Gelap di Buru

Kalam Insan
Chapter #1

Jerat Perintah

AKU ingat hari itu, dengan segala detail yang menyesak dalam ruangan kecil berlampu kuning redup di kantor komando. Hanya ada meja kayu besar, tua dan penuh goresan seperti tubuh perwira yang duduk di depanku—Komandan Tugas Wilayah. Kabut tembakau yang mengambang berat di udara seperti asap dupa dalam upacara kematian. Hari itu tak ada tawa, tak ada ucapan selamat datang. Yang ada hanya keheningan tegang dan sebaris kata-kata perintah yang meluncur bagai tembakan peluru dari mulut Komandan. Di sampingnya, Kapten Juwono, lelaki dengan wajah datar seperti papan tulis, berdiri. Tatapan matanya kosong, seolah dinding-dinding tak berguna dari ruangan itu lebih menarik perhatiannya daripada aku yang berdiri menunggu di depannya.

“Letnan Suryo,” Komandan mulai, tanpa basa-basi, “kau ditugaskan untuk pengawasan di Pulau Buru.” Pulau yang kusebut nama asing itu seakan baru di telingaku, sepotong wilayah di ujung kemerdekaan negeri ini, jauh dari keramaian Jakarta. Namun, bagiku, kata-kata itu lebih berat dari batu yang jatuh langsung di atas dadaku.

Aku, yang baru saja mendapatkan pangkat ini, mencoba mencerna kalimatnya dengan teguh. “Siap, Komandan,” jawabku tanpa gemetar, berusaha mempertahankan muka teguh, meskipun di dalam, segala ketegangan meletup-letup, berbaur dengan kegelisahan yang tak terucapkan. Ada perasaan campur aduk yang tak bisa kuabaikan, semacam curiga dan ketidakpastian yang menyelinap dalam benakku—ini adalah penugasan untuk membuktikan kesetiaanku, atau… sebuah cobaan yang datang terlalu cepat?

“Ini bukan penugasan sembarangan,” lanjut Komandan, menekan setiap kata yang keluar dari bibirnya yang tipis. “Kau tidak sekadar mengawasi. Kau akan memastikan mereka tunduk pada negara yang sudah membebaskan mereka dari kegelapan ideologi yang salah.” Lalu dia terdiam, memandangku dengan tatapan tajam. “Ideologi itu harus dimusnahkan,” ujarnya.

Aku menunduk, menjawab dengan bisu. Apa yang bisa kukatakan? Bahwa aku sendiri tak mengerti sepenuhnya ideologi macam apa yang harus kami musnahkan? Aku hanya tentara, menjalankan tugas seperti ayahku dulu, seperti yang kakekku jalankan pada masa kolonial. Kami dibesarkan untuk mematuhi, bukan untuk bertanya.

Komandan melanjutkan. “Kau akan diberi wewenang penuh, Suryo, untuk memastikan bahwa para tahanan itu tidak menyebarkan pengaruhnya. Kau paham?” Di belakangnya, Kapten Juwono mengangguk setuju, meski tanpa ekspresi. Mungkin baginya, ini hanya tugas formalitas. Namun, bagiku, ini adalah masa depan, beban yang kian terasa di atas pundakku seiring setiap kata yang keluar dari mulut mereka. Rasanya seperti mimpi buruk yang terlahir dari dunia nyata.

“Apa ada yang ingin kau tanyakan?” tanya Komandan, seolah membaca kegelisahan yang tersembunyi di balik wajahku.

“Tidak, Komandan. Siap menjalankan tugas,” jawabku. Suaraku terdengar lebih tegas dari yang kukira, meski aku tak bisa menahan gemuruh kecil dalam batinku. Sesuatu bergejolak, hal yang tak terucapkan. Aku tak tahu siapa saja para tahanan itu, tidak tahu apa yang mereka lakukan hingga harus dikucilkan ke pulau terpencil. Dan entah bagaimana, kalimat terakhir dari Komandan terus terngiang di telingaku, ‘mereka harus tunduk pada negara’. Seperti apa ketundukan yang harus kupaksakan pada mereka? Ini bukan hanya soal kepatuhan—ini adalah soal keyakinan, tentang hak seseorang untuk mempertahankan apa yang ada dalam pikirannya, yang hingga detik itu terasa asing bagiku.

“Ini adalah tugas berat, Suryo,” tiba-tiba Kapten Juwono bersuara, nadanya monoton dan jauh dari rasa peduli. “Tugas yang harus kau jalankan tanpa keraguan sedikit pun.” Dia mengucapkan itu dengan tatapan kosong yang seolah telah kehilangan makna. Mungkin, pikirku, ia hanya menjalankan tugas seperti yang biasa dilakukannya. Apakah dia juga merasa sama seperti aku? Atau sudah terlalu lama menjalani kehidupan ini sehingga semuanya kehilangan arti?

Aku keluar dari kantor dengan segala pikiran yang bergemuruh dalam kepala, namun wajahku tetap datar, hanya seperti batu di tepian jalan yang dilewati banyak orang. Ketika kulihat langit di atas Jakarta, tak ada yang berubah, tak ada yang mengisyaratkan bahwa hari itu ada keputusan besar yang baru saja kuambil. Ini hanyalah sebuah penugasan—itu yang kukatakan pada diriku berulang-ulang, seperti mantra. Namun, ada sesuatu di dalam dada yang tak bisa kukendalikan. Pulau Buru—namanya terngiang seperti suara hampa, seperti dengungan yang tak kunjung hilang.

Sore itu, ketika aku duduk sendiri di pinggir jalan di bawah lampu kota yang mulai menyala, aku teringat pada masa kecilku, masa di mana segalanya tampak sederhana. Ayah sering mengajakku berkeliling desa, mengenalkan padaku arti kesederhanaan dan kebebasan. “Kau harus menjadi prajurit yang melindungi, Nak,” kata ayah dengan penuh keyakinan. Aku merasa tak pernah meragukan kata-katanya, hingga hari ini, hingga aku mendapat perintah untuk mengawasi orang-orang yang, entah bagaimana, menjadi musuh tanpa mereka tahu alasannya.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah benar apa yang aku lakukan ini sebuah perlindungan? Atau ini adalah awal dari penyangkalan terhadap diriku sendiri? Berjam-jam lamanya aku terdiam, hingga malam turun dan suara bising kendaraan tak lagi terdengar di sekitar. Hanya aku, seorang diri, menatap jalan panjang yang membentang di depanku, menuju entah ke mana.

Keesokan harinya, sebelum matahari benar-benar terbit, aku sudah berdiri di depan dermaga, menunggu kapal yang akan membawaku ke pulau yang tak pernah kukenal. Aku berdiri kaku, dengan segenggam perasaan yang sulit kugambarkan—semangat yang terkekang oleh ketakutan, hasrat yang tercampur dengan kecemasan. Kapal yang datang terlihat reyot, seperti perahu nelayan yang tak sengaja ditemukan di tepi pantai.

Beberapa prajurit yang berdiri di belakangku saling berbisik, membicarakan segala hal yang tak relevan, mungkin untuk mengalihkan ketakutan yang sama. Mereka tak tahu, tapi aku bisa melihat dalam mata mereka, bahwa mereka menyimpan kecurigaan yang sama sepertiku. Pulau Buru, kamp pengawasan, para tahanan politik—semuanya seolah cerita yang hanya pernah kudengar di berita-berita propaganda yang disiarkan pemerintah. Tapi sekarang, aku adalah bagian dari cerita itu, aku adalah salah satu pemeran yang akan memainkan peran yang tak pernah kuminta.

Ketika kapal mulai bergerak meninggalkan dermaga, aku menatap Jakarta yang perlahan-lahan menghilang di balik cakrawala. Gedung-gedung tinggi, hiruk-pikuk yang selalu kucerca namun kini kurindukan, semuanya lenyap bagai mimpi. Dalam perjalanan itu, pikiranku melayang jauh, membayangkan seperti apa hidup di pulau yang tak berpenghuni kecuali oleh para tahanan yang ditakdirkan untuk menghabiskan sisa hidup mereka di sana.

Aku mulai membayangkan wajah-wajah mereka, pria-pria yang mungkin seusia dengan ayahku, yang mungkin memiliki anak-anak yang menunggu di rumah, atau istri yang setia menunggu kepulangan mereka. Apa dosa mereka hingga harus dicabut dari kehidupannya? Apa yang mereka lakukan hingga harus dikucilkan begitu jauh? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar dalam kepalaku, tapi aku tahu, aku tidak akan menemukan jawabannya. Tugasku hanya untuk mengawasi, hanya itu, dan di situlah batasanku sebagai seorang prajurit.

Dari balik kabin kapal tua yang kini berderit menghadapi hempasan ombak, aku menatap lautan yang membentang, tak bertepi. Langit di atas gelap, berwarna kelabu yang berat, menggantung tanpa ampun seperti kesadaran yang tiba-tiba muncul di benakku tentang peran yang harus kumainkan di pulau terasing itu. Deru mesin kapal yang meraung-raung terus terdengar, menggema dalam ruang sempit yang berbau garam dan asap mesin. Tempat ini bukanlah perjalanan biasa, dan setiap tarikan napas di dalamnya membawa pertanyaan yang belum kutemukan jawabannya.

Di sudut dek kapal, beberapa prajurit berdiri membisu, wajah-wajah mereka menampilkan ketegangan yang tak bisa disembunyikan. Namun, mataku tak tertuju pada mereka. Ada sosok lain, lelaki tua, duduk terdiam dengan tubuh bersandar pada bilik kayu di dekat pintu kabin. Dia mengenakan baju kusam yang tak lagi dapat disebut layak; kainnya penuh noda, sobek di beberapa bagian, seolah menggambarkan perjalanan hidupnya yang keras. Ketika kapal bergoyang lagi diterjang ombak, tubuhnya terhuyung, tapi kedua tangannya yang kurus dan terikat tetap berpegang erat pada kayu. Dia bukan prajurit; dia adalah seorang tahanan, dibawa dalam keadaan terbelenggu.

Aku mencoba tak menatapnya terlalu lama, tetapi ada sesuatu pada sosok itu yang membuatku sulit memalingkan pandangan. Wajahnya kering dan kasar, dihiasi guratan bekas luka yang memanjang dari pipi hingga rahang, seolah dagingnya pernah dikoyak oleh sesuatu yang tajam. Namun, yang paling mencolok adalah matanya. Tatapan itu bukanlah tatapan orang yang kalah; ada sorot keteguhan, keberanian yang ganjil, meski tubuhnya tampak begitu lemah.

“Kau lihat dia?” suara salah satu prajurit tiba-tiba terdengar di sampingku, membuyarkan lamunanku. Aku mengangguk, tak menoleh.

“Namanya Permadi,” katanya dengan nada rendah, seolah menyebut nama yang harus dirahasiakan. “Dia salah satu dari orang-orang keras kepala itu, salah satu tahanan politik. Terakhir kali dia bicara, dia bicara soal rakyat.” Prajurit itu mendengus pelan, cemooh yang terdengar terpendam.

Pikiran tentang "rakyat" di kapal kecil ini begitu kontras, hampir janggal. Aku tidak mengenal Permadi, bahkan aku tak tahu apa yang membuatnya dijebloskan sebagai tahanan politik. Namun, ketika kapal kembali diguncang ombak, Permadi hanya merunduk tanpa suara, mempertahankan keseimbangan dengan segenap kekuatannya. Matanya yang tetap menatapku sejenak membuatku tersadar bahwa di sana ada sesuatu yang tidak bisa begitu saja kuhakimi. Aku tak yakin apakah ini rasa kasihan atau sekadar ketertarikan, tetapi ada sesuatu yang menjalari pikiranku, perlahan tapi pasti.

Aku mengamati Permadi, mencoba memahami kisah apa yang disembunyikannya di balik sosok yang sudah terkikis waktu itu. Di usianya yang terlihat jauh dari masa muda, wajahnya tampak begitu tabah. Gurat-gurat tua itu bukan hanya tentang ketuaan; mereka adalah peta dari sesuatu yang telah dilalui, sesuatu yang aku mungkin tak pernah bisa pahami.

Sementara kapal terus bergerak, aku merasa diriku terjebak di antara dua dunia yang samar: dunia yang kukenal sebagai prajurit, tempat di mana perintah dan kepatuhan menjadi prinsip utama, dan dunia para tahanan ini, yang entah bagaimana terasa lebih manusiawi dan tak terjangkau. Di situ, aku berada di batas, dengan mata Permadi seolah mengajakku untuk bertanya lebih dalam, untuk mengurai makna dari seluruh perjalanan ini.

Ombak kembali menghantam sisi kapal, memercikkan air yang dingin ke wajahku, dan aku menyadari betapa kecil dan rentannya kami semua di tengah laut ini. Kami hanyalah titik-titik kecil, terombang-ambing di antara gelombang yang terus menghantam, tanpa tahu apa yang menanti di ujung perjalanan. Aku mengalihkan pandanganku ke arah laut, mencoba mencari ketenangan di antara riak air yang terus bergerak. Di sana, di dalam kebisuan itu, suara mesin kapal terdengar seolah menjauh, dan ada sepotong kesadaran yang muncul—bahwa dalam kehidupan ini, kekuatan yang sesungguhnya bukanlah tentang kekuasaan dan kendali, melainkan kemampuan bertahan di antara ketidakpastian yang terus mengancam.

Tatapan Permadi, yang penuh dengan sorot keteguhan itu, terus mengikutiku sepanjang sisa perjalanan. Di setiap dentuman mesin kapal, di setiap gemuruh ombak, aku merasa matanya seperti memberi tanda tanya yang sulit kupahami.

---

Telah malam ke sekian ketika kami akhirnya melihat daratan di kejauhan, siluet pohon-pohon tinggi dan bukit-bukit yang terlihat gelap dan mengancam. Pulau Buru. Tanah yang sunyi dan liar. Di sana, entah sudah berapa banyak orang yang dihukum, berapa banyak ideologi yang dipaksa menghilang tanpa jejak.

Kami tiba di dermaga Pulau Buru dengan suasana yang terasa jauh dari tanah air. Angin yang berhembus di sini tak membawa apa-apa selain aroma lembab yang berat, seakan setiap helai dedaunan di hutan sekitarnya telah membusuk, dan dunia ini adalah panggung sunyi yang hanya menyisakan ketakutan dan keteguhan hati. Kapal tua yang kami naiki berhenti dengan suara decitan yang menyakitkan telinga, lalu tenang dalam kesunyian yang terasa mencekik. Kulitku lengket oleh keringat, bukan hanya karena udara panas yang menyelimuti dermaga, tetapi juga oleh beban yang perlahan mencekam hatiku sejak meninggalkan tanah kelahiran.

Di hadapanku, para tahanan berdiri dalam diam, seolah pemandangan ini sudah tak asing lagi bagi mereka. Satu per satu mereka turun dari kapal, langkah-langkah mereka terhuyung, namun ada ketenangan yang tak kuasa kunamakan sebagai kelelahan semata. Ada kesabaran yang tumbuh bersama penderitaan mereka, kesabaran yang kutahu bukan karena ketiadaan pilihan tetapi karena kepasrahan yang hanya dimiliki orang-orang yang telah melewati batas ketakutan. Di balik wajah yang penuh gurat kerasnya hidup, mereka menatap kami, para pengawas mereka, dengan tatapan yang sepi namun penuh arti, membuatku merasa seperti seseorang yang berdiri di tepi jurang antara penguasa dan yang dikuasai.

Aku turun dari kapal dengan langkah mantap, meski hatiku penuh kebingungan. Perasaan itu, yang entah bagaimana menempel erat di dadaku, memberitahuku bahwa inilah awal dari sesuatu yang akan mengubahku. Aku tahu, begitu aku menginjakkan kaki di tanah itu, tak ada jalan untuk kembali.

Kapten Juwono, komandan di pulau ini, berdiri tegak di tepi dermaga. Wajahnya dingin, matanya memandang para tahanan seperti melihat sekawanan ternak yang perlu dikendalikan. Tanpa basa-basi, ia mengeluarkan perintah dengan suara yang dalam, penuh ketegasan yang mengintimidasi. "Baris! Atur barisan kalian!" serunya. Dalam sekejap, para tahanan bergerak, mengatur diri sesuai perintah yang keluar dari mulut Kapten Juwono seperti peluru yang menembus keheningan.

Tangan-tangan mereka terikat, namun mereka tetap berdiri tegak, menunjukkan ketegaran yang tak dapat disembunyikan oleh pakaian mereka yang lusuh dan robek. Mereka bukan sekadar tahanan bagiku; mereka adalah manusia yang pernah memiliki kehidupan yang kini telah direbut, dipaksa menerima takdir di tanah asing ini, tanah yang mungkin tidak akan memberi mereka kebebasan lagi. Dan aku, seorang letnan yang ditugaskan untuk mengawasi mereka, justru menemukan diriku berada dalam kebingungan yang sulit kurangkai dalam kata-kata.

Kapten Juwono mendekat ke arahku, suaranya merendah tetapi penuh tekanan, “Suryo, perhatikan setiap gerak-gerik mereka. Jangan biarkan satu pun dari mereka memengaruhi para prajurit kita.” Matanya menatapku tajam, seolah memahami bahwa aku mungkin memiliki keraguan yang tidak layak dimiliki oleh seorang prajurit.

Aku mengangguk, berusaha menjaga wajahku tetap tenang. Aku tahu maksudnya. Di tempat ini, di pulau yang jauh dari pandangan siapa pun, para tahanan ini adalah “musuh” yang harus selalu diawasi, jangan sampai mereka menunjukkan apa pun yang dapat mengusik ketertiban. Tetapi, dalam batinku, pertanyaan itu tetap mengendap: apakah benar mereka adalah musuh? Apakah manusia yang kini berdiri di hadapanku, manusia yang berjuang hanya untuk berdiri tegak di tanah ini, pantas untuk dihakimi sebagai ancaman bagi negeri kami?

Aku melihat wajah-wajah mereka, mencoba mencari tanda-tanda dari label "pengkhianat" yang disematkan kepada mereka. Namun, yang kutemukan hanyalah mata yang dingin namun hidup, mata yang pernah melihat kemerdekaan tetapi kini terseret dalam derita. Dan di sanalah aku, berdiri di antara mereka dengan seragam dan senjata di tanganku, tetapi hatiku serasa kosong, seperti dermaga ini yang hanya dihuni sunyi dan debu yang terus berterbangan.

Dalam kesunyian yang terusik oleh suara hembusan angin, Kapten Juwono mulai memerintahkan para prajurit untuk mengatur barisan. Para tahanan digiring seperti hewan ternak, menuju barak yang menunggu mereka di tengah pulau. Aku mengikuti dari belakang, langkahku terasa berat. Di hadapanku, deretan punggung mereka yang kurus, langkah-langkah mereka yang letih, semuanya seperti mengukir gambaran tentang kesulitan yang menanti mereka di tempat asing ini.

Di perjalanan menuju barak, aku memperhatikan setiap gerakan mereka, mencari tanda-tanda perlawanan, pemberontakan, atau mungkin sekadar ketidakpatuhan yang bisa menjadi alasan bagi kami untuk menegaskan otoritas. Namun, yang kudapati hanyalah kebisuan yang begitu tebal. Mereka menerima perintah tanpa satu pun gerakan yang sia-sia, seakan mengetahui bahwa perlawanan sekecil apa pun hanya akan membawa mereka kepada siksaan yang lebih besar.

Ketika akhirnya kami tiba di barak, Kapten Juwono memberikan instruksi terakhir dengan nada yang tak kalah kerasnya. Para tahanan dipaksa berdiri di bawah terik matahari yang kini mulai menguasai langit pulau ini, mengelilingi kami, prajurit-prajurit yang siap menindak siapa pun yang berani menunjukkan tanda-tanda pemberontakan.

Setelah menyelesaikan instruksinya, Kapten Juwono menoleh ke arahku, lalu tersenyum tipis. “Ingat, Suryo. Mereka semua adalah musuh. Tak ada lagi kawan di sini, hanya tugas dan perintah yang harus kita taati.” Katanya dengan nada yang dingin, seolah menegaskan bahwa di pulau ini, setiap harapan harus dihancurkan sejak awal.

Aku mengangguk lagi, berusaha mengesampingkan segala keraguan yang semakin memenuhi benakku. Ini bukanlah tugasku untuk memikirkan nasib mereka, aku hanyalah seorang prajurit yang diperintahkan untuk menjaga dan mengawasi, memastikan tak ada yang merusak ketertiban. Namun, di tengah segala tugas ini, aku tetap merasakan sesuatu yang berbeda dalam diriku—perasaan yang perlahan menyusup di sela-sela pikiranku, meragukan keteguhan yang selama ini kupegang.

Tatapanku kembali mengarah pada para tahanan. Wajah-wajah yang lelah, kulit yang mulai terbakar oleh panas matahari, tetapi mereka tetap berdiri tegak, menatap kami dengan mata yang tak lagi penuh ketakutan. Ada kekosongan di sana, tapi juga ada keteguhan yang tak dapat disingkirkan begitu saja. Bagi mereka, mungkin kehidupan di pulau ini adalah kematian yang lambat, namun mereka tetap menunjukkan ketabahan yang tak bisa dipatahkan oleh rantai yang mengikat tangan mereka atau oleh perintah yang terus kami lontarkan dengan nada ancaman.

Dermaga yang kini sepi, hutan yang berdiri tegak di sekeliling kami, dan suara-suara binatang liar yang bergema dari kejauhan seolah menjadi saksi sunyi dari permulaan hidup mereka di pulau ini, dan aku… aku di sini sebagai pengawas yang tak kuasa menghapus pertanyaan yang terus bergema di dalam benakku: apakah benar mereka adalah musuh, atau justru aku yang terperangkap dalam kebutaan perintah?

Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diriku sendiri. Kuperhatikan para tahanan itu sekali lagi, dan dalam senyum tipis yang tak kentara, kurasakan ada sepotong ketenangan yang merayap di dalam dada. Barangkali senyum itu hanyalah upaya kecil untuk menenangkan diriku sendiri, untuk meyakinkan hati bahwa aku melakukan apa yang benar, namun seiring langkah kami yang mulai menjauh dari dermaga, aku tahu di kedalaman batinku, pertanyaan ini tak akan lenyap begitu saja.

---

Pagi dini hari saat pertama kali kami memasuki pintu kamp di Pulau Buru, sejuk udara terasa menyesakkan dada. Jalan setapak menuju kamp penuh dedaunan yang lembap oleh embun, hutan yang mengelilingi kami seolah menjadi benteng sunyi, menutup segala pandangan ke dunia luar. Suara langkah kaki terdengar jelas, menggema di antara batang-batang pohon tinggi yang menciptakan perasaan terjebak dalam perut bumi, terasing dari kebebasan di luar sana.

Ketika sampai di depan gerbang kamp, aku menatap barak-barak kayu yang menjulang, kasar dan tanpa sentuhan keindahan, hanya dibuat sekadar agar dapat bertahan dari kerasnya alam. Tak ada warna yang bisa menyegarkan mata; semua terlihat buram, abu-abu, dan sepi. Seolah kehidupan di sini telah disedot keluar, meninggalkan kerangka bangunan yang sekadar berdiri untuk menampung kesunyian. Namun, ada sesuatu dalam sunyi itu yang memberatkan hati, seakan tempat ini bukan sekadar kamp, tetapi kuburan bagi semangat dan kehendak manusia.

Kapten Juwono berdiri di depanku, mengawasi barisan tahanan yang baru tiba. Wajahnya tenang, tanpa ekspresi yang mengisyaratkan apa pun kecuali kewaspadaan yang tak boleh pudar. Matanya, dingin dan tajam, menyisir para tahanan seolah-olah mereka adalah makhluk asing yang pantas dihindari. Setelah beberapa saat, ia menoleh padaku dan mulai berbicara dengan nada yang rendah tetapi penuh tekanan.

"Perhatikan tempat ini, Suryo. Ini bukan sekadar kamp. Di sini, kita menjaga keamanan negara, dan setiap orang yang kau lihat di barisan ini adalah ancaman. Mereka bukan manusia biasa, jadi jangan pernah berusaha melihat mereka sebagai manusia."

Kata-katanya menembus telingaku, melengking di antara pemikiran-pemikiran yang mulai menumpuk sejak keberangkatan kami. Perintah itu seakan berusaha mencetak ulang pandanganku terhadap manusia-manusia di hadapanku, menjadikan mereka sekadar objek yang harus dikendalikan. Tapi, di balik wajah mereka yang pucat dan lelah, aku tetap melihat sisa-sisa kemanusiaan yang tidak mungkin kuhapus begitu saja. Mereka masih manusia—bernafas, bergerak, bahkan mengedipkan mata dengan cara yang tak jauh beda denganku.

Sementara itu, para penjaga membawa tahanan ke dalam barak. Mereka digiring dengan ketat, tak diberi ruang untuk menoleh apalagi mencoba berontak. Para tahanan mengikuti, sebagian tertunduk, sebagian lagi menatap lurus dengan ekspresi dingin yang sulit diterjemahkan. Di antara mereka, aku melihat seorang pria tua dengan wajah penuh keriput, kulitnya gelap terbakar matahari, namun matanya tetap bersinar tajam. Pandangannya sesaat bertemu denganku, dan di balik ketegaran itu aku melihat sejumput ketidakpercayaan, atau mungkin amarah yang tak pernah terpuaskan.

“Perhatikan, Suryo,” suara Kapten Juwono lagi-lagi menginterupsi lamunanku. “Ini bukan tempat untuk iba. Setiap detik kita di sini adalah untuk mengawasi mereka, setiap langkah adalah untuk memastikan mereka tetap tunduk. Kita bukan teman atau sekutu mereka. Mereka adalah pengkhianat, dan kita ada di sini untuk memastikan mereka tak melupakan itu.”

Aku mengangguk, meskipun dalam hati terdapat pergulatan yang tak mungkin kuungkapkan pada siapapun. Perintah dan pandangan Kapten Juwono menciptakan jurang antara aku dan mereka, membuat mereka terlihat seperti sosok asing yang harus kuawasi tanpa rasa iba, tetapi saat melihat wajah mereka, aku tak mampu menahan diri dari keinginan untuk memahami siapa mereka sebenarnya. Apa yang telah membuat mereka berakhir di sini? Apakah mereka semua benar-benar pengkhianat, atau hanya manusia yang terseret dalam kekacauan zaman?

Barisan tahanan mulai bergerak masuk ke barak, dan aku mengikuti dari belakang bersama beberapa penjaga lain. Setiap langkah kami bergema di lorong sempit yang dingin, tak ada suara lain selain desah nafas dan gesekan kaki yang menapak lantai kayu. Di sinilah mereka akan tinggal, di antara dinding yang rapuh namun dingin, tanpa sedikit pun kenyamanan yang bisa meredam keterasingan mereka. Aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara, seolah-olah setiap tahanan di sini tengah menahan gejolak yang sewaktu-waktu dapat meledak.

Ketika mereka telah masuk, Kapten Juwono memutar tubuhnya, berdiri di tengah lorong sempit, dan dengan suara lantang ia memberi instruksi pada para tahanan. “Kalian semua di sini untuk satu alasan, dan itu adalah menjalani hukuman kalian tanpa banyak bertanya atau menuntut. Tak ada yang bebas di sini, dan siapa pun yang mencoba melawan, hanya akan bertemu dengan siksaan yang lebih berat. Jadi ingat, kalian hanyalah tahanan di sini. Tak ada yang lebih dari itu.”

Kata-kata itu memantul di antara dinding barak, menggema di lorong dan masuk ke dalam benak mereka yang tak kuasa untuk menjawab atau melawan. Aku melihat beberapa tahanan menunduk, sementara yang lainnya tetap berdiri tegak, menantang dengan tatapan yang tajam. Mereka tetap diam, namun dalam kebisuan itu ada perlawanan yang tersirat—perlawanan yang tak butuh kata-kata untuk membuatku memahami kedalaman penderitaan mereka.

Aku terdiam, berdiri di belakang Kapten Juwono dengan perasaan yang campur aduk. Aku tahu tugasku di sini adalah untuk mengawasi, menjaga agar mereka tetap tunduk, namun perintah ini terasa berat di pundakku. Apakah yang kupandang sebagai tugas ini benar-benar jalan yang harus kuikuti? Di dalam barak ini, mereka bukan sekadar tahanan. Mereka adalah manusia yang dipaksa hidup di tempat yang jauh dari kehidupan mereka sebelumnya. Bagaimana mungkin aku bisa memandang mereka sebagai ancaman hanya karena seragam yang kugunakan?

Ketika akhirnya Kapten Juwono selesai memberi instruksi, ia menatap para penjaga, termasuk diriku, seolah meminta kami untuk menyerap dan menjalankan setiap perintah yang ia berikan tanpa banyak bertanya. “Suryo, jangan terlalu banyak berpikir. Di sini kita menjalankan tugas. Mereka adalah musuh negara, dan tak ada lagi yang perlu diperdebatkan.”

Aku mengangguk, berusaha menjaga sikap hormat dan patuh. Namun, dalam hatiku, ada sesuatu yang perlahan mengusik keyakinanku. Kata-kata itu seolah memaksaku untuk menutup mata terhadap apa yang kulihat dengan jelas: orang-orang ini mungkin memang musuh, tetapi mereka juga korban dari keadaan yang tak bisa mereka kendalikan. Mereka dipaksa menerima nasib tanpa pernah diberi kesempatan untuk membela diri, dan aku, meski berdiri di sisi yang berlawanan, tak bisa menghilangkan rasa simpati yang perlahan tumbuh dalam hatiku.

Ketika akhirnya kami keluar dari barak, meninggalkan para tahanan di dalam, aku menatap ke arah mereka sekali lagi. Mata-mata mereka tetap memandang kami, penuh ketegaran yang hanya dapat dimiliki oleh orang-orang yang telah melewati batas ketakutan dan harapan. Aku berusaha menenangkan pikiranku, mencoba meyakinkan diriku bahwa ini adalah jalan yang benar, bahwa mereka adalah musuh yang harus diawasi. Namun, bisikan itu terus mengganggu di dalam hati: apakah aku benar-benar berada di pihak yang benar?

Langkahku terasa berat ketika keluar dari barak. Setiap helaan napas terasa semakin dalam, membawa segala perasaan ragu dan ketidakpastian yang mulai menjalari pikiranku. Pulau ini, tempat kami berdiri, seakan menciptakan dunianya sendiri—dunia di mana manusia kehilangan jati diri dan tak ada yang bisa diandalkan kecuali kehendak untuk bertahan. Aku tahu, dalam dunia ini, perintah adalah satu-satunya yang dapat kugenggam dengan pasti. Namun, seiring dengan setiap kata yang diucapkan Kapten Juwono dan setiap langkah yang kutempuh, bayang-bayang keraguan itu tak pernah lenyap, seakan mengejarku dengan ketakutan yang diam.

Ketika aku berhenti sejenak di depan barak, aku merasakan detak jantungku yang berpacu lebih cepat. Aku tahu ini adalah awal dari tugasku sebagai pengawas di pulau ini, tetapi dalam diriku, aku tak bisa mengabaikan perasaan bahwa tugasku ini adalah beban yang lebih berat dari yang pernah kubayangkan. Aku menghela napas panjang, mencoba mengusir keraguan itu, tetapi pada akhirnya, aku hanya bisa berdiri di sana, terdiam, dan mengamati mereka dari kejauhan, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya di kamp sunyi ini.

---

Aku melangkah pelan, berusaha menyerap setiap sudut kamp yang baru kuhuni ini. Udara terasa berat, panas menyengat dari tanah kering, bercampur dengan debu yang berterbangan seiring angin tipis yang bertiup lambat. Kakiku menyusuri jalan setapak yang mengarah ke barak tahanan. Di kanan-kiriku, wajah-wajah lelah dan kusam para tahanan berbaris, diam tanpa suara, seolah mencoba memisahkan diri dari kenyataan di sekitar.

Sebelum aku sempat melangkah lebih jauh, mataku menangkap sosok tua yang familiar. Permadi. Pria tua yang kutemui di kapal, wajahnya masih keras namun seolah-olah sekarang semakin dilumuri oleh waktu yang tak pernah memberinya istirahat. Dia berdiri di dekat pintu barak, matanya yang tajam memperhatikan sekeliling tanpa ekspresi yang berarti, tapi dalam tatapan itu ada sesuatu yang tak bisa diabaikan—sebuah ketenangan yang penuh makna, seperti lautan yang menyembunyikan badai di kedalamannya.

Lihat selengkapnya