SEJUMLAH kasus di tengah masyarakat, yang bersumber dari perbedaan pendapat atau konflik kepentingan antara pemerintah dan rakyat, saya perhatikan sering kali bergeser substansinya. Misalnya, dari substansi “tanah” berubah menjadi persoalan “harga diri”.
Lingsem (Jawa) adalah suatu keadaan psikologis ketika seseorang mempertahankan sesuatu tidak lagi karena objektivitas suatu persoalan, karena fokus permasalahannya sudah menjadi bagian dari privacy harga dirinya.
Pergeseran itu bisa terjadi karena kadar subjektivitas pelakunya, tetapi dalam kasus-kasus yang saya maksudkan: ia lebih bersumber pada ketidaktepatan pendekatan yang dipakai untuk menyelesaikan persoalan yang ada.
Dalam situasi lingsem, orientasi para pelaku konflik bukan lagi target dan efektivitas penyelesaian masalah, melainkan subjektivitas rasa untuk tidak mau kalah atau untuk harus menang. Dan kalau soalnya sudah terpolarisasi menjadi kerangka kalah-menang, sesungguhnya peluang yang tersedia paling lebar adalah tampilnya kekuasaan.
Ini sangat rawan. Karena, kita langsung dapat membayangkan arti kekuasaan bagi suatu otoritas politik yang di sebelah tangannya tergenggam peralatan militer. Juga bisa kita bayangkan bahwa arti kekuasaan bagi pihak yang menggenggam otoritas adalah tidak lain kesediaan untuk mati, “bunuh diri”, atau setidak-tidaknya sikap “masokhisme”.
Itulah sebabnya saya pribadi diliputi rasa khawatir yang tinggi bila memperhatikan kasus yang terjadi di Kedung Ombo1, serta di wilayah-wilayah lain yang makin lama makin menjadi lingsem-nya tidak semendasar yang tersebut sebelumnya.
Jika situasi lingsem tak bisa dikurangi dan jika berlalunya waktu menyeret persoalan itu ke suatu momentum ketika upaya penyelesaian tak lagi bisa ditunda; “teori”-nya, yang sangat mungkin terjadi adalah lagi-lagi “misteri politik” ketika data tentang yang kalah dan yang menang, tak lagi bisa dilacak di lembar-lembar mana pun dari buku-buku sejarah.
Kalau sudah demikian, yang kalah bukan lagi hanya sejumlah orang. Yang kalah adalah kemanusiaan, kedewasaan, demokrasi, peradaban, dan nilai-nilai luhur lain yang semestinya menjadi tanda-tanda utama dari kehidupan manusia.