Laras masuk ke dalam rumah sambil mengucap salam. Tidak ada jawaban. Ruang tamu dari rumah itu tidak terlalu sempit karena hanya terdapat satu sofa leter L berwarna abu muda, satu meja kopi berwarna hitam dan rak sepatu tertutup yang memiliki fungsi ganda sebagai meja untuk menyimpan pengharum ruangan dan beberapa dekorasi. Seluruh furnitur sengaja dipesan khusus agar sesuai dengan ukuran rumah. Jendela yang cukup besar menghadap ke arah jalan membuat ruangan mendapat cukup pencahayaan sekaligus menjadikan ruang tamu menjadi salah satu tempat yang cukup estetis. Laras duduk di sofa sambil melepaskan ranselnya yang tidak terlalu besar. Sejak ia masuk ke dalam rumah, ada satu hal yang tampak asing baginya. Ia meraih satu dari setumpuk undangan di atas meja. Undangan itu berwarna biru cerah bertuliskan inisial dua orang di halaman depannya, A dan P. Laras sudah bisa menebak undangan itu datang dari mana. Pada sisi lainnya tertera jelas nama lengkap dua orang, sebuah alamat penginapan di daerah Lembang dan juga kalimat ajakan untuk datang.
“Kamu mau datang?” seorang perempuan berjalan menghampiri Laras. Rambutnya sebahu dengan warna cokelat gelap yang sepertinya baru saja dicat asal tetapi tak berhasil menutupi warna sebelumnya. “Datang aja yuk. Kalau kamu datang, aku juga. Tapi, kalau kamu enggak… sayang banget kali, Ras. Lumayan kan, makrab hehe.”
“Orang baru ketemu tuh harusnya sapa dulu. Tanya kabar. Ini langsung nodong ikut makrab atau enggak,” Laras melirik ke arah pemilik suara yang mengujaninya dengan kalimat bernada paksaan. Emma, ia selalu antusias dengan acara yang berkaitan dengan anak-anak kelas pada masa awal perkuliahan. Terlebih jika acara itu diadakan Ayunina, salah satu teman dekat mereka. Sejujurnya, Laras pun cukup tertarik dengan malam keakraban yang diadakan Ayunina. Biasanya sangat sulit untuk mengumpulkan teman-teman kelas yang sudah sangat akrab sejak tahun pertama mereka. Apalagi untuk acara-acara menginap seperti ini. Tapi, berhubung biaya penginapan semua ditanggung oleh Ayunina dan Putra sepertinya akan menjadi acara yang menyenangkan.
You have one new message 15 minutes ago.
Kamu udah sampai kosan? Aku ke sana sekarang ya.
Sambil merebahkan badannya di sofa, Laras membalas pesan dari kekasihnya yang terlambat ia balas.
“Jadi kamu ikut atau enggak?” Emma duduk di ujung sofa, sembari melipat celana jeansnya yang kepanjangan. “Kasian juga Ayu kalau sedikit yang datang. Dia udah bela-belain bayar full penginapan cuma supaya kita bisa kumpul kaya dulu lagi. Liat hebohnya dia di grup kelas aja udah bikin aku simpati sama dia. Padahal dia enggak perlu memelas kayak gitu juga pasti banyak yang ikut, harusnya.”
Laras setuju dengan apa yang dikatakan Emma. “Iya, aku ikut. Tenang. Tapi, bukannya Ayu udah bilang di grup? Kenapa ini ada undangan?”
“Ayu bilang katanya ini buat kenang-kenangan beberapa orang yang dekat sama dia selama di kampus. Jadi, enggak semua orang dapat.”
Laras mengangguk.
Seorang pria bertubuh tinggi dengan setelan jaket navy dan celana jeans hitam masuk ke ruang tamu indekos yang agaknya lebih mirip seperti kontrakan. Ia langsung duduk di samping Laras sambil merebahkan badannya yang lelah. Rambutnya yang tebal dibiarkan berantakan.
“Heh, kalian tuh kan sama-sama baru sampai Bandung. Terus ini mau langsung pergi lagi? Apa enggak cape? Lagian apa selama di Jakarta kalian enggak ketemu? Sampai bela-belain baru di Bandung langsung mau pacaran,” lagi-lagi Emma nyerocos.
“Istigfar lu, Ma. Jangan sampai kena penyarik hati. Sirik mulu,” timpal Dwi.
Kepala Emma menggeleng. “Astagfirullah. Ini semua hanya demi kebaikan kalian. Hamba hanya bertanya. Apa kalian tidak lelah? Dan lagi, tolong jangan panggil saya 'Ma', okay?”
“Hahaha. Kita cuma mau cari makan sebentar, Em. Di Jakarta aku sama Dwi juga jarang banget ketemu. Terlalu mager. Belum lagi urusan laporan job training. Eh iya, kalau kamu apa kabar? Hehehe,” timpal Laras yang sudah tidak heran dengan kebiasaan Dwi dan Emma yang sering ribut di depannya. “Kayaknya ada yang ganti warna rambut lagi. Kenapa?”
Emma menatap sinis mereka berdua yang sedang menertawakan nasibnya yang sering kali tidak diberi kejelasan oleh perusahaan tempatnya magang. “Lagi-lagi dikerjai sama Pak Yahya. Katanya dia enggak mau tanda tangani laporanku kalau rambutku masih warna merah muda.”
"Jangan-jangan sebenarnya Pak Yahya minta kamu buat ganti jadi warna hijau. Doi cuma bilang jangan warna merah muda, kan? Hahahaha," Dwi tidak dapat menahan keinginannya untuk menjahili sahabat kekasihnya.
***