Gelanggang Di Bulan Mei

Lady Mia Hasneni
Chapter #12

Dua Belas

“MAHASISWA TERTEMBAK…”

Terdengar teriakan warga dari balik pagar beton gedung boxing camp. Para pelatih yang masih memperbaiki barang – barang yang dirusak oleh Cepi bersama gerombolannya. Suara – suara teriakan dari luar membuat siapa pun yang mendengarnya menjadi terpegaruh. Beberapa orang yang ada di gedung keluar. Begitu pula dengan Pak Umar.

Hari – hari di bulan mei memang terasa sangat kelam dan mencekam. Tidak ada hari tanpa kekerasan dan rasa protes. Sepanjang pemerintahan Presiden Suharto, Bayu merasa aman – aman saja. Namun semuanya berubah. Rasa aman itu menghilang begitu saja bagai panas setahun dihapus hujan sehari.

Bayu yang luka – luka di tubuhnya masih belum sembuh memutuskan untuk menaiki tangga. Dia menuju kamarnya. Bayu yang memegang erat gagang pintu kamarnya memutuskan untuk mengunci dirinya. Dia masih melihat bayangan Emir yang terduduk di lantai berbicara padanya. Air mata Bayu turun. Tubuhnya bergetar. Hingga akhirnya ambruk di atas datarnya lantai.

Rasa ketakukan menghampiri Bayu dengan sangat hebat. Dia dihantui dengan pikiran – pikiran yang entah dari mana munculnya. Berita penembakan yang mempengaruhi kejiwaannya. Bayangan Emir yang dia lihat bangkit dengan luka tembakan di dadanya mendekati Bayu.

“Bayu, tolong aku.” Ucapan bayangan Emir dengan lirih.

Tangan kanan Bayu bergerak dengan cepat mendarat di pipinya yang masih terluka. Sakit yang menyerang fisiknya membuat kesadaran Bayu kembali. Bayu bangkit dan berdiri. Dia membuka jendela kamarnya selebar – lebarnya membiarkan udara masuk dengan leluasa. Bayu menghirup oksigen – oksigen itu dengan dadanya yang sesak.

“Astaghfirullah…”

“Astaghfirullah…”

“Astaghfirullah…”

Entah beberapa kali sudah Bayu kembali mengulang – ngulang kalimat istighfar. Bayu berusaha mengembalikan kewarasan dirinya. Matanya melihat beberapa orang warga yang berlari panik. Mungkin ada anak, saudara, mereka dalam aksi demo menuntut hak sebagai warga negera dari sebuah negeri yang memegang teguh pada ideologi Pancasila.

Berita penembakan itu tentu juga mengangguk ketenangan mereka. Setelah sebelumnya digempur dengan penculikan. Ketidakhadiran orang yang disayang sudah menjadi pukulan tersendiri. Apalagi bila keberadaan dan keadaan mereka tidak diketahui. Rasa sesak itu kembali menghujam keras di dada Bayu.

“Allah, tolong jaga Emir.” Bisiknya.

 

**

 

Entah siapa yang memulai mengobarkan api kebencian itu. Memperkeruh air yang jernih nan tenang. Jiwa – jiwa murni yang melakukan aksi tercederai dengan aksi penyusup yang entah siapa mereka. Suara tulus untuk kemajuan negeri hancur bersama api – api yang berkobar besar di kawasan pergerakan ekonomi masyarakat. Gelombang manusia menyerang orang – orang etnis tiong hoa di tempat mereka mengais rejeki demi sesuap nasi.

Bagai dirasuki setan lapar orang – orang yang yang entah dari mana mulai menjarah apa yang mereka inginkan. Menjarah terus tanpa merasa kenyang. Setan lapar itu pula membuat mereka tanpa ampun menyerang siapa saja yang coba menghentikan. Dengan mata marah penuh amarah entah apa alasannya menerang membabi buta. Dari pria mau pun wanita dihadapan mata dibabat tanpa ampun.

Suara jeritan wanita yang dipaksa memuaskan rasa lapar yang tak juga berkurang itu. Tenaga penyerang yang barbar itu begitu kuat laki – laki yang mencoba melindungi wanitanya jadi bulan-bulanan hingga malaikat harus melepaskan roh dari raga untuk mengurangi rasa sakit yang mendera tubuh.

Sementara itu di gedung boxing club Bayu yang kondisinya sudah mulai membaik kembali melatih kekuatan kakinya yang masih belum bisa berjalan sempurna. Bayu terus mengerak – gerakkan kaki sambil sesekali memijatnya bila sudah terlalu sakit. Selain itu dia juga mulai kembali melatih kekuatan tubuhnya dengan push up hingga sit up. Sempat mendapat teguran dari Pak Umar untuk tidak terlalu memaksakan diri, tapi Bayu tidak mengubrisnya. Dia tahu tubuhnya harus kembali bugar agar kuat melindungi dirinya.

“BAYU…” Pak Umar berteriak memanggil nama Bayu.

Bayu yang sedang melakukan perengangan pada kakinya menjatuhkan kaki ke lantai. Perhatiannya langsung teralih pada Pak Umar yang memanggil namanya sambil berlari menuju dimana Bayu berada.

“Ada apa, Pak Umar?” Tanya Bayu merespon panggilan itu.

“Ko Alex menelponmu.”

Bayu mengerutkan dahinya. Dia segera menarik kakinya bergerak mendekati sebuah rak yang dimana Bayu menaruh telepon genggamnya di sana. Bayu dengan segera memeriksa ponselnya. Benar saja ada banyak panggilan dari Ko Alex yang tidak terdengar oleh dirinya. Dia melihat benda mungilnya dalam keadaan ‘silent’. Bayu dengan segera mengubah pengaturannya.

Lihat selengkapnya