Matahari telah bergerak menuju sisi barat bumi. Namun club masih saja terlihat sepi. Hanya tiga orang pelatih yang datang. Tidak ada terlihat anak – anak yang biasa datang untuk berlatih. Dua orang pelatih memilih duduk bersantai sambil mengobrol, sedangkan seorang pelatih yang sibuk berlatih dengan meninju – ninju samsak gantung dengan tinggi 150 meter berwarna hitam dengan tangan kosong. Namun dia berhenti. Matanya menatap satu titik. Dia meraih botol minuman yang di taruh di lantai ring.
Cairan yang keluar dari tubuhnya dia gantikan dengan meminum air dari botol. Pandangan pelatih itu terus menatap Bayu dengan seksama. Di sudut lain Bayu sedang melakukan beberapa aktifitas sekaligus. Posisi tubuh Bayu menghadap ke lantai. Dia melakukan push up sebanyak lima kali. Kemudian dia mendiamkan tubuhnya di satu posisi yang sama atau lebih dikenal dengan melakukan plank dalam dihitungan satu sampai lima. Setelah itu dia menganti posisi tuhuhnya untuk melakukan side plank ke kiri dan ke kanan masih sama dalam hitungan satu sampai lima. Aktifitas itu dia lakukan secara berulang – ulang.
Pelatih itu diam sejenak, kemudian dia meletakkan kembali botolnya di tempat yang sama di lantai ring. Sang pelatih yang mengenakan baju tanpa lengan berwarna biru khas para atlet dengan tulisan ‘UMAR’ dibagian dada sebelah kiri, memilih pergi. Dia memilih meninggalkan Bayu lanjutkan aktifitasnya. Dia berjalan melewati lobby melihat dua orang temannya yang kini sudah bersiap akan pergi meninggalkan gedung.
“Udah mau pulang?” Sapanya
“Iya.” Sahut keduanya kompak.
Dia hanya menganggukkan kepalanya dan langsung berlalu menuju sisi lain gedung dimana ada sebuah lemari besar di sana. Dia membuka salah satu pintu lemari. Dari situ dia mengambil sebuah botol air mineral kemasan. Sang pelatih melangkah kembali dengan segera ke tempat dimana dia meninggalkan botol. Dia berjalan menuju Bayu yang masih melakukan latihan seperti yang sebelumnya dia lakukan.
Sang pelatih menaruh botol air mineral di depan wajah Bayu yang saat itu dalam posisi side plank yang menghadap arah kiri. Bayu diam saja dan terus melanjutkan latihannya. Pelatih memilih berdiri didekatnya. Dia menunggu reaksi. Setelah selesai merampungkan hitungan kelima, Bayu bangkit dan berdiri. Dengan tubuhnya yang atletis, Bayu membungkuk mengambil botol air yang telah diletakkan oleh sang pelatih.
Bayu memberikan botol itu ke Pelatih yang langsung mendapatkan gelengan kepada dari Pria yang berusia lebih tua darinya. Sang pelatih memberikan kode dengan tangannya bahwa botol itu untuk Bayu. Bayu tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia memutar botol yang tersegel itu dengan mudah. Bayu menenggak botol itu dan meminum seteguk dua teguk air dari sana.
“Ada apa, Pak Umar?” Tanya Bayu sambil menutup botol minuman itu.
“Kemana Emir?” Pelatih itu membalas pertanyaan Bayu dengan pertanyaan lain.
Bayu dengan wajah sedihnya menundukkan kepalanya. Kemudian dia mengelengkan kepalanya. “Maaf Pak saya tidak tahu keberadaan Emir sekarang.”
Pak Umar, sang pelatih menganggukkan kepalanya. “Kamu dan Emir masuk ke sini dalam waktu bersamaan. “Semua pelatih di sini berharap banyak pada Emir. Dia punya kemampuan yang bagus. Pukulan hooknya sangat bagus. Tapi kamu, hanya Ko Alex yang percaya pada kemampuanmu yang biasa saja.” Pak Umar berkomentar dengan membandingkan Emir dan Bayu.
Namun Bayu diam saja. Dia juga tidak merasa direndahkan dengan kalimat yang sampaikan pelatih itu padanya. Dari lubuk hati terdalam pun Bayu mengagumi kemampuan Emir. Dia menyayangi Emir sebagai rekan dan saudara.
“Terus terang saja, saya tidak sedang membandingkan kalian. Karena olahraga itu tentang kedisiplinan. Emir, entah berapa lama dia tidak datang.” Pelatih itu mengelengkan kepalanya. “Sulit sekali masa depan kalau altet seperti itu.”
Bayu diam sejenak. “Emir pasti punya urusan yang lebih penting dari berlatih.” Bayu membela sahabatnya itu.
Pelatih itu menganggukkan kepalanya. “Iya mungkin saja.” Dia berjalan selangkah menjauh dari Bayu. Kemudian dia membalikkan tubuhnya membelakangai Bayu. Tatapannya turus menatap Ring tinju di depannya. “Sudah lama ring ini tidak digunakan.” Pak Umar melirik kearah Bayu sekilas. “Ayo lawan saya.”
“Tunggu dulu Pak.” Bayu coba menahan niat Pak Umar.
Hanya saja semua itu telah terlambat. Pak Umar sudah melompat ke atas ring dan masuk melewati tiga tali pembatas. Dia kini berdiri di tengah – tengah ring. Siap menunggu Bayu sebagai lawannya.
“Ambil sarungnya.” Perintah Pelatih pada Bayu yang masih berdiri terpaku.
Bayu yang tidak punya pilihan lain hanya menganggukkan kepalanya. Dia beranjak menuju lemari dimana perlengkapan tinju ditaruh dengan rapi. Dia mengambil semua yang dibutuhkan mulai dari sarung tangan, pelindung gigi, serta dua helai hand-wraps warna putih. Bayu naik ke atas gelanggang dan memberikan sarung tangan dan pelindung gigi kepada Pak Umar. Pelatih yang juga mantan atlet tinju sebelum memutuskan untuk pensiun mulai menyiapkan dirinya.