Sebelum adzan berkumandang Bayu telah bangun. Dia sudah membersihkan dirinya dan bersiap dengan pakaian bersih dan juga sarung serta peci hitam miliknya. Bayu melangkah perlahan meninggalkan Emir yang masih terlelap tidur. Bayu yang semakin waspada kembali memeriksa kondisi di sekitar lantai dua dengan seksama. Kemudian dia turun menuju lantai satu di sana dia juga memeriksa setiap sudut dengan teliti.
Jendela kecil yang terbuka kemarin masih dalam kondisi rapat tertutup setelah dia memperbaikinya semalam. Bayu masih belum tahu apakah Emir masuk ke dalam gedung melalui jendela itu. Tidak ada pembicaraan diantara mereka semalam. Bayu membiarkan Emir beristirahat dengan nyaman. Dia juga tidak ingin memaksa Emir untuk bicara. Emir dalam keadaan aman saja cukup baginya.
Bayu keluar dari satu – satunya pintu keluar dari gedung itu. Tak lupa Bayu kembali mengunci pintu itu. Pandangannya kembali dia lemparkan ke seluruh halaman gedung yang memang sunyi. Namun Bayu tepat waspada dia tidak mau terkecoh oleh suasana yang kelihatan tenang di permukaan.
Gembok besar dari rantai pintu pagar masih terkunci rapat. Namun posisi gembok yang selalu mengarah ke dalam, tampak bergesek ke kiri. Bayu semakin yakin memang ada yang sedang mengawasi dia atau pun memang gedung club-nya. Bayu keluar dari pagar dengan kembali menguncinya.
Kaki Bayu mulai melangkah menjauh dari pagar tepat dengan suara microphone yang dihidupkan. Dibalik gelapnya subuh hari, berbekal penerang dari rumah penduduk di tinggal di sekitar situ Bayu berjalan dengan yakin. Adzan yang mulai terdengar menemani perjalanan Bayu menuju masjid.
*
Creak…
Pintu kamar terbuka. Emir yang dalam keadaan di atas sejadah dan mengangkat tangannya setinggi dada sontak menoleh. Setelah melihat siapa yang membuka pintu dia kembali larut dalam doanya. Hingga akhirnya dia menyudahi dengan mengusap telapak tangan ke wajahnya. Emir bangkit melirik Bayu yang duduk di lantai dekat ujung tempat tidurnya. Dia segera melipat sejadah yang dia gunakan untuk beribadah kemudian menaruhnya di sandaran kursi.
“Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” Tanya Emir yang duduk di dekat Bayu.
Bayu tersenyum. “Aku tahu kamu akan bangun dengan sendirinya. Bukankah saat ketakutan dan sulit tidak ada tempat yang aman untuk bersandar selain menghadap pencipta.”
Emir ikut menyunging senyum. “Kamu benar.” Angguknya.
Kedua sahabat itu terdiam menatap dinding dengan cat-nya yang sangat pudar. Mereka dengan pikiran masing – masing tidak ingin memulai bicara.
Emir menepuk pundak Bayu. “Lihat deh dinding itu.” Emir menunjukkan kearah dinding. “Rasanya akan sangat menyenangkan bila itu adalah pemandangan dari sebuah desa dengan pepohonan hjau dan air sungai yang mengalir. Tapi nyatanya hanya cat yang pudar.”
Bayu yang ikut menatap dinding angkat bicara. “Pergilah ke sana, ke sebuah desa yang subur dan menenangkan. Kadang tidak semua impian dapat terwujud di sesaknya ibu kota. Bukankan bumi Tuhan itu sama saja, manusia lah yang membuatnya berbeda.”
“Tidak, Bay. Manusia itu yang sama saja. Dimana – mana sama saja. Di setiap jaman. Di setiap dekade.” Ujar Emir yang masih menatap dinding.
“Bagaimana denganmu? Manausia yang mana sama dengan dirimu?” Bayu mengajukan pertanyaan.
Emir diam sejenak. Kemudian dengan menghela napas panjang, dia berkata. “Ada manusia yang sama denganku. Mereka pernah hidup dulu di setiap pergantian setiap zaman, mulai dari dia yang ada di revolusi Prancis hingga manusia yang bersama Pangeran Diponogoro.”
“Siapa dia? Siapa nama orang – orang itu?”
Emir mengelengkan kepalanya. “Entahlah. Tidak ada yang mencatat nama mereka. Tapi peran mereka sangat berarti.”
“Mir, sejarah itu bukan mencatat kebenaran. Tapi yang benar sejarah itu dicatat oleh orang yang menang. Jadi siapa yang mencatat dia yang mati perang bersama Napoleon Bonaparte atau pun mereka yang perang gerilya bersama Jenderal Sudirman. Untuk Pengeran Diponogoro saja, beliau kalah. Dia tidak pernah jadi pemenang yang bahkan mendapatkan olok – olokan dari Pieneman yang melukis betapa menyedihkan keadaan Pangeran kita yang berani itu terlihat nelangsa. Apalagi judul dari lukisan itu benar – benar melukai hati, dengan narasi penyerahan Pangeran Diponogoro kepada Jenderal De Kock. Apalagi dirimu siapa yang akan mengingatmu?"