Gaung

Resty Luthfiyah Zahidah
Chapter #2

Malam Keakraban

Setiap manusia berbeda. Apapun penilaian mereka, apapun yang ada dalam pikiran mereka, itu semua hanyalah bentuk pemikiran mereka. Kamu tak harus menjadi seperti apa yang ada dalam pikiran mereka.

Ayu duduk di kursi ruang makan yang menyatu dengan dapur. Matanya terpejam sembari terus menerus melafalkan kalimat-kalimat dalam kepalanya. Ia berusaha untuk terus menyadari bahwa orang-orang cenderung memaksakan penilaiannya terhadap sesuatu, tak peduli apakah yang mereka pikirkan dapat diterima oleh orang lain. Kini kalimat itu sudah masuk memenuhi pikirannya bersamaan dengan aroma dari segelas kopi yang digenggamnya. Ayu mulai membuka matanya, mencoba tetap menikmati ketenangan sambil mengamati setiap sudut ruangan, seakan-akan sedang mengingat semua detailnya.

“Yu, si Putra suruh mampir dulu ke mini market dong,” suara Tia seketika membuyarkan lamunan Ayu.

“Buat apa? Nanti aja sekalian berangkat.”

“Ih, kalau nanti lagi malah lupa.”

“Palingan juga nanti waktu udah jalan kamu tiba-tiba kepikiran yang lain-lain terus minta mampir lagi,” Ayu mulai terganggu dengan Tia yang suka memaksanya. “Ribet ah. Minta aja sendiri.”

“Ih, kalau aku yang bilang, Putra enggak akan dengar. Kan, kamu pacarnya,” Tia masih belum menyerah.

Ayu berjalan menuju ruang tamu, meninggalkan Tia yang masih merengek dari dapur. Ia meletakan gelas kopi di atas meja dan mengeluarkan gawainya dari saku celana. Ayu berselancar di media sosial untuk mengalihkan pikirannya yang menjadi sedikit kesal dengan Tia. Apa salah kalau aku ingin pagi ini jadi pagi yang tenang? Batin Ayu. Ia menarik napas dalam-dalam berusaha mengembalikan kalimat yang sudah ia hafalnya sebelumnya. Tiba-tiba suara ketukan pintu yang sebenarnya terbuka, mengalihkan pandangan Ayu.

Seorang laki-laki yang cukup tinggi berdiri di ambang pintu. Garis wajahnya yang tegas terlihat serasi dengan kacamata dengan bingkai penuh yang dikenakannya. Ia tampak berburu-buru karena tak sempat melepaskan helm dari kepalanya, atau entah karena ia tak mau saja melakukannya. “Yu, Larasnya ada?”

“Ada di kamarnya. Aku panggilin dulu ya. Masuk aja sini, duduk dulu.”

“Enggak usah, Yu. Aku tunggu di sini aja, boleh tolong panggilin aja.”

Laras keluar dengan mengenakan celana jeans hitam dan sweater abu muda. Tanpa dipanggil pun, ia sudah mendengar ada yang memanggil namanya. Laras mengulang penawaran yang sudah diberikan Ayu sebelumnya pada Bagas, lelaki yang menunggunya di luar.

“Enggak perlu, aku cuma sebentar. Mau kembaliin buku sama minta bantuan sedikit.”

Akhirnya Bagas memenangkan negosiasi, mereka pun berbincang di teras. Tak sampai lima menit, Dwi datang dengan motor hitamnya yang segera ia parkirkan. Dwi menyapa Bagas sekilas dan langsung masuk ke ruang tamu.

“Ngapain Bagas tadi?” tanya Dwi ketika Laras masuk dan terdengar suara motor menjauh dari halaman indekos.

“Kembaliin buku sama minta tolong buat bantuin kerjaan dia,” jawab Laras singkat dan langsung duduk di sebelah Ayu.

Dwi mengangguk.

“Kalian mau berangkat bareng aku sama Putra enggak?” Ayu menawarkan.

“Emangnya masih muat?” tanya Dwi.

“Baru Tia yang nebeng.”

“Enggak usah deh kayaknya. Aku sama Dwi udah janjian sama anak-anak yang naik motor. Mending tawarin Emma aja. Setau aku dia mau bawa motor sendiri.”

Ayu tampak sedikit kecewa tapi tetap mengangguk pasrah. Sedangkan Laras seperti mengerti perasaannya. Laras menepuk bahu Ayu dan meyakinkan bahwa Emma akan menjadi penetral suasana. Ia kembali menyesap kopinya yang mendingin. Dalam pikirannya berharap apa yang dikatakan Laras menjadi kenyataan. Semoga saja Emma benar-benar peka ketika seorang Tia bisa saja mengacaukan suasana hatinya lagi. Ayu memandangi Laras dan Dwi yang sedang merapikan kembali perbekalan mereka untuk dua hari ke depan. Hatinya menghangat kembali. Rasanya ia ingin tinggal di rumah itu bersama seluruh penghuni indekos selama mungkin. Tiga tahun merawat rumah bersama-sama, bukanlah hal mudah. Sekali lagi, Ayu berusaha untuk mensyukuri hidupnya yang dipertemukan dengan teman-teman yang memberikannya banyak pengaruh baik di saat teman yang lainnya memberikan tekanan dalam hidupnya.

***

Tiga mobil dan delapan motor melewati papan nama bertuliskan Villa De Rencontre. Mereka mulai memasuki area penginapan. Jalan menurun yang sebenarnya tidak terlalu curam tetapi dipenuhi kerikil membuat para pengendara sepeda motor harus lebih berhati-hati. Saat memasuki gerbang atas penginapan, Laras sudah langsung membayangkan halaman depan yang luasnya hampir dua kali lipat lapangan futsal, pasti akan segera dikuasai para lelaki yang tingkahnya masih persis anak-anak SMA. Sedangkan saat dilihat dari area penginapan, Laras seperti berada di dalam lembah gunung karena jalan raya letaknya hampir setinggi bangunan penginapan yang terdiri dari tiga lantai.

Bangunan tua bergaya klasik dengan atap miring dan jendela-jendela besar tampak kuat sekaligus sejuk dengan paduan kayu dan bata merah. Banyaknya jendela pada ketiga lantai tersebut mengingatkan Laras pada kisah Rumah Madam LaLaurie, seorang sosialita sekaligus pembunuh berantai dari New Orleans. Meskipun dari bentuk bangunan yang jelas berbeda, Laras tetap membayangkan bagaimana jadinya jika ia tiba-tiba melihat sosok Madam LaLaurie muncul dari salah satu jendela.

“Yuk, masuk,” Ayu mengajak semua anak untuk masuk ke dalam penginapan.

Sebagian dari mereka ikut berkeliling untuk melihat-lihat ruangan di setiap lantainya, sebagian lainnya memilih merebahkan badan di sofa ruang tengah. Setiap ruangan di dalam penginapan itu ditata dengan apik dan terlihat sangat terawat. Tak ada aroma lembab pada setiap ruangan padahal penginapan ini hampir dikelilingi pepohonan. Setelah berkeliling, akhirnya seluruh kamar tidur pada lantai pertama dipilih menjadi tempat untuk tempat istirahat para lelaki. Ada empat kamar tidur yang masing-masingnya terdapat kasur king size yang jika dipaksakan bisa menampung empat orang dalam satu kasur. Tetapi mereka yakin kalau sebagian besar laki-laki akan memilih bercengkrama hingga pagi. Sehingga jumlah kamar tak terlalu berpengaruh, asalkan disediakan kasur ekstra.

Sedangkan lantai kedua dipilih sebagai area kekuasaan perempuan. Di lantai dua hanya terdapat satu kamar tidur menyerupai asrama. Terdapat sepuluh tempat tidur di dalamnya yang masing-masingnya bisa digunakan untuk dua orang. Anehnya, hanya terdapat satu lemari baju dengan ukuran yang cukup besar pada salah satu sisi dinding. Sebenarnya lantai dua sedikit lebih menyeramkan jika dibandingkan dengan lantai pertama. Namun melihat jumlah laki-laki yang lebih banyak dibandingkan perempuan, akhirnya mereka semua menyetujui. Lagi pula dengan keadaan kamar yang luas dan tanpa sekat, para perempuan mendapatkan kesempatan untuk membaur yang pada kenyataannya sulit sekali dilakukan di lingkungan kampus. Keadaan seperti ini seakan memaksa mereka untuk mau tak mau harus mulai menyadari keberadaan satu sama lain.

Lihat selengkapnya