sebentar, lalu kembali memfokuskan diri pada cangkir keramik berisi teh di tangan kiri dan suapan terakhir ubi di tangan kanannya. Baginya sudah terbiasa, mendengar gadis itu secara tiba-tiba mengucapkan sesuatu yang abstrak. Ia menoleh lagi, memperhatikan gadis itu, sambil menimbang apakah ia perlu bergabung ke dalam pembicaraan.
"Harapan? Atau pengharapan?" Akhirnya ia pun membuka suara.
"Pengharapan," jawab Yoan singkat.
"Bedanya?" tanya Si Kemeja Flanel itu lagi.
"Pengharapan itu sesuatu yang khas manusia," jawab Yoan, "... suatu tindakan yang khas manusia."
"Jelaskan," pinta Si Kemeja Flanel.
Yoan tak langsung menjawab. Ia melirik sebentar sambil mengerutkan dahi. Sejenak ia kembali membenamkan diri dalam benaknya, memperbaiki rumusan pemikirannya.
"Perbuatan memasukkan makanan di pagi hari, yang sedang kalian lakukan itu, disebut apa?" tanya Yoan.
"Sarapan," jawab Si Kemeja Flanel.
"Lalu, makanan berupa ubi, tahu, telur, wortel dan tomat yang aku bawa dalam wadah-wadah plastik ini, disebut apa?"
"Sarapan ," jawab pemuda itu.
"Coba perhatikan kucing-kucing itu," kata Yoan. "Juga semut-semut ini."
"Mereka itu sedang sarapan" kata Si Kemeja Flanel.
Semut-semut merubungi tumpahan teh di meja, yang menandakan bahwa teh di wadah plastik itu mengandung gula. Sebagian lagi sedang mengangkut sepotong remah singkong. Tak jauh dari situ, kucing-kucing mengais-ngais di pojokan, memeriksa satu persatu bungkusan-bungkusan yang tumpah dari tong sampah, yang terjungkal roboh dekat pagar besi.
"Seandainya selama beberapa hari, kamu memberi makan seekor kucing atau seekor monyet, apa yang akan mereka lakukan, kalau hari ini melihat kamu lagi?" tanya Yoan. "Mereka akan mengkonotasikan kamu dengan makanan. Begitu melihat kamu, mereka akan berharap mendapat makanan. Hewan bisa berharap, tapi mereka tidak berpengharapan."
Yoan melanjutkan, "Manusia punya kemampuan untuk tetap berharap walaupun fakta-fakta yang dia hadapi, bertentangan dengan harapan itu. Hewan tidak demikian, ketika mereka berhadapan dengan fakta bahwa mereka tidak punya harapan, mereka menyerah. Bila seekor hewan tercebur sumur, dan masih bisa melihat cahaya matahari di atasnya, dia akan terus bertahan. Bila lubang ditutup, dan mereka tidak melihat cahaya, tak lama kemudian mereka mati, membiarkan dirinya tenggelam."
"Ketika berharap," lanjut Yoan lagi. "... keyakinan kita diarahkan kepada orang lain atau sesuatu. Tikus yang tercebur sumur, menggantungkan harapannya pada sinar matahari yang dia lihat di atas. Sedangkan ketika berpengharapan, keyakinan itu kita arahkan ke diri sendiri. Pengharapan adalah upaya terus-menerus menjaga harapan itu tetap menyala. Pengharapan itu suatu keterampilan, suatu kemahiran. Mereka yang gagal menguasai jurus-jurus ilmu ini, akan kehabisan harapan, putus asa lalu memilih mati."
Si Kemeja Flanel meraih tomat terakhir yang tersisa di kotak plastik di meja tadi. Setelah selesai mengunyah ia berkata: "Jadi, pengharapan itu semacam kemampuan menipu diri sendiri, hehehe. Manusia mempertahankan harapan dengan mengingat yang baik dan melupakan yang buruk.... Ketika putus cinta dan gagal move on, kita cuma teringat yang manis-manis, dan melupakan semua yang buruk."
Ia memandangi teman-teman yang lain, tetapi mereka tak berniat menanggapi apa yang ia dan Yoan baru saja bicarakan. Mungkin terlalu kenyang. Mungkin karena masih terlalu pagi. Mungkin karena mereka sedang malas berdiskusi.
Yoan bangkit berdiri. Ia melepaskan jaket jeans biru terang yang ia kenakan, menampilkan blus putih dengan deretan kupnat vertikal di kedua sisi. Tangannya merapikan rok rempel biru dongker sebetis yang ia kenakan, kemudia ia merentangkan kedua tangan, meregangkan persendian tubuhnya yang kaku karena telah duduk lebih dari setengah jam. Kakinya yang bersalut sepatu bot hitam ia hentakkan beberapa kali.
"Kalian dengar ya," kata gadis itu sambil memejamkan mata. "Tanpa pengharapan, tanpa keterampilan merawat harapan, manusia tak dapat bertahan hidup. Dia bisa saja bangun dari tidurnya tiap pagi, mengisi perut dengan makanan, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan, berkelamin dan beranak-pinak. Tapi yang ia jalani itu bukan hidup sepenuhnya sebagai manusia. Manusia yang harapannya pupus, hidupnya lebih malang dari binatang. Jika sekedar berkembangbiak, reptil juga giat memproduksi anak. Jika cuma mencari makan, serangga juga bekerja menimbun makanan."
Ia menarik napas panjang lalu melanjutkan: "Manusia harus bekerja lebih keras daripada serangga dan reptil. Hidup manusia harus lebih menyenangkan dibanding monyet-monyet."
Ketiga temannya saling berpandangan, saling bertukar senyum jahil penuh arti.
Yoan kembali melanjutkan: "Monyet tak cuma makan dan beranak. Mereka bersenang-senang. Mereka membentuk kawanan, bekerja sama, yang tua mengajari yang muda. Pernah lihat monyet menabok anaknya yang sembrono?"
"Sepertinya pernah."
"Iya tadi pagi."
"Betul, ada emak beruk membangunkan anak beruk yang kesiangan."
"Iya, si anak beruk kepalanya ditabok pakai gulungan koran. Hahahaha"
Suasana berubah. Mungkin karena rasa kenyang, atau karena hari mulai siang, momen-momen yang awalnya penuh permenungan mulai terinfeksi keisengan.
Yoan tak merespon candaan teman-temannya tapi kembali meneruskan ceramahnya. Ya, ceramah pagi, topik pagi ini tentang bedanya hidup manusia dan hidup hewan. Begitulah rutinitas di teras depan salah satu kamar di kompleks kos-kosan Bu Haji Samsudin. Pagi-pagi menjelang jam setengah enam, Yoan sudah muncul, menggedor pintu dan menyogok penghuninya dengan sarapan dan sesudah ketiga pemuda itu makan, ia bisa mengoceh membeberkan macam-macam persoalan. Para pemuda itu tak keberatan, setiap pagi dibawakan sarapan gratis. Aneka rupa ocehan gadis itu dapat mereka tanggung, seolah musik penyemangat untuk mengawali hari.
Pada awal-awal Yoan membawakan makan, menunya lebih mewah. Awalnya nasi goreng dengan nuget ayam atau sosis goreng. Nasi uduk telur pindang dulu sering ia bawakan. Pernah juga, lontong sayur atau bubur ayam. Lalu akhir-akhir ini menurun menjadi pisang goreng, ubi atau singkong, digoreng atau dikukus. Lama-lama makin ke sini, lebih sering dikukus daripada digoreng. Menunya bergeser makin sehat. Bukan yang digoreng tapi dikukus. Karbohidrat kompleks, jagung, ubi atau kentang, ditambah telur rebus dan sayuran kukus. Walau seringkali rasanya monoton dan tawar, semua itupun tersantap dengan lahap. Kadang dada ayam dipotong dadu, dikukus bersama tahu.
"Jangan kalian menganggap ini suatu kebaikan, suatu sedekah atau apapun yang membuat kalian merasa berhutang budi.," kata Yoan suatu kali, di waktu-waktu awal ia mulai membawakan mereka sarapan. "Ini sepenuhnya adalah sebuah transaksi. Kalian menerima sarapan gratis, tapi kalian harus dengan sukarela dan pikiran terbuka mau aku ajak diskusi. Pertukaran yang adil kan?'
"Oh tentu."
"Adil, ya adil. Adil sekali."
"Betul. Makin sering begini, makin terasa adilnya."
Begitu respon mereka yang diucapkan dengan nada serius yang dibuat-buat, oleh mulut-mulut yang sibuk mengunyah. Yoan pernah bercerita bahwa ia disuruh psikiaternya untuk berbuat baik: membantu orang atau membagikan barang. Selain minum obat psikiatri, bersikap ramah dan menolong orang lain dapat memperbaiki kondisi kejiwaannya. Hormon tertentu di otak akan meningkat saat manusia berbuat baik, menjadikannya manusia yang lebih tenang dan stabil. Ramah? Ya, Yoan biasanya terlihat ramah pada orang-orang lain, tetapi ia dapat bersikap lepas apa adanya jika bersama ketiga sahabatnya ini yang ia kenal sejak lama.
Waktu itu awal tahun ajaran baru di kelas 3 SMP. Yoan adalah siswa baru. Karena suatu persitiwa yang tragis, sejak kelas 5 SD hingga kelas 2 SMP, ia bersekolah di rumah. Awalnya ia bahkan tak dapat berbicara, mengurung diri dan butuh beberapa tahun ia berangsur dapat ke luar rumah dan berinteraksi dengan orang banyak. Kita akan membahas ini lain waktu, pribadi Yoan yang unik dan rasa simpati dari tiga pemuda yang memasuki masa remaja, menjadi pengikat persahabatan mereka.
Kembali ke pekarangan kos tadi, seperti biasa, tak jauh dari mereka, akan duduk pula Bu Haji Samsudin pemilik kos putra itu, berjemur bermandikan sinar matahari pagi. Sesekali Yoan akan menghampiri dan mengajak bicara perempuan berusia 71 tahun tersebut. Walau penglihatannya sudah mulai kabur, pendengaran Bu Haji masih sangat baik. Kepadanya Yoan berbicara lembut, kadang setengah berbisik, dan sesekali mereka akan tertawa-tawa.
Sudah pukul tujuh kurang sedikit, waktunya mereka berjalan menuju kampus.
Matahari hangat menyinari tubuh empat orang muda itu. Pakaian mereka terlihat berwarna-warni. Yoan mengenakan atasan blus putih berlapis jaket jeans biru terang dan rok sebetis biru dongker. Satu temannya mengenakan kaos merah berkerah bercelana hitam, yang satu lagi oblong putih bercelana jeans biru. Satu temannya lagi berkemeja flanel kotak-kotak hijau bercelana abu-abu gelap.
"Bisa ngga sih kalau ubi dan singkong itu digoreng saja, bukan dikukus," ucap Si Kaos Merah, dan seketika, gulungan koran di tangan Yoan mampir di kepalanya, plak!.
"Jangan ngelunjak," kata Yoan.
"Tapi, ngomong-ngomong," Si Kaos Merah menyela, mengalihkan pembicaraan. "Jika perbedaan manusia dan hewan itu cuma otaknya. Berarti manusia itu masih termasuk hewan dong?"
Yoan menoleh. Sepatu bot hitamnya mampir ke betis pemuda itu. "Dasar, ga ada otak."
"Atau, manusia ada persamaan dengan hewan, tapi juga ada perbedaan. Gitu kan?" kata Si Kaos Merah lagi.
"Bukan begitu," sela Si Oblong Putih. "Manusia itu hewan juga, tapi punya kelebihan yang tidak dimiliki hewan. Manusia punya intelek atau nalar; alias rasio atau akal budi. Mamalia dan reptil tidak punya. Manusia dan mamalia punya emosi, sedangkan reptil tidak. Gitu kan?"
Yoan tak menyahut, pikirannya kembali sibuk sendiri.
Tanpa pengharapan manusia tak dapat bertahan hidup. Tanpa pengharapan, umat manusia akan punah. Yoan mengulang-ulang kalimat itu dalam hatinya. Tanpa pengharapan, manusia--oh bukan manusia, tapi umat manusia --tak dapat bertahan hidup. Umat manusia akan kehilangan tujuan dan mungkin akan punah. Pengharapan manusia tertuang dalam kebudayaan. Kebudayaan itulah yang membedakan manusia dengan hewan. Untuk bertahan hidup, manusia tak bisa hanya mengandalkan potensi biologisnya saja. Supaya tidak punah, manusia mengembangkan kebudayaan. Manusia beradaptasi dengan menjadi mahluk berbudaya, pikirnya. Ia telah menghabiskan waktu merenungkan perkara ini dalam beberapa hari terakhir dan pagi ini ia berusaha menularkannya kepada teman-temannya. Ia ingin menuangkan ide ini ke dalam puisi, namun ide ini masih produk nalar belaka, masih mentah, belum sampai tahap yang dapat meginspirasi pembaca.
"Ares,” seru Yoan tiba-tiba. Sambil menepuk pundak temannya itu dengan gulungan koran di tangannya. “Sudah ngerti belum bedanya manusia dengan serangga, reptil dan monyet?" .
"Sudah," jawab Si Kaos Merah, yang dipanggil Ares itu.
"Apa buktinya kamu udah ngerti?" tanya Yoan. Ia memperkecil gulungan koran di tangannya. Semakin kecil, semakin kaku, semakin pedas juga rasanya jika dipukulkan ke kulit.