21 September 2014
Malam ini Vinka senang sekali bisa makan malam bersama Mami setelah beberapa minggu, karena Mami sangat sibuk sehingga baru pulang dari luar kota tadi sore.
“Vinka kamu baik-baik saja?” tanya Mami saat mereka sedang menyantap Ayam Bakar.
“Baik Mam, Mami gimana? Lancar semua pekerjaan? Ia balik bertanya.
“Lumayan Vin, Mami sibuk banget banyak hal yang harus diurus. Sejujurnya, Mami sering kepikiran kamu.”
“Kenapa Mam? Vinka kan baik-baik saja.”
“Karena kamu sudah besar Vinka.”
Vinka terdiam sejenak, berusaha menerka arah pembicaran Mami.
“Kamu telah mengetahui beberapa fragmen dalam hidupmu, terlepas kamu sudah dapat menerimanya atau belum.”
“Ya..”
“Ada hal yang membuat Mami selalu mengkhawatirkanmu, melihat kamu terus sendirian. Kamu cantik dan cerdas Vinka, Mami yakin di luar sana banyak gadis-gadis yang senang berteman denganmu, begitupun dengan para pemuda. Kamu memiliki wajah yang teduh, rambut ikal panjang yang indah, gerak-gerikmu tidak berlebihan, mestinya kamu sudah punya pacar kan?”
“Mam?”
“Kamu harus mulai hidup bersosialisasi.”
“Ah..?!”
“Setidaknya miliki seorang pacar, agar kalau Mami jauh, Mami merasa tenang karena ada orang yang memperhatikanmu,” tambahnya.
Vinka terdiam sejenak.
“Ya, dulu Mami memang sempat khawatir saat kamu dekat dengan Oza, karena pada saat itu, kamu masih terlalu muda. Bagaimana mungkin Mami membiarkan anak kelas satu SMP berpacaran dengan pria dewasa yang sudah kuliah di tahun ke dua? Apa kamu masih sering memikirkan Oza?” terka Mami.
Vinka terdiam sejenak, ia tidak menduga bahwa selama ini, Mami begitu memperhatikannya.
“Ya, Kok Mami tau?”
“Saat kamu sedang sekolah dulu atau ke kampus, kadang Mami membereskan kamarmu dan di buku diary mu itu, kamu banyak menuliskan nama Oza. Sayang, Oza sudah pergi jauh. Kita tidak tahu dia sedang apa, atau bahkan mungkin dia sudah punya pacar dan akan menikah?” jelas Mami membuatnya merasa sedih.
“Mam?” Vinka ingin memotong pembicaran Mami, tapi ia tak kuasa.
“Delapan tahun yang lalu Oza sudah kuliah, saat ini dia sudah lebih dewasa lagi, Vin. Jika Oza memikirkanmu, dia pasti akan mencarimu, dan dia tidak perlu bersusah-susah, toh rumah kita tidak pernah pindah, dia tinggal datang ke sini. Tapi selama ini, tidak kan? Dia entah berantah, artinya kamu bukan prioritasnya dan dia tidak merasakan ikatan yang sedalam itu sehingga perlu menengok ke sini?”
Kini Vinka hanya bisa diam, tidak tahu harus menjawab apa karena apa yang disampaikan Mami adalah benar adanya.
“Mami menyekolahkan kamu dari dulu di sekolah internasional dengan lingkungan kelas sosial tinggi, agar kamu tumbuh menjadi gadis yang percaya diri, memiliki world view yang luas dan bisa bergaul dengan mereka.”
“Mereka hedon dan tidak suka belajar, Mam,” Vinka berusaha membela diri.
“Mami mengerti, Mami juga tidak memaksa, Mami hanya berharap kamu memiliki seseorang selain Mami. Bukan hanya berteman dengan bayang-bayang Oza. Buka hatimu nak, kamu layak memiliki sahabat dan dicintai.”
“Vinka malu, Mam… Vinka… takut..”
“Mami tahu, itulah kenapa Mami meminta Ibu Sekar untuk jangan mengganggumu dulu, kamu masih muda dan labil, Mami ingin kamu sukses dan berpendidikan. Mami tidak ingin anak Mami yang pintar ini, gagal meraih mimpinya, gara-gara masalah latarbelakang. Tapi Mami berharap, dari rahim siapapun kamu dilahirkan dan pengalaman seburuk apapun di masa kecilmu, kamu harus ingat bahwa kamu dirawat dan tumbuh dari keluarga yang terhormat dan baik-baik. Mami ini tetap ibumu, kamu bangga kan memiliki ibu yang seperti Mami?”
“Iya, Mam. Seharusnya memang begitu.”
“Ibu Sekar tidak pernah datang atau menghubungimu lagi?
“Tidak Mam, tapi ternyata Ibu Sekar adalah seorang ART di rumah teman Vinka, jujur saja Vinka malu jika ada orang lain yang tahu,” jawab Vinka apa adanya.
“Haduh… berat begini ya? Kalau Mami jadi kamu, Mami juga pasti pusing.”
“Iya Mam, Vinka juga bingung, apakah Vinka salah? Tapi seberapa keras pun Vinka berusaha menerimanya, hingga sampai saat ini Vinka masih merasa belum ikhlas Mam.”
“Iya nak, kamu yang sabar ya… Kita hadapi bersama-sama, kamu tidak sendirian.”
“Iya Mam… Vinka harus bagaimana ya Mam…?
“Fokus dengan kuliahmu, Mami akan kirim kamu ke luar kota atau bahkan luar negeri jika perlu, saat kamu sudah lulus S1 nanti kamu bisa melanjutkan studi magister di tempat yang kamu inginkan.”
“Dan..” Suara Mami tertahan.
“Dan apa Mam?”
“Jika memiliki seseorang yang kamu sukai, lalu dia baik dan kalian cocok, pacaranlah dengannya. Mami akan senang kalau kamu punya pacar, sudah waktunya Vin…”
“Ah…Iya Mam,” Vinka hanya mampu menghela nafas panjang.
“Apa sudah ada?”
“Ah? Belum Mam,” agak gelagapan Vinka menjawabnya, namun entah kenapa, baru saja wajah Leven terbayang di kepalanya.
***
14 Desember 2014
Hari-hari bergulir dengan cepat, ujian akhir semester pun telah berlalu dan kini Vinka akan naik ke semester lima, tidak terasa. Ia cukup senang karena masih bertahan dengan IPK empat dan mendapatkan predikat sebagai mahasiswi berprestasi karena ia juga ikut terlibat dalam beberapa penulisan karya ilmiah, teman-temannya pun banyak yang mengucapkan selamat untuknya, meskipun mereka tidak dekat.
“Selamat Vinka, lu keren,” ucap Ines yang rajin menyapanya di kelas.
“Gaya banget sih IPK empat terus, gue kapan ya?” tambah Aldrin.
“Pertahankan terus Vin, supaya bisa jadi lulusan terbaik,” komentar Frans.
“Mantap kebanggaan, udah cantik pintar lagi, yang kurang pacar Vin…” komentar Marissa.
“Vinkania…. I heart you!” ucap Willem sambil memberikan sebuah buket bunga yang begitu besar dengan mawar-mawar cantik yang sedang merekah, Vinka merasa Willem berlebihan, namun ia tetap menghargainya.
Vinka hanya cukup lega, karena meskipun dia sedang memiliki pikiran yang berat, tapi setidaknya ia masih bisa mempertahankan prestasinya di kampus.
***
2 Januari 2015
Sudah seminggu Mami pergi ke Australia, dan Mami bilang dia masih akan pulang sebulan lagi. Vinka tahu, Mami adalah perempuan yang sangat mencintai pekerjaanya, pergi ke berbagai tempat untuk bertemu banyak orang dan membantu mereka yang lemah.
Jauh di lubuk hati Vinka, ia sangat mengagumi Maminya. Seorang perempuan yang memutuskan mengabdikan hidup untuk lingkungan sekitar, menjaga dan merawatnya kemudian memutuskan untuk tidak bersuami lagi. Vinka tahu betul Mami adalah perempuan yang luar biasa dan hebat. Ya, mungkin karena kemandirian itulah yang membuat banyak pria sungkan mendekati Mami.
Setelah menyusun karya tulis ilmiah, siang ini Vinka memutuskan untuk membereskan rumah, menyapu halaman dan memasak untuk makan siang.
Agak membosankan memang karena kampus masih libur, sementara itu, ia tidak punya banyak kesibukan yang lain selain berkutat dengan buku, ngetik-mengetik dan pekerjaan-pekerjaan lain yang menuntutnya untuk selalu ada di depan laptop atau terus membereskan rumah yang memang sudah rapi.
Beberapa kali Willem mengajaknya bertemu, namun Vinka tidak ingin terlalu dekat dengan pemuda itu. Apalagi jika mengingat sikapnya yang selalu salah tingkah saat bertemu Leven atau ada ibu kandungnya tinggal serumah dengan Willem, rasanya Vinka ingin menjauh saja.
***
5 Januari 2015
Vinka melihat jam tangannya yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, sebenarnya ia jarang berada di luar rumah lebih dari jam tujuh. Namun karena sudah terlalu bosan ia memutuskan berkeliling Mal sendiri, seharian, kemudian menutup hari dengan menonton film horor di jam sembilan dan kini filmya baru saja selesai.
Film horor yang cukup menyeramkan, membuatnya sempat beberapa kali hampir berteriak ketakutan, ya dia memang penakut. Tapi entah kenapa dia selalu penasaran dengan sesuatu yang berbau horor, meskipun harus menontonnya di malam hari sendirian.
Vinka pun berjalan cepat ke luar Mal dan berdiri di pinggir jalan, berusaha menemukan sebuah taksi. Namun sudah menunggu lebih dari lima belas menit, tak nampak ada taksi yang lewat di depan matanya.
Hingga akhirnya Vinka memutuskan untuk naik Angkutan Kota dengan perasaan was-was, ya di Angkutan Kota yang hanya berisi dirinya, seorang laki-laki paruh baya dan seorang sopir. Ia jadi ingat berita di televisi tentang kasus jambret, perampokan hingga pemerkosaan yang terjadi beberapa waktu ke belakang ini, dan hal itu membuatnya jadi tidak tenang.
Hal lain yang menggelisahkan dia adalah karena Angkutan Kota ini tidak lewat depan rumahnya. Ia harus berjalan kurang lebih sepuluh hingga lima belas menit dari depan kompleks sampai ke rumahnya. Jujur ia takut jika ada hal buruk yang akan menimpanya.
Laju angkot begitu cepat, hingga dalam beberapa menit saja dia sudah hampir sampai.
“Stop kiri-kiri…,” ucap Vinka ketika sudah sampai di daerah menuju kompleks perumahannya.
Waktu sudah bergulir hingga setengah sebelas malam, Vinka merekatkan jaketnya kemudian membayar uang lima ribuan kepada sopir angkot dan berjalan cepat karena ingin segara sampai ke rumah.
Mata Vinka awas menatap sekeliling, ia takut ada orang jahat yang mengikutinya. Langkahnya begitu cepat hingga tiba-tiba sebuah tangan menyentuh pundaknya, refleks Vinka memutar kepalanya.
“Mau kemana cantik?” ucap seorang pemuda betubuh gempal yang tangannya dipenuhi oleh tato, matanya yang tajam itu terlihat mengerikan.
“Arrgttt….” Vinka nyaris berteriak karena ia melihat ada dua orang lainnya di belakang pemuda itu, dan mereka tersenyum girang seperti baru mendapatkan mangsa baru.