Hari yang sudah menjelang petang Bayu kembali ke tempat yang sering dia kunjungi. Tempat yang kini telah berubah menjadi sangat menyeramkan. Bulu kuduknya kembali berdiri. Bau anyir darah bercampur bersama kepulan asap yang mengandung banyak mengandung karbon monoksida, timbal, hydrogen sianida, dann teman-temanya, menambah sesak dialiran paru – paru.
Motor yang dikendarai oleh berhenti di depan toko milik Hana dan Suaminya yang dalam keadaan terbuka isi toko sudah kosong. Deg… Jantung Bayu bergetar sangan hebat membawa hingga sampai ke otak. Kepala Bayu mulai dipenuhi dengan bayangan buruk. Belum lagi suara jeritan menusuk – nusuk gendang telinganya.
Bayu menguatkan dirinya. Dia berlari masuk ke bagian belakang toko. Bergegas menuju lantai dua. Mata bayu terbuka lebar. Kakinya melemah melihat lantai dua yang berantakan. Ada darah dimana – mana. Kaki Bayu yang masih belum sembuh seratus persen terasa melemah. Bayu kembali mendapati dirinya yang terkena serangan panik yang menyerang keras relung kalbunya.
Bayu menguatkan dirinya melawan perasaannya. Kakinya kembali bergerak memeriksa setiap ruangan dari rumah Hana. Dia bahkan sampai mencari ke dalam lemari, bawah ranjang, dan semua tempat yang memungkinkan untuk bersembunyi. Namun tidak ada juga dia menumukan satu pun orang di sana. Mata Bayu menemukan bercak – bercak darah yang tertinggal di beberapa titik yang sukses membuat hatinya lunglai. Hingga menjatuhkan tubuhnya yang bergetar di atas kerasnya permukaan lantai.
Dengan tubuhnya yang masih bergetar. Bayu menarik ponselnya, Dia mencoba untuk menghubungi Zey. Dia berharap Hana dan suaminya telah pergi dengan selamat dari tempat itu. Hubungan telepon dengan Zey telah masuk. Hanya saja belum diangkat oleh Zey. Dan berakhir putus begitu saja. Bayu kembali menghubungi Zey. Kali ini terdengar suara tersambung dengan Zey.
“Hallo, ada apa Bayu?”
“Bang, sekarang ini kerusushan.” Kata Bayu dengan suara yang bergetar. “Bang Zey, tahu kemana Ci Hana dan Ko Halim?”
“Iya, di daerah sini, ada yang membakar kantor polisi.” Sahut Zey yang juga terdengar kalut. “Hana? Aku tidak tahu dimana Hana? Coba kau datangi tokonya. Atau aku kan usahakan datang ke sana juga.”
“Aku sudah di sini, Bang. Tidak ada satu orang di sini, Bang. Yang ada hanya darah.” Bayu mulai meraung.
“BAYU… TENANG…” Teriak Zey dari ujung teleponnya. “Tarik napasmu. Abang mohon jangan berpikir macam – macam. Kamu keluar dari sana sekarang. Cari mereka sekitar situ. Abang akan segera ke sana. Tenang ya.” Zey mencoba menenangkan Bayu.
Bayu yang menangis tak menjawab. Dia hanya mampu untuk menganggukkan kepalanya.
“Kabarkan abang apa pun yang terjadi.” Pinta Zey.
Tiba – tiba telinga Bayu menangkap suara langkah kaki yang menaiki tangga. Bayu dengan cepat menyeret tubuhnya untuk bersembunyi di balik sofa. Dia yang merasa perlu menyiapkan dirinya sebelum menghadapi apa pun itu yang akan datang.
“Bang, sepertinya ada yang datang.” Bayu berkata dengan pelan sebelum menyudahi pembicaraan dengan Zey.
Tanpa menunggu jawaban Zey, Bayu sudah menutup hubungan telepon itu. Dia menyimpan ponselnya di saku, dan menarik pisau lipat dari sana. Bayu menyeka air matanya yang sempat jatuh di pipi. Dia mengambil posisi yang siap menyerang dari balik sofa. Bayu mengintip sosok yang datang.
Bimo muncul dari tangga dengan memopong Halim. Melihat apa yang dicarinya, Bayu keluar dari balik sofa. Dia langsung menghampiri Bimo yang kepayahan membawa tubuh Halim, Bayu segera membantu. Mereka meletakkan Halim yang tak sadarkan diri di sofa.
“Mana Ci Han, bang?”