“SEJAK dulu di tempat kami tanaman kelapa sudah menjadi tanaman perdagangan utama rakyat. Namun anehnya, saat ini justru sangat berkurang perhatian orang terhadap peremajaan tanaman kelapa, sehingga lama-lama produksi kopra menurun. Saya heran. Semula saya menyangka para petani kopra ini pemalas, tetapi kemudian saya ketahui tidak ...,” tulis seorang sahabat dari Pulau Kei, Maluku, yang kemudian menuturkan hasil riset kecil-kecilan yang dilakukannya terhadap alasan sikap para petani di sana.
Kata “kopra” membuat saya terasing. Saya kenal kata itu terutama ketika belajar Ilmu Bumi di Sekolah Dasar. Selebihnya saya “buta huruf”. Apa itu kopra? Kalau kopral saya lebih kenal dan terkadang berurusan. Kalau keproh itu keadaan badan hasil mandi setahun sekali pada awal Suro. Kalau koprol itu kebiasaan saya sejak kecil sebagai olahragawan, juga ketika rakyat dilatih perang menjelang revolusi ‘65 dan saya ikut latihan tiarap dan teknik koprol.
Akan tetapi, mungkin kita bisa bicara dulu tentang “rakyat malas”.
Saya punya teman penyair yang langsung naik pitam kalau mendengar atau membaca tulisan yang menuduh rakyat kita malas. Terutama orang Jawa: itu yang paling sering dituduh malas. Utamanya lagi Jawa Tengah. Kerja memperbaiki jalan, datang pukul sepuluh pagi, kerja lamban beberapa jam, diselingi duduk berjongkok sambil merokok baas buus, meskipun kalau ditanya ternyata punya enam anak.
Para kaum progresif yang mendambakan efektivitas dan percepatan tinggi pembangunan selalu getol menuduh rakyat malas. Golongan intelektual juga memberi stabilo untuk menegaskan penilaian tentang kemalasan rakyat. Pokoknya, rakyat itu—di mata pendekar-pendekar modernisme—tampak malas, bodoh, statis, naif, dan tidak potensial terhadap kemajuan dan lepas landas.
Maka, televisi mengajari cara bercocok tanam atau mengurus apotek hidup. Pokoknya, ahli pertanian mengajari petani. Dan, koran-koran juga kalau membutuhkan pendapat tentang pertanian, tidak pernah mewawancarai petani karena hanya percaya kepada pakar pertanian. Kasihan rakyat, tubuh penuh lumpur, keringat terperas selaut, ratusan tahun lamanya, tidak pernah dianggap sebagai subjek pertanian. Pendek kata, dalam alam modernisasi ini rakyat tidak dipercayai, dianggap bodoh, tidak mampu, lemah, malas, dan sebagainya.
“Siapa omong bahwa rakyat kita malas?” penyair saya itu berang. “Sejak pukul satu lewat tengah malam, ibu-ibu di Srandakan, Bantul, sudah menyiapkan dagangannya yang kemudian mereka panggul di punggung lalu jalan kaki dua puluh kilometer ke Pasar Kota Yogya, berjualan sampai jauh siang untuk memperoleh seribu-dua ribu rupiah. Orang-orang perkasa semacam ini dituduh malas oleh orang-orang yang kerjanya duduk di kursi menghadapi meja, memangku sekretaris, dan mengetik satu jam dalam sehari dan memperoleh ratusan juta rupiah ....”