2 September 2014
Sore ini Willem menjemput Vinka di rumah, kemudian mengajaknya pergi ke Supermarket terlebih dahulu untuk membeli berbagai jenis makanan.
“Buat apa semua ini, Will?” tanya Vinka tak mengerti ketika troli itu sudah penuh, bahkan melebihi kapasitasnya.
“Makanan tambahan biar nggak bosan di rumah,” jawab Willem santai.
“Gue nggak makan banyak,” keluhnya.
“Ya buat jaga-jaga kan, udah ah jangan ngomel mulu,” protes Willem.
Lalu Vinka pun akhirnya hanya bisa menghela nafas panjang.
Usai berbelanja, Willem membawa Vinka ke sebuah perumahan elit. Sepanjang jalan ia cukup menikmati suasana, ia jarang pergi keluar rumah jika tidak ada yang mendesak, dan ia senang bisa pergi ke tempat baru, meskipun hanya ke rumah Willem.
Sejenak ia menikmati lembayung sore yang baru saja muncul di kaki langit, memberikan sensasi yang tidak biasa. Rasa sepi dan kesendirian yang biasanya hadir seakan pudar, ia merasa senang entah kenapa, mungkin karena ia sedang bersama seseorang, ia butuh teman.
Tidak lama, mereka sampai di rumah Willem, untuk sesaat, Vinka sempat terpana melihat rumah Willem sangat besar dengan beberapa paviliun yang cantik, bersih dan asri. Cat rumahnya putih semua dengan banyak jendela dan pintu di mana-mana, berlantai dua dengan taman yang sangat luas. Jenis arsitektur yang unik, terawat dan terkesan mewah.
Entah ada berapa ruangan di rumah Willem, Vinka kesulitan memprediksikannya. Mungkin dua puluh? Atau tiga puluh? Ia tak yakin. Ia hanya mampu tersenyum ketika mengingat bahwa di sudut kota Jakarta masih ada bangunan luas milik seorang pengusaha kaya, ayah Willem.
Rumah yang menurut Vinka cukup nyaman meskipun sesaat meninggalkan kesan seram. Rumah yang hanya dihuni oleh sembilan orang, Willem bersama saudaranya, sisanya adalah pekerja. Dua orang Asisten Rumah Tangga yang khusus membersihkan rumah, seorang juru masak, seorang supir, seorang tukang kebun dan dua orang satpam, itu yang Willem ceritakan.
“Biasanya rumah akan lebih hangat kalau Vader dan istri barunya datang ke Indonesia. Tapi mereka sepertinya sudah nyaman tinggal di Austria,” jelas Willem saat mereka sedang berjalan menuju ruang belajar.
“Istri baru?” Vinka mengernyitkan dahinya.
“Ya, Moeder meninggal setelah beberapa hari gue lahir ke dunia, terus Vader menikah lagi dengan seorang janda muda asal Ukraina, orangnya baik sih, tapi tetap saja kan Vin, nggak bisa menggantikan posisi ibu kandung. Lagian gue juga nggak deket Vader sih kalau dipikir-pikir, dari kecil gue cuman diurus ART, jarang banget ketemu Vader, mungkin dia sibuk,” jelas Willem.
Vinka menghela nafasnya panjang, ia jadi teringat pada ibu kandungnya.
“Vin, kok lu diem?” Tanya Willem, menyadari perubahan rona di wajah Vinka.
“Ruang belajar lu masih jauh?” Vinka mengalihkan pembicaraan.
“Di ujung sana,” ucap Willem sambil mengarahkan telunjuknya pada sebuah ruangan.
Vinka terus berjalan sambil mengamati berbagai lukisan yang terpajang, ketimbang rumah, tempat tinggal Willem lebih cocok sebagai museum antik yang memiliki koleksi barang seni dari masa ke masa.
“Nah sampai,” ucap Willem sambil membukakan pintu dan memperlihatkan tempat belajarnya yang dipenuhi buku-buku.
“Sebentar, lu kan IPK nya di bawah tiga, kok bisa bukunya sebanyak ini?” Tanya Vinka terkejut.
“Buku koleksi saudara gue. Nggak tau tuh kenapa dia suka banget beli-beli buku, selain bahasa Inggris ada juga buku berbahasa Jerman sampai Ibrani. Gue sih males ya baca,” jelas Willem.
Vinka hanya termanggut-manggut mengagumi kondisi perpustakaan di rumah Willem yang menurutnya begitu artistik dan membuat siapapun menjadi nyaman jika mau berlama-lama belajar di sini.
“Oh iya, selain snack yang tadi gue beli, lu mau tambahan makanan atau minuman?” tanya Willem.
“Aduh Will, ini aja udah kebanyakan.”
“Biarin aja sih, ehm…. Gimana kalau kita minum Es Selendang Mayang atau Es Campur Betawi?”
“Emang ada?”
“Ada lah tadi pagi gue minta Bibi bikin,” jawab Willem santai, untuk kemudian menggambil handphonenya dan menelepon seseorang.
“Bibi tolong bawakan Es Selendang Mayang sama Es Campur Betawi ke perpustakaan atas, thanks” ucap Willem kepada seseorang kemudian menutup teleponnya.
“Lu pake nelepon segala Will?” komentar Vinka.
“Lu tahu sendiri rumah gue luas banget. Gue nggak tahu kan si Bibi ada di mana, takutnya dia lagi di paviliun belakang, dapur, halaman atau di mana gitu. Sepanjang kita jalan dari garasi, kan nggak melihat dia juga.”
“Ah iya sih.”
Tidak menunggu lama Vinka pun segera membuka laptop dan berdiskusi tentang tugas makalah yang harus dikumpulkan besok pagi.
Sepuluh menit berlalu, tiba-tiba terdengar suara pintu diketuk.
Tok… tok… tok…
“Masuk aja Bi,” ucap Willem.
Pintu dibuka, seorang wanita paruh baya membawa nampan.
Mata Vinka tak sengaja tertuju pada ART di rumah Willem, dan jatunganya seakan baru saja berhenti.
“Kamu?” ucap perempuan itu membuat tubuh Vinka terkunci.
Gelas yang ia bawa dalam nampan, hampir saja terjatuh.
“Kamu?” ucap Willem sambil berpandangan ke arah Vinka dan Ibu Sekar.
“Bibi kenal teman saya?” tanya Willem heran melihat perubahan ekspresi yang nyata dari Ibu Sekar dan Vinka.
“Oh saya salah lihat, maaf tuan,” ucap Ibu Sekar sambil menyuguhkan minuman yang diminta oleh Willem, sementara ia menunduk, tidak sanggup meneruskan pandangan.
Vinka masih mematung dalam diam, ia tidak menyangka bahwa ibu kandungnya menjadi seorang ART di rumah Willem.
“Vinka.. sorry ya, nggak tahu kenapa tuh si Bibi masih belum tua-tua amat tapi udah salah lihat.”
“Iya,” jawab Vinka lemas.
Entah kenapa antusiasmenya untuk mengajari Willem jadi melemah, pudar seketika. Juga terhadap dua gelas minuman dingin yang sepertinya sangat segar itu.
“Vin, lu sakit?” Tanya Willem melihat Vinka yang tiba-tiba seperti kekurangan energi.
“Nggak apa-apa.”
“Yasudah mau icip minum?”
“Ehm gue ke toilet dulu deh.”
“Oh oke, toilet ke ujung koridor ya.”
“Jauh dong ya?” keluh Vinka mengingat betapa luasnya rumah Willem.
“Aman kok, kamar mandinya dipakai keluarga inti, nggak akan ada pembantu di sana.”
Vinka hanya mengangguk dan akhirnya berjalan, hingga sampai di toilet yang Willem ceritakan.
Ia pun masuk dan mengamati sekitar, kamar mandi yang cukup luas dengan westafel, betap dan shower yang terpisah. Namun saat melihat ke sudut kiri, jantungnya hampir mau copot, ia dikagetkan oleh seorang pria yang sedang berdiri di sana.