Gaun Panjang Hitam dan Sepatu Lars

Rindu Kelana
Chapter #6

Cara Lain Menghitung Waktu

Ada rasa sakit

yang tak sembuh

oleh waktu


Sebagian menetap

sebagai jenjang pangkat


Jika kau tanya usiaku,

Aku tak menghitung waktu dengan tahun


Aku akan menjawab

dengan jumlah luka

di tubuhku

Rindu Kelana


(6.1)

Yoan bangkit dari tempat tidur. Kamar itu kecil, hanya 2.5 meter kali 3 meter. Terlalu sempit untuk sebuah dipan, lemari, meja belajar, ditambah rak-rak buku menempel di dinding. Ia keluar kamar dan menuruni tangga. Jam dinding menunjuk angka 10.15 dan semua penghuni kos sudah berangkat. Matahari menembus masuk dari jendela-jendela besar, menerangi ruang tamu.

Yoan tertatih. Punggungnya nyeri dan persendiannya kaku. Ia membuka pintu dan menuju teras. Rumah kos itu tidak berpagar, dan anak-anak sekitar sering main di halaman. Tapi pagi itu cuma ada anak lelaki usia tujuh tahun, berkaos putih, bercelana seragam merah, sedang bermain gundu sendirian.

"Dino, kamu lihat Hasan?"

"Tadi ada. Tapi pulang lagi. Dipanggil ibunya."

Yoan mengeluarkan buku memo kecil dan pulpen dari saku dasternya dan menulis-nulis sesuatu.

"Kasih ini ke warung Mang Dhani, dan ini untuk kamu jajan."

Anak itu pergi. Yoan duduk di kursi bambu di teras. Sinar matahari menyengat tubuhnya. Ia memejamkan mata. Tak banyak orang yang lalu lalang di jam itu. Sekitar setengah jam kemudian seorang pemuda kurus datang membawa nampan berisi pesanannya. Semangkuk mie instant rebus, segelas teh manis dan satu gelas lagi berisi es batu. Dia biasa dipanggil Ucok. Seorang pengamen yang sering nongkrong di warung Mang Dhani. Dipanggil ucok, walaupun sebenarnya dia dari Makassar.

"Tidak kuliah kak? Sakitkah?"

"Hmm," jawab Yoan sambil mengangguk.

"Maaf kak. Itu bekas lukakah?"

Yoan mengangguk. Pemuda itu ingin bercerita juga, bahwa ia juga punya luka-luka di tubuhnya, tapi ia sungkan dan merasa tak enak untuk berlama-lama. Yoan merogoh saku, hendak memberi uang, tapi Ucok menolak. "Bayarnya sama Mang Dhani saja," katanya. Ia pamit lalu pergi.

Yoan hanya makan sedikit, lalu minum teh itu setengahnya. Ditinggalnya mangkuk dan gelas di meja teras. Lalu ia kembali ke kamar. Tadi malam ia hanya bisa tidur sebentar, sebentar saja matanya terpejam, ia terbangun. Terlelap sebentar dan terbangun lagi dalam hitungan menit. Menjelang subuh, saat sudah sangat letih ia tertidur dua jam. Kemudian terbangun lagi dengan tubuh yang sangat letih dan sakit. Sekarang, berbaring atau pun duduk, ia sama-sama merasa tidak nyaman.

Kemarin sore ia meminta tolong Hasan untuk memanggilkan tukang urut langganannya.

"Mak Iyah sudah meninggal," kata Hasan. "Kemarin lusa."

Dan kabar kematian itu menghantam dirinya, yang sebelumnya pun sudah sangat lemah. Perasaan hampa menyergap. Lalu sesuatu dalam dirinya seperti bergolak. Suatu rasa yang-sangat-tidak-enak menyerang. Suatu rasa yang tak terkatakan. Gugup bercampur gelisah yang sangat-sangat menyiksa. Dari sore hingga malam ia pun hanya berbaring.

Sempat terpikir oleh Yoan tentang obatnya yang lama, yang ia pikir hilang tapi kemudian ia ingat ia taruh di saku jaket. Ia merasa tubuhnya masih membutuhkan penyesuaian dengan obatnya yang baru. Ia meminum sebutir obat yang baru lalu, ia letakkan sisanya kembali ke laci meja. Psikiater kali ini hanya memberi tujuh butir, setiap minggu Rafa akan menebusnya lagi ke apotek.

Tadi pagi, Ares, Baruna dan Rafa datang. Mereka mengetuk-ngetuk pintu, memanggil-manggil, membujuknya untuk keluar. Tapi Yoan tak menjawab. Ia ingin sendiri tapi ia tak punya tenaga untuk berdebat. Ia menulis di memo dan menyelipkan di bawah pintu: Aku tidak apa-apa. Nanti siang antar aku ke rumah sakit. Cuma dengan begitu, Yoan bisa mencegah mereka tidak mencongkel pintu, mendobrak dan mengangkutnya secara paksa ke instalasi gawat darurat di rumah sakit.

Bu Maziah, wanita berusia 60-an tahun yang biasa dipanggil Mak Iyah, sering ia minta datang untuk memijat. Bukan hanya karena pijatan dapat membantunya relaks, tetapi mengobrol dengannya dapat menghibur hatinya.

Yoan tak suka dikasihani. Tapi Mak Iyah membuatnya terkenang akan neneknya. Yoan lahir dan besar di kampung halaman, bersama mama, nenek dan sepupu-sepupunya yang semua laki-laki. Kegembiraan masa kecil itu, sekarang seperti hidup kembali dengan hadirnya Ares, Baruna dan Rafa.

Pernah suatu kali wanita yang baik hati itu memijat Yoan sambil menitikkan air mata. Ia bilang, Yoan seperti anak burung yang ditinggal induk. Menciap-ciap di sarangnya, namun yang dipanggil tak kunjung datang.

Yoan sering merasa canggung bergaul dengan sesama perempuan. Namun dengan lansia, seperti Mak Iyah atau Bu Haji Samsudin, ia tidak merasa ada beban.

"Cepat menikah dan punya anak," kata Mak Iyah. "Mengurus anak, bisa bikin kita lupa kesusahan kita. "

"Punya anak, harus punya suami, Mak?"

"Kalo di pasar ada yang jual, kamu belilah," jawab Mak Iyah.

"Titip ya Mak, kalau ada," sahut Yoan.

Tapi sekarang, Mak Iyah sudah tidak ada lagi. Yoan sudah berusaha menangis kemarin. Ia berpikir, seharusnya rasa sedihlah yang ia rasakan. Tapi tidak. Bukan sedih, bukan juga marah. Ia merasa tumpul dan itu sangat menyiksa.

Lewat tengah hari, ketiga sahabatnya datang lagi. Misyel juga datang untuk membantu Yoan berpakaian.

"Poli psikiatri jam segini sudah tutup, buka lagi nanti malam," kata Yoan.

Lihat selengkapnya