Titik Air di Batang Padi
Seperti titik air di batang padi
Harus kau jaga dari angin
seiring waktu ia akan turun,
dengan atau tanpa usikan serangga
Yoan berjalan mendahului teman-temannya. Pagi yang cerah. Ia bersiul-siul. Wajahnya berseri. Ia senang sekali, pertama karena malam tadi ia berhasil menulis sebuah puisi itu, dan kedua, karena sukses 'membujuk' ketiga temannya melakukan ikrar suci. Setelah jumat sore, ia datang ke pertemuan rahasia dengan Bang Natan di Jakarta, Sabtunya mereka lanjut ke Semarang, Solo dan Yogya. Yoan menyempatkan diri membeli 4 cincin perak untuk ikrar ini.
Hari ini, Senin pagi, setelah selesai sarapan seperti biasa, keempat sekawan itu bersumpah mengucapkan ikrar untuk memajukan kebudayaan, dengan hati yang murni, pikiran yang jernih dan tubuh yang bebas noda: harta, tahta dan wanita. Begitu kira-kira isinya.
Saat ini mereka menyusuri jalan pintas dari kos menuju kampus. Yoan bersenandung, "Satukanlah, dirimu semua, mahasiswa senasib serasa...."
"Lagu apa sih itu?" komentar Baruna. "Dari tadi nyanyi itu terus."
"Sepertinya, sejak pulang dari Yogya, dia jadi kenal lagu kekirikirian."
"Mungkin habis ketemu gembel-gembel kampus, yang jadi aktivis supaya bisa numpang tidur di sekretariat organisasi."
"Mau makar kayaknya."
"Revolusi kuliner hahaha," kata Ares, yang kembali berkaos merah, tetapi bergambar tokoh kartun dan tanpa kerah. "Dia mau mengubah bangsa Indonesia dari makan nasi, kembali ke makan ubi. Hahaha."
"Jangan-jangan," kata Rafa yang kali ini kemeja flanelnya berwarna biru. "Kalau Yoan jadi menteri pendidikan, anak sekolah akan dikasih sarapan gratis ubi kukus."
"Sekali-sekali daging ayam, tapi putih tawar tanpa bumbu, dipotong dadu bareng sama tahu," kata Baruna yang kembali mengenakan oblong putih. Dia selalu mengaku punya satu lusin, setiap kali dituduh memakai kaos yang sama.
Yoan terdengar terus bersenandung, menyanyikan lagu-lagu gerakan mahasiswa yang dipelajarinya saat ke Semarang, Solo dan Yogya.
"Gantilah lesu banget lagunya," kata Rafa. "Baruna coba nyanyikan lagu yang bersemangat."
"Oke," sahut Baruna yang kemudian bertepuk tangan sambil bernyanyi:
"Darah rakyat masih berjalan,
mend'rita sakit dan miskinnnn.
Pada datangnya pembalasan,
kita yang menjadi hakim.
Kita, yang menjadi hakim..."
"Bodoh!" bentak Rafa. "Malah nyanyi lagu PKI beneran. Bisa diem ngga!"
"Ini bukan lagu PKI, ngaco," kata Baruna membela diri. "Ini lagu yang dinyanyikan massa pemuda di lapangan Banteng ketika Sukarno pidato." Yang dimaksud Baruna adalah Rapat Akbar tahun 1945 di lapangan Ikada Jakarta, tempat itu kemudian disebut Lapangan Banteng.
"Iya betul. Tapi yang mempopulerkan lagu itu bukan pemuda, tapi 'Pemoeda', pakai P besar. Pemoeda itu ormas bawah tanahnya PKI," bantah Rafa.
"Nggak ah, kata siapa," jawab Baruna. "Lagipula, takut amat sih. Memangnya kita siapa, ngga bakal ada intel buntutin kita berangkat dari kos ke kampus."
"Trus, ngomong-ngomong, sampai kapan nih kita musti pakai cincin ini?"
"Sampai nikah," kata Yoan. "Itu namanya Chastity Ring. Cincin yang melambangkan kemurnian. Purity of intention. purity of the body. Kemurnian niat dan kemurnian badan. Kalian harus hidup seperti resi, jauh dari godaan harta, tahta dan wanita, hahaha."
"Sinting," kata Baruna. "Gara-gara sering pinjam buku dari Kang Binar, teman kita ini jadi punya ide yang aneh-aneh."
Hubungan yang aneh di antara mereka, bagaimana ketiga pemuda itu memaklumi Yoan, sebenarnya disadari oleh orang-orang di sekitar mereka. Salah satunya adalah Misyel, yang beberapa kali menanyakan ada apa gerangan di antara mereka bertiga dan Yoan.
Jumat lalu, ketika Yoan pergi ke Perpustakaan Pusat menemui Bang Natan, mereka bertiga duduk-duduk di taman di tengah fakultas, tempat yang biasa di sebut DPR singkatan dari Di bawah Pohon Rindang. Awalnya mereka menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan Misyel tentang Yoan, namun karena Misyel terus mendesak, mereka pun mulai bercerita.
“Mungkin karena simpati, kasihan atau apalah namanya,” kata Rafa. “Yang jelas kami semakin peduli. Saat itu keadaan Yoan sangat... yah membuat prihatin.”
“Pertama kenal Yoan, kalian kelas 3 SMP?”