Gejolak Sepi

Tiwi Kasavela
Chapter #1

DI ANTARA GEJOLAK

Aku selalu bergejolak di dalam rasa sepi yang panjang untuk menemukan kamu, tapi siapa sebenarnya kamu? Orang yang akan membangun cinta dan hidup bersamaku. (Tiwi Kasavela)


Jakarta, 15 Agustus 2014

Hari semakin senja, awan pun sudah berganti warna dari biru menjadi kuning pekat, menuju malam. Semilir angin dingin membelai rambut panjang Vinka yang dibiarkan tergerai. 

Ia sedang berada si sebuah kafe outdoor di Kota Jakarta, duduk bersantai sambil menyeruput kopi panas dan berbincang dengan seseorang. 

Willem, sosok tampan berdarah murni Belanda, berwajah oval, memiliki hidung mancung dan mata biru tua, yang disempurnakan dengan tinggi dan bentuk tubuh yang atletis, maskulin. 

Sesaat, Vinka fokus menatap pemuda yang duduk dihadapannya. Pemuda yang menjadi idola bagi banyak gadis seusianya, tapi tak pernah sanggup merobohkan perasaanya ke dalam cinta. 

Memang laki-laki ini tampan dan stylish, dia juga seorang vokalis band, Youtuber dan anak orang kaya yang sering begonta-ganti mobil.

 Tapi Vinka, tidak suka cowok yang populer apalagi suka mengoleksi pacar. Vinka tahu betul, Willem punya banyak fans dan dia memanfaatkan hal itu untuk berpacaran dengan mereka. Tidak pernah lama, hanya beberapa bulan saja dia sudah ganti gandengan baru.  

Aneh memang, nyaris tak mengerti, kenapa ketampanan bisa membutakan mata para gadis itu bahwa Willem adalah seorang playboy yang tidak pantas diharapkan. 

Hal lainnya adalah, setiap gadis yang berpacaran dengan Willem pasti akan jadi pusat perhatian, dan dia tidak mau menjadi pusat perhatian. Dia suka kehidupan yang tenang dan damai, tapi sekali lagi herannya, kenapa jenis laki-laki seperti Willem, mau mendekatinya? Menyebalkan sekali, begitu mengganggu. 

 “Vinka jadi gimana?” Tanya Willem berulang kali, membuat Vinka agak kesal.

“Ayo dong Vinka…”

“Hmm..”

“Please,” ucapan Willem yang menekan itu membuat Vinka semakin risih. 

Dia jadi punya alasan baru, kenapa dia tidak perlu menerima cinta Willem, karena selain pemuda itu terlalu popular dan banyak tingkah, sifatnya juga masih kekanakkan, suka memaksa… Ya barangakali karena terbiasa dengan limpahan kekayaan yang diberikan oleh orang tuanya, sehingga membuatnya manja dan sulit menerima penolakan dari orang lain. 

“Gini..” Vinka berusaha menerangkan. 

“Gimana?” Willem nampak sedang menahan gusar, tidak sabar menunggu jawaban.

“Gue nggak bisa,” jawab Vinka datar sambil memalingkan matanya ke arah sudut lain, mencoba menghindar dari tatapan tajam laki-laki itu.

Willem nampak menghela nafasnya panjang.

Vinka kini terdiam, sudah ingin angkat kaki rasanya menanggapi sikap Willem dari hari ke hari yang semakin mengganggu, selalu memelas cinta darinya. Cinta yang cukup sulit untuk ia berikan, ya… karena bukan pria seperti Willem yang ia inginkan ada di dalam hidupnya. 

Dia suka pria dewasa yang low profile, stay cool, yang bisa memahaminya, bukan yang menuntutnya. 

Lagi pula dia merasa masih belum selesai dengan dirinya. Banyak hal tentang hidup yang dia pikirkan, banyak tanda tanya ke mana nanti kakinya harus melangkah. Dia memiliki rahasia masa lalu dan belum sanggup membagi kenyataan hidupnya itu kepada orang lain, lalu untuk apa dia punya pacar? 

Saat ini rasanya benar-benar kondisi yang belum tepat untuk membangun hubungan dengan seseorang. 

“Kenapa?” suara Willem terdengar lagi. 

“Nggak bisa aja pokoknya, kenapa sih? Kan masih ada Vanessa, Seruni, Marinka atau S0nia, tinggal pilih kan?” balas Vinka suaranya agak meninggi.

“Mereka terlalu agresif, nggak menarik,” keluh Willem.

“Haha..” 

“Gue cuman mikir, dari segitu banyak cewek yang suka sama gue. Kenapa gue nggak bisa mendapatkan seseorang yang gue suka?”

“Gue mau fokus kuliah Will, gue belum mau pacaran,” balas Vinka mencari alasan.

“Segininya banget anak yang IPKnya empat, sampai nggak mau pacaran? Ya sudah deh, gue tunggu sampai lu siap ya?” tawar Willem masih belum menyerah.

Huftttthhhhhhh……….

Vinka menghembuskan nafasnya panjang, lelah menanggapi.

 “Gue udah suka sama lu, dari semester pertama kita kuliah,” ucap Willem. 

“Oh iya? Terus apa kabar sama Gianna? Lizbeth? Marisa? Ah atau Dinda?” Vinka berusaha mengingat satu demi satu nama mantan pacar Willem.

“Itu iseng Vinka…. Makannya putus, putus, putus dan putus, kan nggak serius.”

“Gitu ya?”

“Yes of course, mereka posesif banget, needy… Capek tau nggak sih menghadapi mereka. Makan siang harus bareng, pulang mesti dianter, harus tau semua password media sosial gue, rasanya hidup tidak pernah tenang, dicurigain melulu kalau gue selingkuh.”

 “Haha…” Vinka tertawa kecil, menertawakan Willem dan gadis-gadis yang pernah menjadi pacar lelaki itu, lucu memang! 

“Lu beda Vinka,” sambung Willem.

“Lu nggak kenal gue.”

“Itulah sebabnya gue ingin tahu lebih banyak soal lu.”

“Sorry… gue nggak bisa!” tegasnya. 

“Really?”

“Yes! Berapa kali sih gue harus bilang sama lu, gue nggak tertarik menjalin hubungan yang lebih dari pada teman. Understand?” suara Vinka kembali meninggi karena bosan. 

“Oke, maaf!”

“Will, gue balik dulu ya.”

“Gue anter?”

“Nggak perlu, thanks buat kopinya,” ucap Vinka kemudian bangkit dari kursi dan berjalan cepat meninggalkan kafe. Berjalan kaki menuju rumah yang jaraknya hanya beberapa ratus meter saja, sehingga ia tak perlu menaiki taksi atau kendaraan lainnya. 

Dilihatnya awan yang menggumpal, mendung, sepertinya hujan akan segera turun, dan sebelum Vinka sadar bahwa ia harus segera berteduh, sudah ada tetesan air yang membasahi bajunya, dan ia hanya membiarkannya tubuhnya pasrah, basah diguyur hujan.

Jujur, sebenarnya ia sedang gelisah beberapa hari ini, tentu saja bukan karena Willem, melainkan tentang perkataan Mami belum lama ini.

 “Vinka, ibu kandungmu menelepon pihak Panti Asuhan, kamu mau kan bertemu dengan dia?” ucap Mami tiga hari yang lalu. 

Mendengarnya Prisa hanya mampu berkata, “Ya, Mam.” 

Memang apa ada jawaban yang lain? Sebenarnya ia sudah lama penasaran dengan ibu kandungnya, tapi saat waktunya tiba, entah kenapa mentalnya seperti tidak cukup kuat. 

Vinka terus berjalan sambil melamun, pikirannya berkelana pada kejadian dua belas tahun silam, di tahun 2000. Saat itu, usianya belum genap enam tahun, masih jelas dalam ingatannya, seorang perempuan paruh baya yang cantik dan hangat datang ke Panti Asuhan, lalu mengangkatnya menjadi seorang anak. 

Perempuan itu ia panggil Mami, yang sudah seperti ibu kandungnya sendiri. Mengasihi, mencintai serta memberikan kehidupan yang layak bahkan berkecukupan kepadanya.

Mami adalah wanita mandiri yang sangat sibuk, pada usia 20-an Mami pernah menikah, namun baru dua tahun pernikahan berjalan, Mami bercerai karena KDRT dan memutuskan untuk terus melajang hingga saat ini, di usia yang hampir menginjak 52 tahun.

“Vinka, Mami sudah berbicara dengan ibu kandungmu, dia perempuan yang baik kok, kamu tidak usah khawatir,” ucap Mami lagi kemarin.

“Baik, Mam..” begitu jawab Vinka. Bukan apa-apa, tapi perasaan sebagai anak terbuang membuatnya malu. Maka dari itu, dia ingin menyimpan hal ini rapat-rapat, dia tidak mau ada orang lain tahu, tidak dengan temannya apalagi seorang pacar, dia terlalu inferior untuk mengakui asal usulnya.

Ya, di balik prestasinya yang gemilang, wajahnya yang cukup cantik dan dikenal sebagai anak seorang notaris sukses, Vinka memendam rasa insecure sendirian.

Sejak Sekolah Dasar, Vinka selalu disekolahkan di sekolah terbaik, begitu juga hingga tingkat universitas. Dia tahu betul bahwa temannya lahir dari kelas sosial menengah ke atas, orang tua mereka banyak yang bekerja sebagai pengusaha, profesional di bidang kesehatan dan hukum termasuk politisi. Dia juga yakin bahwa semua temannya benar-benar lahir dari keluarga terhormat, tidak dengan dia, yang hanya diangkat anak.  

Suatu hari Mami pernah bercerita, kalau dulu dia adalah seorang bayi yang dibuang di semak-semak kebun. Usianya baru beberapa hari ketika seorang tukang jamu menemukannya pada dini hari dan membawa Vinka ke sebuah Panti Asuhan.

 Kondisinya cukup memprihatinkan saat itu, dia hanya di taruh di dalam sebuah kardus dan hanya menggunakan samping kumal. Tangisannya yang kencang itulah yang menyelamatkannya, hingga sebelum terkena hipotermia, seseorang sudah menemukannya. 

Sebenarnya, saat berusia tiga bulan, dia pernah diadopsi oleh pasangan suami istri muda yang sudah menikah selama tiga tahun namun belum dikaruniai anak. Mereka mengadopsi Vinka karena sang suami ketahui mandul. 

Hingga dia berusia lima tahun, semuanya baik-baik saja, ia memanggil ke dua orang tua angkatnya itu dengan sebutan Ayah dan Bunda. Namun sebuah tragedi terjadi tanpa di duga-duga, Ayah dan Bunda banyak berselisih paham. Hal ini karena Bunda berselingkuh dengan laki-laki lain, sampai akhirnya hamil. Ayah yang mengetahui semua itu begitu murka, hingga membuat mereka sering bertengkar, sekalipun di depan Vinka. Sampai di suatu waktu, hal yang membuatnya trauma itu pun terjadi.

Di sebuah malam yang mencekam, piring dan gelas terbang, pecah berserakan, rumah berantakan tak karuan. Teriakkan terdengar saling bersahutan, membuat Vinka kecil terbangun dari tidurnya. Dia pun berjalan ke luar kamar dan mengintip di balik pintu. Di lihatnya Ayah yang marah, dia membawa pisau dapur dan menusuk Bunda, berkali-kali, hingga Bunda tewas di tempat dengan perut buncit, yang masih mengandung janin hasil perselingkuhannya. 

Saat itu Vinka hanya berdiri mematung, jantungnya berdetak kencang, tangannya berkeringat, dia takut Ayah akan melakukan hal yang sama kepadanya. Saking takutnya, lidahnya kelu, dia tidak bisa berkata apa-apa. Untung saja, Ayah hanya menatapnya tajam kemudian pergi dari rumah, mengendarai mobil dan entah pergi ke mana.

Saat itu Vinka masih diam ketakutan dengan rasa ngeri yang menguasai dirinya. Hingga beberapa jam kemudian, seseorang datang, tetangganya. Perempuan paruh baya itu adalah Tante Tuti, dia berteriak, membawa orang ramai-ramai datang ke rumah dan mengamankan Vinka.

Ya.. kejadian itu pada akhirnya menjadi pemberitaan hangat di media, dia melihat banyak polisi dan wartawan yang datang ke rumah. Beberapa hari kemudian, Bundanya dikuburkan dan Ayahnya dipenjara, kemudian dia mendapatkan rehabilitasi dan pendampingan, lalu kembali ke Panti Asuhan. 

Dulu, namanya bukan Vinka, seingatnya namanya adalah Kirana, Kirana Ayuna Arunika. Tapi Mami mengganti nama itu, nama yang tercatat pernah menjadi saksi tragedi pembunuhan. Namun sekian lama waktu berlalu, kejadian buruk itu kadang masih berputar-putar di kepalanya, membuatnya memiliki krisis kepercayaan diri dan meragukan orang lain, dia takut orang terdekatnya akan melakukan hal kejam, seperti apa yang pernah dilakukan Ayah kepada Bunda. 

Sampai hari ini pun, Vinka masih dapat menemukan berita tentang kejadian itu di media sosial dan setiap kali membaca atau menontonnya, ketakutan itu datang lagi, dia trauma. 

Sekian lama waktu berjalan, Vinka tumbuh menjadi anak yang pendiam dan menutup diri. Dia tidak ingin memiliki banyak teman, dia memilih untuk sendirian, tidak banyak berkata-kata, dia tidak mau orang lain tahu siapa dia yang sesungguhnya. Hal yang ada di kepala Vinka, dia hanya ingin belajar sebaik-baiknya untuk mendapatkan nilai yang bagus di sekolah kemudian pulang untuk belajar di rumah. Dia tidak punya kehidupan sosial seperti remaja pada umumnya. Dia malu, masih takut dan khawatir teman-temannya ada yang tahu kemudian mengasihani atau bahkan menertawakannya.

“Arghhh…” Vinka menghela nafasnya panjang, berat sekali rasanya semua ini. 

Vinka masih berjalan gontai, di antara derasnya hujan dan guntur yang menggelegar, ia tahu mungkin ia bisa sakit, tapi dia tak peduli.

Pikirannya masih kalut, ia takut kejadian buruk akan terjadi lagi dan ia marah, marah pada orang tua yang dulu membuangnya, yang membuatnya memiliki pengalaman buruk di masa kecil, kalau bukan dirawat oleh Mami, entah jadi apa dia sekarang. 

Selama ini, Vinka berusaha menganggap bahwa ke dua orang tuanya sudah meninggal. Hal itu membuatnya merasa lebih lega ketimbang membayangkan orang tuanya masih hidup dan kelak akan menemuinya. 

Lagi pula siapa orang tua kandungnya? Orang tua yang bisa membuang anaknya sendiri, tentulah bukan orang tua yang baik. Dan di dalam kehidupannya yang tenang ini, dia tidak mau terseret kembali pada hal-hal yang membuatnya sedih, atau mengingatkannya pada hal menyeramkan, hal yang selama ini sudah berusaha mati-matian ia lupakan, namun tidak kunjung hilang. 

“Tidak, aku tidak mau bertemu dengannya!” bisik hati Vinka sakit. 

***

16 Agutus 2014

Vinka membuka matanya perlahan, pening itu belum hilang dan saat menggerakkan tangannya, ia baru sadar bahwa ada infus yang menancap di sana.

 Sejenak ia berpikir tentang apa yang terjadi. Kemarin malam, hujan dan gelisah. Ya, ketika tiba di rumah dan hendak membuka pagar, tiba-tiba kepalanya terasa berputar dan ia lupa setelah itu, mungkin dia pingsan.

 “Vinka, syukurlah kamu sudah sadar,” ucap Mami berkaca-kaca melihat Vinka sudah membuka matanya, meskipun masih terdiam karena lemah.

“Mami…” Vinka menyebut sebuah nama yang begitu dikasihinya.

“Semalam kamu pingsan, untung di depan rumah, kamu kenapa sayang?” tanya Mami khawatir.

Vinka terdiam sesaat, menghela nafasnya panjang.

“Vin, kamu harus cepet sehat ya, jangan buat Mami was-was…”

“Iya, Mam…” jawab Vinka sekenanya.

***

18 Agutus 2014

Vinka terduduk di ranjang kasur rumah sakit, pagi ini kondisinya sudah jauh lebih baik, kemarin dia sempat demam dan sudah boleh pulang. 

Adapun Mami sepertinya sudah bisa menangkap apa yang menjadi kegelisahan di hati Vinka, beberapa waktu lalu mereka sempat mengobrol.  

“Mami mengerti kita berdua sama-sama terkejut, tapi kita harus menerima kenyataan dengan lapang dada kan,” ucap Mami sambil menyuapkan bubur ke dalam mulutnya. 

Lihat selengkapnya