Gaun Panjang Hitam dan Sepatu Lars

Rindu Kelana
Chapter #3

Pada Sebuah Jaket

Dengan apakah rindu dipadamkan?

Sekali terkobar, hati ini

kubiarkan habis terbakar


Dengan apakah cemburu ditaklukkan?

Beku menggigit, kalbu membatu

Dekap aku Tuan, selamatkan aku


(3.1)

"Regina Hapsari, atas nama Regina Hapsari."

"Hadir," seru Rafa sambil bangkit dari kursinya lalu melangkah menuju loket pengambilan obat.

"Tanggal lahir pasien?" tanya apoteker.

"30 May 1976," jawab Rafa.

"Tanda tangan di sini, dan di sini."

Rafa membubuhkan tanda tangan dua kali.

"Identitas pengambil obat?"

"Oh, sebentar." Rafa mencabut dompet dari saku belakang dan menyerahkan KTP.

"Ini vitaminnya, diminum sesudah makan. Ini obat malam, diminum sesudah makan.Yang ini obat pagi, diminum sesudah makan."

"Cuma 7 butir, Bu? Biasanya dikasih untuk sebulan."

"Ada perubahan dosis, dan kandungannya juga sedikit berbeda. Kalau ada keluhan langsung konsul ke dokternya."

"Baik, Bu. Terima kasih."

Rafa memasukkan obat-obat tersebut ke tas lalu kembali ke deretan kursi tempat ia duduk tadi. "Yuk, sayang."

"Jadi kita nonton? Nggak kemalaman pulangnya? Kamu masih harus ngantar obat ini kan?"

"Iya sih. Tapi yang dulu belum habis kok. Masih ada dua atau tiga."

"Duh, kok kamu sampai tahu sedetail itu sih, berapa stok obat Yoan."

"Kan sebelum-sebelumnya aku juga yang ambil dan kebetulan hari sabtu juga. Jadi 28 hari yang lalu, dapat 30 butir. Berarti lebih 2 butir, dan bulan sebelumnya kalau nggak salah sisa 1 butir. Jadi kan..."

Gadis itu menepuk-nepuk bahu Rafa, dan pemuda itu pun tak melanjutkan kalimatnya. Saat itu adalah akhir pekan dan mereka sedang berkencan, tapi ia malah membicarakan gadis lain. Semakin ia menjelaskan, semakin membuktikan ia begitu detail memperhatikan kebutuhan Yoan.

"Primi."

"Hmmm?"

"Maaf ya."

"It's OK."

Mereka memasuki mal yang terletak di seberang jalan apotek besar tempat mereka menebus obat Yoan.

"Banyak film bagus," kata gadis yang dipanggil Primi itu saat mereka tiba di lobi bioskop. "Trainspotting," katanya lagi sambil menunjuk sebuah poster yang terpampang di dinding. "Aku baca ulasannya di koran minggu. Ah, itu juga sepertinya seru. Indpendence Day, Scream, Romeo & Juliet. Hmmm, tapi aku pingin nonton Trainspotting sih."

"Pingin banget nih?"

"Banget-banget."

"Tapi sudah mulai sepuluh menit yang lalu. Ngga mau nonton yang lain?"

Saat itu tepat pukul 17.10 WIB. Pemutaran berikutnya 19.30 WIB.

"Hmm, lain kali saja. Kita makan yuk. Atau ngopi, ngobrol santai. Aku juga pingin makan mie goreng yang enak."

Primi membalikkan badan, menghadap pintu ke luar. "Ayo," katanya.

"Setelah makan kita nonton Trainspotting?"

"Nggaklah. Habis makan, kita pulang. Kamu kan harus ketemu Yoan. Kita jangan terlalu malam."

Rafa menarik napas panjang. Seharusnya mereka pergi kencan lebih siang, tapi tadi pagi ia ada urusan di kampus dan Primi pun ada pertemuan keluarga.

"Tadi tuh, aku ke rumah tanteku dan makanannya manis-manis. AKu jadi ngidam yang asin-asin," kata Primi. "Mie goreng lada hitam, es teh tawar dan.... ditutup dengan kopi yang enak. Sounds like a plan, right?"

"Okay," jawab Rafa.

Mereka beberapa kali menuruni eskalator dan tiba di sebuah kafe yang menyediakan kopi dan makanan Asia.

"Kepingin dimsum juga ngga sih?" kata Primi tiba-tiba. Padahal selangkah lagi mereka akan memasuki kafe tersebut. "Dimsum yang enak adanya di atas," bisik Primi.

"Yasudah, dimsum dulu, baru mie goreng," kata Rafa. "Lalu ngopi."

"Memang kantongmu setebal apa, Jendral?"

Lihat selengkapnya