Sama seperti yang Bayu katakan sebelumnya pada Cepi. Dia akan mendatang kos Emir saat sore hari. Hal itu benar benar dia lakukan. Sore dia menyelusuri area dimana kos Emir berada. Setelah siang dari area sebelah dan masuk dari jalan alternatif. Sorenya dia kembali ke sana melalui jalan normal.
Dua laki – laki dengan pakaian serba hitam yang bersama Cepi dan naik angkot bersama Bayu tampak sudah berada di depan kos Emir. Bayu yang berada di jarak beberapa meter dari mereka. Bayu yang kini mengenakan baju yang berbeda dari sebelumnya dan juga memakai topi baseball sepertinya tidak mereka kenali. Saat Bayu menatap lurus melihat kearah mereka, kelihatan keduanya sedang cemas.
Suara langkah kaki yang berlari datang dari belakang Bayu. Dia melewati begitu saja Bayu yang berjalan dengan langkah kaki perlahan dan penuh waspada. Lagi – lagi sosok itu adalah Cepi. Keduanya menyambut kedatangan Cepi dengan wajah cemas.
“Kami kehilangan dia.” Ujar teman Cepi yang diangkot sempat protes pada ulah supir. “Aku gila dengan musik supir yang terlalu keras.”
“Terus apa hubungannya?” Cepi tidak mengerti.
“Karena dia memejamkan matanya, kami pikir aman – aman saja. Namun ketika kami membuka mata dia sudah menghilang. Padahal kami membuka mata kami setiap angkot itu berhenti.” Ujar teman yang lainnya.
“Ah sudah jangan lagi ada alasan.” Cepi kelihatan emosi. “Apa dia sudah tiba di sini?”
“Kami sudah berada di sini dari setengah jam yang lalu, tapi dia belum muncul juga atau mungkin dia sudah pulang.” Sahut yang tadi berteriak di angkot.
“Tidak mungkin. Dia tadi bilang sore akan ke sini.”
Bayu yang sedari tadi memperlambat laju langkah kakinya dapat mendengar semua yang dibicarakan ketiga orang. Dia tersenyum dan melanjutkan langkah kakinya bergerak menuju ketiganya.
“Cepi.” Panggil Bayu dengan santai sama dengan seperti sebelumnya.
Ketiga sekawan itu menoleh. Bedanya dengan tadi wajah mereka sangat terlihat tidak bersahabat.
“Eh abang – abang yang tadi di angkot kan?” Bayu menunjuk kearah dua teman Cepi.
Keduanya hanya diam dan tersenyum tipis. Begitu juga dengan reaksi Cepi.
“Kalian temanan ya?”
“Iya.” Sahut Cepi ketus.
“Mumpung di sini, ayo kita nemuin Emir.” Bayu segera mengalihkan pandangan matanya ke balik gerbang pagar besi dari kos yang terbuka lebar. “Itu kayaknya ada bapak kos deh.” Bayu langsung berlalu dari hadapan ketiganya dan masuk ke pekarangan kos.
Di teras bangunan seperti rumah biasa tampak seorang laki – laki berusia lima puluh tahunan duduk di teras rumahnya sambil membaca koran. Memang kos Emir ada di bagian belakang dari rumah sang pria. Jadi bagian depannya adalah kediaman bapak kos bersama keluarganya.
“Sore, Pak.” Sapa Bayu yang menghampiri bapak kos.
Langkah kaki Bayu juga diikuti oleh Cepi dan dua orang yang bersamanya. Mereka berdiri di belakang Bayu.
“Sore.” Bapak pos menurunkan koran dari hadapannya. Dia melemparkan senyum ramah pada tamu yang datang. “Oh ada nak Bayu. Sudah lama tidak main ke sini.”
Bayu menganggukkan kepalanya. “Ngih Pak.” Dia mendekat bapak itu dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan mencium pungung tangan kanann sang bapak. Adab yang selalu diajarkan oleh orang tuanya bila bertemu seseorang yang memiliki usia lebih tua darinya.
Wajah pak kos sangat senang mendapat perlakukan penuh sopan santun dari Bayu. Setelah tangan Bayu lepas dari tangannya. Dia segera melipat korannya dan mempersilakan Bayu untuk duduk di kursi satunya lagi yang berada di sebelah meja yang memisahkan dua kursi. “Duduk dulu nak.”
“Terima kasih, Pak.” Bayu dengan sopannya menunduk melewati bapak kos kemudian duduk di kursi yang kosong. “Bapak apa kabarnya?”
“Alhamdulillah berkah dari gusti Allah bapak sehat – sehat saja. Nak, Bayu bagaimana? Sehat juga kan?”
“Alhamdulillah pak.”
“Sudah cukup basa – basinya. Basi tau.” Cepi langsung memotong. “Aku ini capek ya, jadi sekarang katakan dimana Emir?”
“Cepi, tidak boleh seperti itu sama orang tua.” Bayu menegurnya.