Ch 22: Hotel (2)
Alessia yang bosan dan tanpa mobil karena dia datang ke hotel dengan Elleon mau tidak mau merepotkan asisten Elleon untuk membelikannya kuas, cat, dan sketchbook.
"Terima kasih James."
"Tidak perlu mengucapkan terima kasih nyonya. Kalau begitu saya pamit."
Pria paruh baya yang usianya mungkin cocok menjadi ayah Alessia itu pergi meninggalkan lobby hotel. Pria itu lahir di negara yang sama dengan Elleon.
Alessia menyalakan lampu di kamarnya dan menyiapkan alat lukisnya. Dirinya cukup lama berpikir hingga dia mulai menggerakkan tangannya.
beeppp...
Suara pintu yang dibuka mengalihkan Alessia dari lukisannya. Satu-satunya yang memiliki akses selain dirinya adalah Elleon, tapi pria itu tidak memberikan kabar apapun jika benar pria itu akan datang.
"Mamaaa..."
Bruk...
Rean, anak laki-laki yang sudah berusia sembilan tahun itu berlari dan memeluk Alessia yang duduk di sofa. Beruntung Sketchbooknya sudah dia amankan.
"Rean? Kau kesini dengan papa?"
Rean mengangguk dengan semangat. Sambil mengangkat kedua tangannya yang membawa kantong plastik.
"Kami semua datang. Papa bilang lusa baru selesai, dan besok hari libur kita semua. Jadi kita akan menginap di sini hari ini. Dan kami juga membelikan banyak makanan. Ayo makan bersama ma."
Paragraf panjang Rean diakhiri dengan senyum anak itu dan menarik mamanya menuju ruang makan di kamar hotel. Di ruang makan sudah ada para laki-laki yang menjadi hal berharga milik Alessia.
"Akhirnya kalian datang, ayo duduk dan makan."
Elleon yang sudah mengarahkan anak-anaknya yang lain untuk menyiapkan makan malam mempersilahkan istrinya untuk duduk.
Elleon merogoh saku celana dan kemejanya tapi tidak menemukan sesuatu yang dia cari.
"Aku meninggalkan sesuatu di mobil, jangan mulai dulu tunggu papa."
Setelah mendengar kalimat papanya, anak-anak yang sudah bersemangat kembali menjadi lesu.
"Jangan lama-lama."
Alessia melihat itu sedikit tertawa. Jelas sekali bahwa akhirnya mereka bisa lebih disebut sebagai keluarga setelah minggu lalu 'dirinya' dimaafkan.
"Bukankah lebih baik kalian melihat-lihat dulu, sambil menunggu papa kembali. Mama akan dengan tenang menunggu di sini."
Ketiga putranya sudah bubar barisan meninggalkan Orion dan Rean.
"Apa kalian tidak ikut yang lain?"
Orion menggelengkan kepalanya, dan Rean masih berfokus dengan game di ponselnya.
"Aku sedikit lelah hari ini."
Alessia menyipitkan matanya, dia bisa dengan samar melihat lebam kebiruan di ujung bibir putra paling bermasalahnya itu.
"Apa kau dalam masalah?"
Menyadari tatapan mamanya, Orion memegang sudut bibirnya. Yah, jika 'bermain' dengan geng sebelah disebut masalah maka dirinya benar terlibat masalah.
"Hanya sedikit, ini karena kita bermain terlalu kuat."
Alessia berdiri menghampiri putranya, setidaknya dia harus menjadi mama yang baik untuk anak yang paling sering dia lukai ini. Alessia bahkan yakin bahwa luka Orion saat ini tidak sesakit yang dia berikan, meskipun begitu memar itu tetap terlihat menyakitkan.
Saat berjalan, ujung mata Alessia teralihkan oleh ponsel yang menyala. Pandangan sepersekian detik sudah cukup untuk Alessia membaca siapa penelpon yang menghubungi ponsel suaminya.
"Arh.."
Brak...
"Ma!"
Orion bangkit dengan cepat, tidak peduli kursi tempatnya duduk sudah terjungkal ke belakang. Sedangkan Rean terpaku sambil memegang erat ponselnya.
Alessia memegang erat kepalanya, rasa sakit gila-gilaan ini pasti karena ada ingatan yang diberikan oleh Alessia yang asli. Rasa sakit kali ini lebih singkat dibanding saat dirinya bertemu Alessia asli atau saat ingatan dirinya bertemu Kendrick, dan tidak membuat mual saat dirinya ingin menghabisi putranya. Hal ini tentu sebanding dengan durasi ingatan yang terputar di kepalanya dan konteks ingatannya.
"Apa mama baik-baik saja?"
Lihat, putranya sangat baik kan. Siapa yang berani mengatakan putranya anak nakal? Orion yang berada di hadapannya adalah remaja tampan yang mengkhawatirkan mamanya, meskipun dulu mamanya selalu bersikap buruk padanya.
William, Deon, dan Dion datang begitu mendengar keributan di ruang makan.
"Mama baik-baik saja, hanya sedikit pusing tadi."
Orion sedikit tidak percaya, mamanya bahkan jatuh terduduk. Sedangkan tiga lainnya berusaha mencerna.
Rean meletakkan ponselnya di meja, dan berjalan kaku mendekati mamanya.
"Ma... Maafin Rean. Apa karena Rean lagi? Apa karena tadi Rean mengabaikan mama? Rean ga akan main lagi? Jadi jangan seperti ini lagi ma, jangan seperti dulu."
Semua orang termasuk Alessia tidak paham akan sikap Rean. Apa dulu Rean pernah disakiti hingga trauma? Dan apa sekarang traumanya bangkit?
"Ada apa sayang? Mama baik-baik saja, lihat."
Meskipun sedikit pusing, Alessia menepuk pelan dadanya dan tersenyum. Dia tidak ingin putra bungsunya khawatir.
Rean menggelengkan kepala kecilnya, ekspresi takut tetap terpasang di wajahnya.
"Mama seperti saat pulang dari rumah Bertha dan seperti saat di rumah, ingatan mama kembali kan?"
Kalimat singkat dari mulut Rean bisa membuat orang-orang yang lebih tua menegangkan badan. Kakak-kakaknya tidak tahu apa yang dikatakan Rean benar atau salah, tapi melihat mamanya kembali terpaku, jelas perkataan Rean benar.
Ingatan mereka juga kembali ke minggu lalu, tapi tidak ada alasan Alessia menyembunyikan ingatan yang kembali, bahkan jika itu ingatan tentang sikap buruk mamanya seperti minggu lalu, seharusnya mamanya tidak menyembunyikannya. Ayolah, mengenai sikap buruk mamanya tidak ada yang lebih tahu daripada mereka.
Deon yang dilabeli sebagai putra paling cerdas membuka suaranya.
"Apa kali ini bukan tentang kami lagi?"
Deg, Alessia tersentak. Ternyata punya anak pintar juga sebuah masalah.
Sedangkan Orion dan yang lain akhirnya bisa menghubungkan perilaku Alessia terhadap ingatan yang baru kembali. Mereka tidak tahu harus sedih atau senang, sedih karena bukan mereka yang diingat, atau senang karena mama mereka menutupinya. Jika mama mereka menutupinya, maka mama mereka juga tidak ingin hubungan mereka kembali meregang seperti saat ingatan Bertha muncul.
Alessia yang tidak tahu harus apa menganggukkan kepalanya.
"Iya, kali ini juga bukan tentang kalian. Tapi, tapi... tolong jangan pergi lagi."
Alessia takut, dia sangat takut jika anak-anak kembali mengacuhkannya. Dirinya takut kembali menjadi sendirian.
William menggenggam kedua tangan Alessia untuk menenangkan wanita yang telah melahirkannya itu.
"Kami tidak akan pergi lagi ma. Kami-kita, sudah memutuskan untuk memulai semua dari awal kan."
"Hiks..."
Alessia tidak bisa menghentikan air mata yang turun. Bagaimana bisa anak-anaknya memaafkan seseorang seperti dirinya? Bagaimana bisa mereka menerima dirinya? Bagaimana lagi Alessia harus bersyukur atas kesempatan ini?
Orion merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan sapu tangan.
"Lain kali kalau ingatan mama kembali jangan menangis. Rasanya aneh kalau melihat mama menangis."
Bukannya menerima sapu tangan itu, Alessia melepaskan genggaman tangan William di depannya dan memeluk Orion yang berada di sampingnya sejak tadi.
"Terima kasih, terima kasih. Mama akan berusaha agar ini yang terakhir."
Orion tidak bisa menahan rasa bahagianya, perutnya menghangat, dadanya berdebar, dan sudut bibirnya terangkat tanpa kontrol.
"Jangan berusaha, tapi berjanji ma."
Melihat itu Deon, Dion, dan William ikut bahagia, sedangkan Rean, dia sudah tersenyum sejak William menggenggam tangan mamanya. Sekarang semuanya berada di pihak mama, dia bukan satu-satunya lagi.
Mereka akhirnya kembali duduk di kursi dan menunggu Elleon datang.
beeeppp...
Suara pintu terbuka dan memperlihatkan Elleon yang ternegah-engah.
"Maaf lama liftnya antre sangat lama. Ada sekolah yang menyewa kamar jadi liftnya penuh.... ngomong-ngomong kenapa mama dan Rean seperti habis menangis."
William tertawa ringan.
"Tidak ada masalah khusus, hanya saja tadi mama menangis karena mama teringat sesuatu tapi bukan kita, kalau Rean kan memang cengeng."
""Kak Will""
Elleon sudah bisa menebak, pasti istrinya itu takut kembali dijauhi. Elleon berjalan ke arah belakang Alessia dan mengeluarkan barang yang dia ambil susah payah di mobil.
"Tentu saja Rean cengeng, karena dia mirip dengan mama kan."
Rean sebenarnya ingin protes, tapi mengingat rencana malam ini, Rean yang baik dan bijaksana akan mengalah.
"Apa maksudmu El? Aku tidak secengeng-"
Sret,
"Iya, kau tidak hanya cengeng, tapi juga banyak bicara. Bisa kau tenang sedikit, agak sulit memasangkan kalung jika kau terlalu banyak bergerak."
Mendengar kalimat Elleon dan merasakan bahwa suaminya itu memasangkan kalung membuat Alessia tiba-tiba diam. Respon yang jarang dilihat itu membuat anak-anak mereka tersenyum.
"Sudah,"
Kalung dengan safir kecil itu menghiasi leher Alessia dengan cantik. Kalung kecil yang tidak ternilai, bukan harganya tetapi momen dan siapa yang memberi membuatnya menjadi tidak ternilai.
"Happy Anniversary Alessia, my wife."