Asap tipis bercampur aroma rempah yang berbaur dengan aneka jenis bahan dari sayur hingga daging terasa kental menusuk indera penciuman. Saat desiran minyak yang bertemu dengan percikan air dari sawi terdengar hingga lantai satu. Bawang putih dan irisan cabai pekat membuat Sebagian hidung bersin tiba-tiba. Untung saja sang pemasak sudah terbiasa. Suara adukkan spatula yang bertalu dengan kuali terdengar merdu bagi perut yang telah memperdengarkan gerderangnya minta diisi. Tak lama tumisan sawi itu pun dipindahkan ke dalam wadah mangkok berwarna putih dengan ayam jago terlukis di bagian terluarnya.
Suara Langkah kaki bergerak menuju lantai dua. Langkah itu semakin jelas memasuki dapur yang sesak dengan wewangian yang nikmat. Halim adalah sang pemilik langkah kaki bergerak mendekati kompor dengan panci di atasnya. Hana yang barusan menaruh tumisan sawi beraroma pedas di meja menyambut kedatangan Halim dengan tersenyum. Halim dengan segera membuka panci, melihat soup yang baru saja mendidih.
“Wah kelihatannya enak sekali.” Ujar Halim dengan mata yang penuh semangat.
“Iya, semoga saja Zey akan menyukainya.” Angguk Hana menatap makanan yang berada di atas meja yang telah selesai dia masak.
“Tentu saja, sayang.” Sahut Halim menyakinkan. “Percaya padaku seratus persen Zey pasti menyukainya.”
“Kenapa kamu bisa seyakin itu? Memang kamu paham seleranya Zey?”
Halim melipat tangannya dan berkata, “Karena lidah tidak pernah bohong.”
“Lidah itu tidak bertulang, jadi fleksible untuk berbohong.” Sambung Hana dengan senyum jahilnya.
Halim menganggukkan kepalanya. “Kamu benar, tapi tidak mudah bagi lidah untuk berbohong kalau masalah rasa.” Halim menutup kalimatnya dengan mengedipkan matanya pada Hana.
Hana tertawa karena hal itu. “Kamu ya, ada-ada saja. Oh ya, mau nyobain?”
“Nanti saja, udah pasti enak kok. Aku mau mandi dulu, sekalian siap-siap sebelum Zey tiba.”
Hana menganggukkan kepalanya. “Baiklah. Oh ya, Bimo sudah pulang mengantar barang – barang? Terus apa Bayu ada datang tadi?”
“Iya, sayang.” Sahut Hana sebelum melangkah pergi meninggakan dapur. “Tadi Bayu datang saat kami berkemas sebelum Bimo mengantarkan pesanan pelanggan, dan mereka pergi bersama. Sebelum aku naik ke atas Bimo dan Bayu telah kembali. Mereka masih di bawah jaga toko.”
Hana menganggukkan kepalanya. Kemudian dia menyudahi aktifitas memasaknya. Hana mematikan komper. Berikutnya dia menata meja makan dengan menggantikan taplak meja yang baru berwarna merah muda dan tak lupa sebuah vas bunga berwarna cokelat yang berukir naga menghiasi tengah meja tanpa meninggalkan bunga mawar merah segar yang sengaja dia beli tadi siang. Beberapa makanan yang telah dihidangkan sedemikian rupa dengan wadah yang tak kalah istimewa telah tertata rapi. Hana memperhatikan setiap sudut rumahnya. Dia bergerak mengambil pewangi dari dalam lemari. Wangian dengan aroma mawar itu dia letakkan di dekat televisi.
Sore itu merupakan sore yang istimewa untuk Hana. Seorang teman lama mengabari akan mengunjungi rumahnya. Teman sedari kecil saat sama-sama bermain petak umpet. Teman ada di setiap jenjang pendidikan mulai dari level dasar hingga menengah di sebuah kabupaten dekat dengan perbatasan Malaysia dan Indonesia. Di sebuah negeri yang subur itu hubungan pertemanan mereka tumbuh tanpa adanya pertikaian. Namun masa dewasa datang memisahkan sahabat-sahabat, bukan karena tak punya masa untuk bersama hanya jalan hidup yang memaksa untuk tidak sering lagi bertemu. Kabar tentang kedatangan Zey menjadi hal yang mengembirakan bagi Hana. Bernostalgia bersama teman lama itu hal yang di tunggu.
Hana berjalan masuk ke kamarnya setelah memastikan semuanya siap. Dia mengambil salah satu gaun terbaiknya dan mengenakannya. Dia juga memilihkan pakaian terbaik sebuah kemeja berwarna biru langit senada dengan warna dress-nya untuk Halim kenakan nantinya. Tak lupa dia juga mengambil celana panjang hitam. Hana tersenyum mendengar kujuran air dari kamar mandi di dalam kamarnya. Halim memang sedang mandi. Sejak menikah dengannya, Hana semakin merasa sosok Halim merupakan lelaki idaman bagi semua Wanita. Dia dengan mudah menerima semua teman-teman Hana dengan tangan terbuka.
Hana mendekati pintu kamar mandi dan mengetuk pintunya perlahan. “Sayang, saya sudah siapkan pakaian untukmu, dipakai ya.” Ujar Hana.
Suara air terdengar berhenti sejenak. “Iya sayang.” Sahut Halim dari balik pintu. “Terima kasih ya.”
“Iya.” Hana menjawab singkat sambil tersenyum ya walau pun Halim tidak melihat wajah cantiknya saat itu.
Hana segera keluar dari kamarnya setelah membetulkan riasan dan pakaiannya. Dia menuruni anak tangga menuju lantai satu yang merupakan tempat usahanya bersama Halim. Dia menemui Bimo yang sedang duduk sambil mengobrol santai dengan Bayu. Hana tersenyum melihat Bayu menepati janjinya untuk datang.
Bimo yang sejak tadi bersemangat dengan telepon genggam meminjamnya dari Bayu. Dia yang biasanya melihat sekilas punya Halim, ingin merasakan sensasi memeganng benda mungil itu. Alhasil saat toko sudah cukup sepi dari pembeli, dan mereka punya waktu untuk bersantai. Bimo tidak mau kehilangan kesempatan untuk mencobanya.
Telepon genggam yang Bayu simpan di sakunya telah berada di tangan Bimo. Mata Bimo pun tampak berbinar – binar melihatnya. Sesekali dia menatap Bayu dan berkata, “Kamu beruntung sekali.” Bayu tidak menghitung entah berapa kali kata itu keluar dari mulut Bimo.
Bayu melihat tingkah Bimo dengan tersenyum. Tidak menyangka benda sekecil itu bisa membuat orang merasa senang. Bimo yang sama sekali belum menyentuh tombol yang ada. Dia malah sibuk membolak balik benda kecil itu. Senyum Bayu semakin lebar merasa sedang melihat dirinya sendiri saat Ko Alex memberikan ponsel itu padanya. Mirip sekali.
“Bayu, kapan datang?” Suara lembut Hana mengejutkan dia dan Bimo.
Rasa girang dan bersemangat membuat Bayu dan Bimo tidak mendengar langkah kaki dari Hana yang mendekati mereka. Benda kecil dengan antenna itu hampir saja tergelincir dari telapak tangan Bimo. Beruntung dia dengan cekatan langsung mengenggamnya. Keduanya mengangkat wajah menatap kehadiran Hana.
“Tadi siang, Ci” Sahut Bayu seadanya.
“Kalian serius banget sampai kaget begitu.” Komentar Hana yang memperhatikan ekspresi dua orang di depannya.
“Iya nih, Ci. Kami, eh saya sih sedang ngeliat ini.” Bimo menunjukkan ponsel yang berada digengamannya.
“Eh, kalian dapat telepon gengam itu dari mana?” Hana juga tampak terkejut.
“Itu diberikan oleh Ko Alex, Ci. Koko bilang biar lebih mudah berkomunikasi. Karena sekarang ini Koko pulang kampung karena mamanya sakit.” Lagi – lagi Bayu menjelaskan hal yang sama. “Oh ya, nomer toko cici atau koko berapa, atau nomer telepon toko ini deh. Biar aku simpan.” Bayu tidak mau ketinggalan momentum.
Bimo yang masih memegang ponsel milik Bayu buka suara. “Entar aku catatkan nomer toko. Kamu juga kasiin nomer kamu.”
Hana juga menganggukkann kepala. “Iya sebaiknya kita saling mencatat nomer satu sama lain. Supaya enak juga komunikasinya.”
Sementara itu sebuah motor BSA berhenti di depan toko ‘Sumber Makmur’ seorang laki – laki yang duduk di belakang pengendara turun dari motor. Dia melepaskan helmet yang dia gunakan, dan memberikan pada pria tegap yang memegang stang. Tangan kanan pria itu meraih pelindung kepala.
“Apakah abang yakin ini toko milik teman abang?” Tanyanya pada pria yang baru turun.
Pria itu melihat sekitar dan menganggukkan kepalanya. “Iya sepertinya benar. Nama tokonya juga benar.” Pria itu menujuk kearah plang yang terpasang di depan toko.