Seorang perempuan cantik berkulit putih bersih menuruni anak tangga lantai dua menuju lantai satu rumah sekaligus sebuah toko. Perempuan cantik itu mengenakan gaun panjang hingga di bawah lutut dengan motif bunga Sakura berwarna merah muda. Sederhana namun sangat menawan mata. Terlebih rambutnya dia biarkan tergerai dengan bando warna senada dengan gaunnya menghiasi bagian kepalanya. Semua itu menaikan level keindahan dari diri perempuan itu. Sebuah tas kulit kecil berwarna cokelat tua bertali panjang dia selempangkan di bahunya menambah kesempurnaannya penampilan.
“Siapa ini? Cantik sekali.” Suara riang seorang pria menegur saat kakinya menyentuh tiga anak tangga terbawah.
Ucapan dari pria itu sukses membuat bibir yang juga berwarna merah muda melengkungkan sebuah senyuman.
Pria yang hanya mengenakan celana panjang berbahan kain katun dan baju kaos lengan pendek meloncat dari kursinya di balik meja kasir demi menghampiri sang perempuan. Layaknya seorang pangeran yang menghampiri pujaannya. Sang pria mengulurkan tangan kanannya pada sang perempuan. “Take my hand.”
Tanpa sungkan perempuan cantik bernama Hana meraih tangan pria yang merupakan suaminya. “Terima kasih, Halim-ku.” Sahutnya dengan lembut.
Keduanya berjalan bersamaan masuk ke area toko yang menjual segala jenis kebutuhan primer mulai dari sembako, makanan instant, minuman hingga sendal jepit merek swallow pun ada. Seorang pekerja sedang melayani di depan toko tampak sedang mengambil kantong kresek hitam untuk membungkus bawang merah yang sudah ada dalam wadah di atas timbangan. Kemudian diberikan kepada seorang pelanggan yang ingin membeli bawang merah.
“Ada lagi ibu?” Tanya Bimo, pekerja setia yang sudah ada sejak toko itu pertama kali dibuka empat tahun yang lalu.
“Itu saja.” Pelanggan itu memberikan selembar uang lima ribu. “Pas ya, Mas.”
“Iya, Ibu.” Angguk Bimo seraya menerima uang tersebut. “Terima kasih, ibu.”
Ibu pelanggan pergi. Bimo menghampiri meja kasir dan menaruh uang itu di dalam laci. Dia menatap perempuan cantik dan pria yang berjalan menuju menghampiri Bimo.
“Oh ya Bimo, tadi Pak Haji Imran telepon.” Hana memulai pembicaraan dengan Bimo. “Beliau minta diantarin beras sekarung, gula lima kilo, indomie sekotak, sama telur, rinso, ada catatannya.” Tangan Hana bergerak mengambil selembar kertas yang sebelumnya dia selipkan di bawah pesawat telepon. “Beliau bilang sekitar jam satu-an lah bisa ke rumahnya.” Hana memberikan catatan itu pada Bimo.”
Bimo menerima secarik kertas itu sekilas melirik ke deretan tulisan di sana. “Iya Ci. Jam berapa beliau ada di rumah?”
“Sekitar jam satu-an. Jangan lupa sekalian bawa notanya juga. Beliau mintanya begitu.”
“Iya Ci.” Angguknya.
“Bim, atlet tinju itu sepertinya tidak terlihat beberapa hari ini. Kamu tahu kemana dia?” Hana melemparkan pertanyaan lain.
Bimo diam sejenak mengingat – ingat sesuatu. “Sepertinya udah semingguan ini memang tidak terlihat, Ci. Saya juga tidak mendengar kabarnya. Mungkin dia lagi sibuk di club.” Sahut Bimo seadanya.