“Besok kan hari minggu, kita nonton yuk?!” sambung Lani dengan penuh harap.
“Nonton apaan?”
“Ya nonton film di bioskop lah, gimana kamu mau kan nemanin aku nonton?” Ryan tak menjawab ia hanya tersenyum.
“Ih.. Kamu ini senyum-senyum aja, bukannya menjawab ajakanku.” Lani nampak cemberut manja.
“Hemmm... Aku bukannya nggak mau penuhi ajakan mu, tapi ada hal yang belum kamu ketahui tentang aku.” ujar Ryan.
“Hal apaan tu?”
“Aku di kota ini tinggal ngekos dan aku bukan berasal dari keluarga yang berkecukupan di desa, uang yang dikirim orang tuaku setiap bulannya hanya cukup untuk sewa kos, bayar SPP dan ongkos ku ke sekolah. Jika aku penuhi ajakan mu untuk nonton bioskop, itu sama saja menyuruhku untuk libur beberapa hari ke sekolah karena tak ada ongkos untuk ke sini lagi.” tutur Ryan tak ada gengsi sedikit pun, ia bicara apa adanya tanpa ada yang ditutup-tutupi.
Sekarang gantian Lani yang senyum-senyum bahkan tertawa kecil, hal itu tentu saja menimbulkan rasa herab Ryan melihatnya.
“Eh, dijelasin yang sebenarnya malah kamu ketawa. Kamu nggak percaya dengan semua yang barusan aku katakan?” tanya Ryan.
“Bukan aku nggak percaya, Ryan. Yang ngajak nonton kan aku, jadi aku lah yang akan bayar semuanya. Mulai dari karcis masuk sampai jajanan kita nantinya,” ujar Lani.
“Mana bisa begitu, kita kan nontonnya berdua apalagi aku cowok nggak enak jika ada yang tahu nantinya. Kapan-kapan aja ya? Jika nanti aku udah punya uang lebih, aku akan temani kamu nonton.” tutur Ryan merasa tak enak.
“Kamu nggak perlu dengarkan apa kata orang, biarkan aja orang mau ngomong apa! Yang penting buatku kamu mau nemanin aku nonton besok siang, mau ya?” desak Lani dengan sikap manjanya.
“Bagiku sih nggak ada masalah, karena aku emang nggak pernah peduli orang mau bilang apa tentangku. Yang aku pikirkan kamu, jangan sampai nantinya kamu malu gara-gara aku.” ulas Ryan.