Geigi

Bentang Pustaka
Chapter #3

Angan

Hanya ada aku dan Papa di meja makan. Selalu seperti ini. Sepi. Jika Papa berbicara, pasti hanya seputar sekolahku, karena memang tidak ada hal lain lagi yang bisa kami bicarakan.

“Gimana olimpiade kamu?” tanya Papa di tengah acara makan malam kami. “Kapan jadwalnya?” tanya Papa lagi.

“Beberapa hari lagi,” balasku singkat.

“Sudah sering latihan soal, kan?”

Aku mengangguk. Lagi. Entah kenapa, setiap melihat Papa aku selalu teringat pada pertengkaran singkat antara Papa dan Mama dahulu. Aku tak bisa melupakannya. Rasanya aku menjadi sulit berbicara leluasa dengan Papa.

Sifat-sifatku pun berubah menjadi sifat yang dulu aku benci. Aku jadi orang yang selalu meremehkan hubungan pacaran remaja lain. Aku selalu menganggap mereka hanya benalu dan orang-orang lebay yang datang ke sekolah bukan untuk belajar dan malah memilih pacaran. Aku benci dengan pemikiran itu di diriku. Kenapa pemikiran itu muncul begitu saja tanpa aku inginkan? Seharusnya aku bisa menghargai atau paling tidak aku bisa menganggap semua itu urusan mereka, bukan urusanku. Namun, kenyataannya sulit. Pikiranku selalu mengatakan, mereka belum merasakan apa itu pernikahan.

“Tadi Mama kamu telepon. Dia tanya kenapa kamu nggak jawab telepon dari dia.”

Aku memang baru melihat panggilan masuk tak terjawab karena ketiduran tadi sore.

“Dia bilang, dia menuju daerah pedalaman untuk proyek kerjanya. Di sana bakal susah sinyal, makanya dia titip pesan ke Papa, katanya beberapa hari ini nggak bisa ngobrol sama kamu,” kata Papa lagi.

Aku mengunyah pelan makananku. “Tadi Mama bilang apa lagi?” tanyaku, tanpa sedikit pun menatap Papa.

“Mama cuma bilang jaga kesehatan. Tadi juga nanyain, kamu kapan lomba olimpiade. Papa cuma mengira-ngira, mungkin bulan ini.”

Aku mendongak ingin memandangi Papa dengan leluasa. “Mama sama Papa ngobrol berapa lama?”

Mungkin Papa heran dengan pertanyaanku itu sehingga Papa langsung mengangkat alisnya dan menatapku beberapa saat. Kemudian, Papa menjawab, “Kira-kira hampir setengah jam, Gi.”

Aku menunduk menahan tangis. Andaikan Mama dan Papa mau menikah lagi.

Sayangnya, di sini aku hanya sebagai anak. Tidak bisa melakukan apa-apa. Pilihan ada pada mereka. Aku hanya bisa berharap dan sepertinya harapanku itu tak akan mungkin bisa terwujud.

Lihat selengkapnya