Bimo memarkirkan sebuah pick up di depan toko yang bertajuk Sumber Makmur. Bimo melompat turun dari bangkunya dibalik setir. Pria dengan tubuh yang bugar itu melangkah menuju tumpukan karung dan kantong – kantong plastik hitam yang telah di kemas, ada juga beberapa kotak di sana. Setelah yakin dengan semua barang yang dia kemaskan, Bimo kembali menuju pick up yang yang terparkir beberapa langkah darinya.
Halim sendiri yang melihat kehadiran Bimo keluar dari tokonya dengan beberapa lembar kertas di tangannya. Dia menghampiri Bimo yang mulai membuka bagian belakang dari pick up. “Banyak juga ya pesanan hari ini. Kamu yakin membawanya sendiri?” Tanya Halim yang tidak tega melihat karyawannya bekerja keras sendiri.
“Awal bulan, Ko. Tadi Cici bilang, dia ada menyampaikan pada Bayu untuk bantu saya di sini. Tapi Bayu belum kelihatan juga sampai saat ini.”
“Mungkin dia sibuk juga di tempatnya Ko Alex. Lah dia kan pekerja di Ko Alex bukan di tempat kita. Di sini dia kerja buat tambahan saja.”
“Sepertinya begitu, Ko. Ya sudah, biar saya saja.”
“Kamu yakin? Begini saja, kita bareng saja. Barang – barang yang harus diantarkan ini lumayan banyak, dan juga ke beberapa tempat yang berbeda. Lagian masih ada Cici yang bisa jaga toko.”
“Bagaimana baiknya saja, Ko.” Angguk Bimo setuju.
Bimo segera bergerak dengan meraih karung beras dengan berat lima puluh kilo dan memindahkannya ke atas bak pick up. Begitu juga dengan Halim yang dengan cekatan melipat kertas – kertas ditangan, kemudian menyelipkannya di saku celana. Tangan Halim juga mulai membantu Bimo dengan mengangkat sebuah kotak yang berukuran lumayan besar. Dua orang pria itu bahu-bahu bekerja sama.
Ketika beberapa barang yang bertumpuk mulai berkurang di teras ruko, mata Bimo menangkap sosok Bayu yang berlari di antara jejeran toko – toko. Bimo yang baru saja meletakkan sekantong plastik hitam besar di bak pick up, menghentikan aktifitasnya. Dia menunjuk kearah Bayu yang berlari.
“Ko, itu Bayu.”
Halim yang juga akan mengambil sebuah kotak lagi menghentikan aktifitasnya. Dia melirik kearah yang ditunjuk oleh Bimo. Benar saja tampak Bayu di sana.
Tak membutuhkan waktu yang lama, Bayu dengan tubuh atletis khas para atlet berhasil tiba menghampiri Bimo dan Halim. Pemuda itu sama sekali tak kelihatan kelelahan. Napasnya beraturan seperti biasa.
“Beda memang kalau atlet.” Celetuk Halim. “Berlari pun tidak membuat dirinya ngos-ngosan.”
Bayu yang tegap hanya tersenyum mendengarnya. “Ah tidak juga, Ko. Ini karena jaraknya saja lumayan dekat. Kalau lari marathon juga bakal ngap-ngapan napas saya.”
“Kalau kamu ngap-ngapan, saya apa? Pingsan mungkin.” Bimo melemparkan kalimat candaan yang disambut dengan tertawa oleh Bayu dan Halim
“Ah, abang ada-ada aja. Oh ya saya ada beberapa urusan di tempat Ko Alex, sehingga baru bisa ke sini.”
“Apa kabar Ko Alex? Saya mendengar Mamanya sakit.”