Gaun Panjang Hitam dan Sepatu Lars

Rindu Kelana
Chapter #7

Alkemi Asmara

Hari Sabtu, pagi-pagi benar Baruna menuju kos Cynthia untuk sama-sama ke GOR kampus. Ada pertandingan basket persahabatan dengan kampus tetangga. Ares juga punya rencana, dia akan nongkrong seharian di kantin, bergaul dengan mahasiswa D3. Mahasiswa S1 umumnya cuma kuliah dari hari Senin sampai Jumat, dari pagi sampai siang. Mahasiswa D3 dari Senin sampai Jumat kuliah dari siang hingga malam. Kecuali Sabtu, mereka masuk pagi. Yoan pergi dengan Ricky adiknya, sedangkan Rafa akan menemui Primi seperti biasa.

Sewaktu Rafa tiba di kos Primi pukul 9 pagi, di halaman ada dua penghuni yang bermain tenis meja, dua orang lagi duduk di beton pembatas taman sedang makan ketoprak. Di teras ada dua set meja kursi terpisah, masing masing sudah ada pasangan yang menduduki. Di sofa ruang tamu pun sudah ada dua sejoli menonton TV. "Ke atas saja," kata Primi. Di salah satu sisi ada ruang kosong dengan meja bilyar, dan di salah satu pilar, menempel pesawat telepon berwarna merah terang. Dulu, kos ini rencananya untuk pria, namun pemiliknya berubah pikiran. [Dua sejoli = sepasang kekasih. Joli berasal dari kata jolly, nama es beku yang populer di tahun 1980-an, yang bisa dipatahkan untuk dimakan berdua.]

Mereka menaiki tangga, menyusuri koridor. "Tunggu di situ," kata Primi menunjuk balkon besar yang sudah tersedia meja dan kursi-kursi. Primi kembali dengan menenteng dua gelas besar, yang satu berisi minuan berwarna coklat dan yang satu lagi berisi es batu.

"Pagi-pagi minum dingin?"

"Ibu kos kemarin baru beli kulkas," kata Primi. "Semalam aku jajal bikin es batu. Daripada diminum orang lain."

"Kok cuma satu? Kamu ngga?" Rafa mengambil kedua gelas itu dari meja.

"Minum berdualah," sahut Primi.

"Kalau aku yg minum duluan, langsung habis nih," kata Rafa sambil menyodorkan kedua gelas itu ke Primi.

"Tuangin."

Rafa hendak menuang kopi susu yang masih agak hangat itu ke gelas berisi es, tapi ragu-ragu. "Tumpah nggak ya?" katanya.

"Yaudah sini. Harus yakin. Begini caranya."

Primi mengambil alih. Gelas kopi di tangan kanan ia naik-turunkan pelan sebagai ancang-ancang, lalu setelah yakin, ia menuangkan separuh cairan itu ke gelas berisi es batu di tangan kiri, lalu menaruh gelas yang isinya tinggal setengah itu di meja.

"Hmmm... enak!" katanya, sambil berdecak dan menyapu bibir bawahnya dengan bibir atas.

"Di sini bebas ya, cowok bisa naik?"

"Bebas," jawab Primi. "Kenapa?"

"Gapapa."

"Kamu masuk ke kamarku pun ngga ada yang ngelarang."

"Oh ya?"

"Dulu waktu aku baru pindah 'kan kamu bolak balik masuk kamarku."

"Oh, aku kira itu pengecualian, cowok boleh ke kamar karena sedang pindahan."

Primi menggeleng. "Di sini tuh, yang cowoknya nginep yang berhari-hari juga ada."

"Oh ya?"

"Kenapa? Kamu mau aku juga bawa cowok masuk kamar?"

"Eehh kok gitu nanya-nya."

"Kamu sering masuk-masuk kamar cewek lain kan? Selain aku."

"Enggaaaa, ngarang deh."

"Masa?"

"Justru kamu tuh," kata Rafa sambil menarik Primi yang sedang berdiri itu ke dekatnya. "Jangan-jangan kita ketemu cuma kalau weekend, supaya di hari lain kamu bisa bawa cowok ke kamar ya?"

"Iya dong," jawab Primi sambil memain-mainkan gelas kopi ber-esbatu di tangannya. "Meja kursi ini baru kemarin dipindah ke sini, tadinya di pekarangan belakang. Makanya aku ngga pernah ngajak kamu ke sini."

"Sekarang ada berapa cowok di kamarmu?"

"Tiga," katanya sambil mengacungkan 3 jari. "Satu di kolong kasur, satu di lemari baju."

"Satu lagi?"

"Satu lagi aku mutilasi, masuk laci meja."

"Aku masih muat ngga?"

"Kamu, aku cekik trus aku gantung di belakang pintu."

"Serem ya."

"Ngga, biasa aja."

"Aku ngga dikasih, kopinya?"

Primi menunjuk gelas berisi setengah kopi di meja. "Punya kamu yang itu," sambil mengunyah es di mulutnya.

"Kok kamu gemesin sih?'

"Iyalah," jawab Primi yang sejak tadi berdiri dan sesekali bersandar ke bahu Rafa. "Memang, kamu suka cewek yang gemesin?"

"Ngga, biasa aja."

"Kamu sukanya yang gloomy-gloomy dark gitu ya?"

"Nyindiir yaa, ga boleh ah, nyindir orang yang ngga ada."

"Aku ngga nyindir siapa-siapa."

"Obat Yoan mana?" tanya Rafa tiba-tiba.

"Aku buang."

"Kok dibuang?"

"Aku sebel."

"Kamu ngga ngecek itu obat apa?"

Primi menggeleng.

"Masa?"

"Iya."

"Ngga percaya."

"Masa aku bohong?"

"Lha, dari sejak kamu pakai jaket itu di warung Mang Ade, kamu sudah tahu 'kan, ada obat di kantong jaket?"

"Tahu."

"Kok kamu ngga bilang?"

"Kalau bilang, nanti aku tergoda untuk lihat-lihat."

"Kan kamu bisa langsung berikan ke aku, ngga usah lihat."

"Hmmm, waktu itu aku mau ngecek diam-diam sih, tapi ngak jadi."

"Yasudah, sekarang mana obatnya?"

"Ngga ada."

"Ada."

"Sudah lupa dibuang di mana."

"Kitikin nih."

Rafa merangkul pinggang Primi. Kepalanya ia tempelkan ke perutnya. Bagian samping rambutnya baru dicukur pendek dan berdiri kaku seperti sikat.

"Ngga geli," kata Primi tapi sambil meronta.

"Mana obatnya?"

"Sudah dibuang."

"Ngga percaya."

Lihat selengkapnya