Kendrick membeku mendengar permintaan putrinya. Dirinya dengan reflek menatap Alessia dan pandangannya itu diikuti oleh putrinya.
"Ah, ada bunda."
Gadis itu segera berlari cepat memeluk pinggang Alessia.
Di sini tidak hanya Alessia yang bingung. Rean yang heran mamanya dipanggil bunda oleh teman sekelasnya dan Elleon yang mendengar anak pria lain memanggilnya dengan sebutan bunda dengan lebih akrab dari anak-anaknya tidak bisa tidak menganga. Dirinya tidak tahu bahwa hubungan istri dan pria di depannya sudah sampai pada mendapatkan restu putri pria itu.
"Sayang ingat kata ayah."
"Ah, sekarang bunda lupa sama Etha ya. Jadi apa Etha tidak bisa panggil bunda dengan bunda lagi? Apa sekarang Etha tidak punya ibu dan bunda?"
Alessia yang panik mensejajarkan dirinya dengan Bertha. Dasar Alessia asli, apa tidak bisa dia menjelaskan tentang hidupnya. Dia bingung harus apa atau mengatakan apa di saat ini.
"Maaf ya bunda lupa, Bertha tetap bisa panggil bunda dengan bunda kok. Dan terima kasih sudah menjadi anak yang kuat."
Bertha memeluk Alessia dalam, jika ayahnya merasa bersalah tidak bisa menjaganya, bundanya berterima kasih karena Bertha sudah menjadi gadis yang kuat. Dia adalah anak seorang pahlawan, tentu Bertha juga harus menjadi gadis yang kuat
'Jika Alessia yang asli mengizinkan, maka tidak ada salahnya kan membiarkan teman putranya memanggilku dengan bunda."
Perasaan kendrick menghangat melihat putrinya dapat tersenyum lagi. Kejadian amnesianya Alessia tidak berjarak jauh dari Bertha yang mengurung diri membuatnya jujur sedikit kewalahan dalam membujuk Bertha.
Sedangkan pikiran Elleon entah terbang kemana. Keluar angkasa mungkin?
Istrinya yang selalu memanggil anak mereka sialan dan bajingan hingga anak mereka bahkan takut memanggilnya mama, membiarkan anak pria ini memanggilnya bunda dan melihat kedekatan yang intim istrinya dan putra pria itu membuat Elleon kesal dan cemburu setengah mati iya cemburu, putranya tidak pernah diperlakukan seperti itu. Tapi lihat saja seberapa erat istrinya menerima pelukan dari anak pria itu.
.
.
.
Pyar...
Yup, si bungsu Gedith yang melihat mamanya dipeluk erat oleh teman sekelasnya merasa hatinya ditusuk ribuan jarum. Genggamannya pada segelas jus jeruk melemah, gelas tanpa dosa itu jatuh mengikuti gaya tarik bumi dan pecahannya berbaur dengan karpet bulu merah muda di kamar Bertha.
Dirinya juga ingin dipeluk seperti itu.
Dipanggil sayang seperti itu.
Beberapa hari ini dia rasa tidak cukup. Apa selama ini mamanya bahagia dipanggil mama olehnya? Sebahagia dipanggil bunda oleh Bertha? Apa selama ini Bertha juga memeluk dan mencium mamanya? Mama miliknya dan kakak-kakaknya, mama yang bahkan tidak pernah memberikan kasih sayangnya sebelum mamanya hilang ingatan?
Sebelum dan sesudah hilang ingatan, apa cinta mamanya kepada Bertha lebih besar daripada bagi dirinya dan kakak-kakaknya?
Kepala anak yang hampir berusia sembilan tahun itu penuh dengan pertanyaan rumit. Cukup rumit untuk membuat seorang Rean menjadi diam.