Tahun baru yang selalu dirayakan dengan penuh semangat oleh manusia kebanyakan nyatanya berlalu begitu saja. Bahkan terasa semakin mencekam dengan kenaikan harga yang membuat jeritan baru bagi rakyat–rakyat penjuru negeri. Teriakan demi teriakan sebenarnya telah terdengar dari gang-gang sempit dimana masyarakat yang merasakan sulitnya kehidupan. Orang-orang pintar yang duduk belajar di institusi pendidikan pun mulai bergerak dengan diskusi. Entah siapa yang awalnya menjadi penggeraknya. Bayu tidak mau tahu. Baginya makan tiga kali sehari sebenarnya sudah cukup. Tapi kali ini dia harus belajar hidup dengan pengurangi konsumsinya.
Bayu datang ke jantung negara dengan jutaan harapan untuk hidup yang lebih baik. Impian itu memang sering kali tak selaras dengan kenyataan. Dia menelan semuanya tanpa mengeluh. Lagian apa artinya hidup kalau tidak ada batu sandungan. Malah terasa tak seru. Sebagai seorang yang biasa bertarung di ring-ring tinju, rasa sakit yang menyerang tubuh sudah biasa. Namun terkadang pukulan kehidupan lebih sakit dari pukulan sang lawan.
Sarung berwarna biru yang melekat di tangannya, bayu lepaskan. Namun balutan kain putih berjenis vulpeau masih melindungi kedua tangan. Dia meletakkan sarung itu di rak khusus di mana sarung lain juga tampak di sana. Bayu melangkahkan kakinya mendekati jendela kecil yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Sejenak dia melihat ke sekeliling yang sepi. Tiada manusia di sana kecuali dirinya. Dua ring berukuran 6,10 meter persegi telah menjadi sahabatnya hampir dua tahun ini. Sepuluh samsak yang bergantungan di sisi kanan dan sisi kiri riang sering kali menjadi sasaran luapan emosinya.
Bayu menarik napas dengan perlahan sambil mengalihkan pandangannya ke langit yang gelap. Tidak ada satu bintang yang terlihat dari balik kaca jendela kecil hanya bayangan lampu – lampu saja yang menerangi. Setiap harinya selalu saja begitu. Terutama tiga bulan terakhir ini, sejak akhir tahun lalu, tidak ada pertandingan yang dia ikuti. Bahkan pairing dengan tim lawan atau pun club lain juga tidak ada. Ekonomi yang lesu nyatanya juga menghantam dunia tinju. Bayu beruntung Koko Alex mau menampungnya. Baik dalam bertahan di club miliknya dan juga tinggal di sebuah kamar di lantai atas banguanan Artez Boxing Camp yang juga didirikan oleh ko Alex. Setidaknya kebaikan Ko Alex mengurangi rasa pusing di kepalanya.
“BAYU… BAYU…”
Terdengar suara teriakan dari luar bangunan mengambil alih perhatian Bayu secepat kilat. Bayu bergerak menyeberangi ruangan besar Latihan itu menuju pintu utama yang memang telah dia kunci tiga puluh menit yang lalu saat semua orang telah meninggalkan gedung. Bayu memang membiarkan dirinya Latihan sendiri sebelum akhirnya beristirahat. Pintu utama dibuka.
Seorang pria muda dengan mengenakan celana jeans panjang dan kemeja berwarna pastel. Keren sekali namun sentuhan twist malah terlihat di alas kaki yang menggunakan sendal jepit. Pria itu adalah Emir, teman dan juga salah seorang yang tergabung dalam club asuhan Ko Alex sama seperti Bayu. Hanya saja Emir jarang sekali memperlihatkan dirinya di club. Kesibukannya sebagai mahasiswa dan juga pekerja hal apa pun membuatnya tidak fokus menekuni dunia olahraga.
“Ada apa kamu berteriak-teriak. Sungguh tidak sopan. Tidakkah kamu memikirkan tetangga di sekitar yang terganggu akan kebisingan kamu timbulkan.” Bayu menegur prilaku Emir yang dia pikir sangat tidak pantas dilakukan di waktu malam yang telah sepi.
“Maafkan aku. Aku harus berteriak seperti itu supaya kamu mendengar. Karena aku sudah dari sejuta tahun yang lalu berdiri di sini mengetuk dan memanggil-manggil namamu. Namun kamu tidak mendengarnya kan?” Sahut Emir yang tidak kalah dengan menyampaikan sanggahan yang berlebihan.
“Berlebihan. Sejuta tahun yang lalu, lah aku baru saja menutup pintu ini pada tiga puluh menit yang lalu.” Bayu menanggapi dengan tersenyum tipis. “Apa yang kamu inginkan? Ingin latihan?” Bayu melemparkan pertanyaan. “Jika ingin latihan, masuklah. Ya, walau pun ini sudah selesai jam latihannya.”
“Aku mau numpang nginap.” Ujar Emir tanpa ragu-ragu seraya tersenyum menyeringai.
“Jangan bilang kamu belum bayar indekost, makanya melakukan jurus menghilangkan diri seperti ini?”
Emir sontak tertawa terbahak-bahak menanggapi. Saat tawanya reda dia berkata “Kalau sudah tahu, jangan bertanya lagi.”
Bayu mengeleng-gelengkan kepalanya. Hal ini memang bukan hal yang pertama kali dia temui. Emir sudah sering sekali seperti itu. Beruntung dia juga bagian dari club jadi Ko Alex tak mempermasalahkan kebiasaannya.
“Aku belum dapat kiriman.”
“Iya, aku tahu. Sudah tidak perlu dijelaskan alasannya.”
Gerak ekonomi yang merosot dengan adanya kenaikan harga yang signifikan rasanya memang menyusahkan. Beruntung Emir masih bisa menunggu kiriman orang tuanya. Sedangkan dirinya, dia harus bekerja apa saja untuk memenuhi kebutuhan serta mengirimi kedua orang tuanya sedikit uang. Terkadang Emir juga ikut bekerja dengannya di sela – sela waktu kuliahnya. Kerja apa saja yang penting halal. Walau memang setiap bulannya Ko Alex ada memberi uang untuk upahnya sebagai penjaga dan pengurus club.