Gejolak Sepi

Tiwi Kasavela
Chapter #9

DILEMA PANJANG

3 Februari 2017

Vinka masih setengah tersadar ketika suara handphonenya bergetar..

“Jenny?” nama itu membuatnya bangkit seketika.

“Hai Vinka, kamu ada di mana?”

“Hallo Jenn, aku di Jakarta, pulang kampung.”

“Ku kira kamu di Amerika mengujungi orang tuamu.”

“Ahaha tidak…”

“Lusa aku akan menikah dengan Oza, apakah kamu tidak keberatan jika kuundang sebagai pengiring pengantin?”

“Ah aku?”

“Iya… kamu teman terbaikku di kampus, sahabatku, kamu harus menjadi bagian yang spesial.”

“Jenny… kenapa mendadak sekali?”

“Aku ingin memintanya langsung, tapi kita sulit bertemu belakangan ini.”

“Baiklah..” jawab Vinka pasrah.

“Pokoknya aku tunggu ya..”

“Oke… aku akan persiapkan keberangkatan malam ini.”

“Ahh thank you my bestie..”

With pleasure..” jawab Vinka berusaha terdengar riang, mereka masih mengobrol hal-hal receh hingga tidak lama kemudian Jenny mematikan teleponnya. 

Kini perasaanya semakin tidak tenang, seperti ada kelabu, tapi juga sedikit kecewa, bingung!

***

5 Februari 2017

Hari ini menjadi salah satu hari yang begitu berat untuk Vinka, dengan hati yang berdarah-darah ia menjadi pengantar pengantin wanita yang akan menikah dengan seseorang yang pernah ia sukai. Bukan apa-apa, hanya saja ia sedikit menyesal, kenapa ia tidak punya kesempatan untuk berbicara dengan Oza. Untuk mengatakan bahwa dulu dia pernah jatuh cinta, meski mereka tidak ditakdirkan bersama.

Entahlah, rasanya ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang membuatnya merasa sakit, ketika Oza tersenyum bahagia ke arah Jenny, memeluknya dan menciumnya. 

“Selamat… Jenny.. Oza, semoga bisa menjadi keluarga yang bahagia, berkelimpahan..” ucap Vinka menyembunyikan gusar yang tak kunjung hilang.

“Terima kasih Vinka, aku senang kita bisa bertemu dan bersahabat hingga saat ini,” sahut Oza.

Jenny tersenyum lebar sekali…

Dan setelah resmi menikah di Gereja, dia masih harus mengikuti acara resepsi mereka di sebuah hotel yang letaknya bersebelahan dengan Penthouse yang ditinggali oleh Oza dan Jenny.

Saat pesta berlangsung ada beberapa barang yang dipercayakan Jenny kepadanya.

“Vin, aku boleh minta tolong?” ucap Jenny.

“Ah iya?”

“Ada beberapa perhiasan, apa aku boleh meminta kamu untuk membawanya ke Penthouse, kamu bisa menyimpannya di kamar.”

“Ah tidak apa-apa aku masuk?” ia tidak nyaman.

“Tidak apa-apa, maafkan aku ya merepotkan, habis banyak sekali tamu yang datang. Kalau perlu, kamu bisa istirahat saja di sana,” ucap Jenny memohon. Sementara itu, Oza nampak sedang berbincang-bincang dengan beberapa tamu undangan yang lain.

“Oh oke…” jawab Vinka pasrah, sebenarnya ia ingin buru-buru pulang.

Tidak lama kemudian ia membawa sebuah bingkisan yang berisi emas, permata dan perhiasan lainnya untuk kemudian menyebrang dari hotel ke apartemen dan naik ke lantai tertinggi menuju penthouse.

Setelah sampai dan memasukan sandi untuk masuk, Vinka sedikit terhenyak ketika melihat suasana rumah Oza yang mirip sekali dengan rumah yang ditinggali oleh laki-laki itu dulu. Oza sangat suka gaya minimalis, dan ruang tamu miliknya memberikan kesan sederhana yang menyimpan kemewahan dibaliknya, ada foto-foto Oza sejak beberapa tahun ke belakang juga kebersamaan laki-laki itu dengan Jenny.

Yang satunya tampan yang satunya cantik, mereka cocok sekali, apalagi Vinka juga tahu bahwa mereka berdua adalah orang baik. Jika demikian adanya, seharusnya Vinka memang ikhlas untuk menerima ini semua. Oza akan hidup bahagia dengan perempuan yang hebat seperti Jenny, dan karena itu semestinya dia turut bersuka cita. 

Ia kemudian memasuki sebuah kamar yang pintunya terbuka, melihat sekeliling, di mana tepatnya dia harus menyimpan barang ini. Hingga matanya tertuju pada bedside, ia membuka laci lemari kecil itu, namun baru saja hendak menyimpannya, mata Vinka terpaku pada sebuah buku di atas tumpukan kertas. Buku itu berwarna merah jambu, ada gambar Panda yang sudah memudar, tapi ia ingat apa itu.

Ya Vinka tidak mungkin salah, itu adalah buku diary yang pernah ia dan Oza beli di sebuah toko buku hampir sembilan tahun yang lalu. Saat itu sehabis pulang sekolah, Oza menjemputnya, lalu mereka mampir untuk membeli peralatan tulis.

“Bukunya lucu sekali ya Bang…” sahut Vinka ceria, banyangan itu tiba-tiba menyeruak di dalam ingatannya.

“Haha kamu suka? Biar nanti Abang belikan…” sahut Oza.

“Iya, tapi abang juga beli ya… biar kita kompakan..” ucapnya.

“Wah, tapi covernya terlalu kekanakkan, abang pilih yang lain saja ya,” tawar Oza yang saat itu sudah berusia 21 tahun, sementara Vinka masih berusia 14 tahun. 

“Nggak mau, pokoknya harus sama kayak Vinka..” rengeknya.

Akhirnya Oza mengalah, dia membeli buku diary yang sama, di buku itu banyak hal yang Vinka tulis, karena Oza yang mengajarinya untuk menumpahkan perasaan ke dalam kertas.

Dengan tangan bergetar Vinka meraih buku itu dan membacanya, mulai dari halaman pertama ;

5 Oktober 2008

Haha… ini mungkin lucu, aku punya buku diary yang sama dengan Vinka. Aku tidak tahu kenapa dia begitu imut dan menggemaskan, tentu karena dia masih sangat muda, masih kelas dua SMP. Kadang aku berkhayal, seandainya saja aku bisa lebih muda atau dia saja yang lebih tua. 

BAIKLAH, karena buku ini aku beli bersama Vinka, aku hanya akan menuliskan sesuatu di sini yang berhubungan dengan gadis itu. 


8 Oktober 2008

Vinka adalah anak yang berbakat, ku rasa dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik dan pintar di masa depan. Mungkin ada banyak pria yang akan tertarik kepadanya, dia punya wajah yang lembut, mata yang sayu, hidung mancung dan bibir tipis yang manis. 

Aku tahu dia tidak punya banyak teman di sekolah, dia sering bercerita bahwa dia malu menjadi anak terbuang, tinggal di Panti Asuhan, melihat kekerasan di keluarga angkatnya. 

Tapi Vinka, kamu sudah tinggal dengan Mami sekarang, dia perempuan yang mandiri dan tangguh. Aku yakin hidupmu akan jauh lebih baik dan Mami akan melimpahimu dengan cinta serta kasih sayang yang tulus.

Ah Vinka seandainya kamu tahu, aku pun sangat peduli kepadamu, aku harap kamu bisa merasakannya sehingga tidak selalu merasa sendiri dan kesepian lagi. 


12 November 2008

Hari ini Vinka menangis dan aku memeluknya, air matanya membasahi pundak dan menembus kaus yang kukenakan. Ah Vinka sayang, kenapa kamu sesedih ini? Dia bilang nilai Matematikanya jelek, dia takut Mami akan marah dan dia tidak dapat mempertahankan rangking satu.

“Nggak apa-apa Vin, semua orang pasti pernah punya nilai jelek, Abang juga pernah, nanti Abang ajari ya, supaya nilai Matematika kamu lebih bagus,” ucapku sambil mengusap kepalanya.

Untuk sesaat kami saling berpandangan, ada yang berdesir di dalam hatiku dan aku segera memalingkan wajahku. Tidak boleh, aku tidak boleh melakukan hal yang tidak pantas. 

Lihat selengkapnya