RUANGAN itu selalu pengap, seolah dinding-dinding kayu tua menyimpan suhu yang tak mampu diredam angin dari luar. Meski kipas usang berputar pelan di atas kepala, tak ada angin yang terasa. Ruang kantor utama, tempat segala keputusan keras diciptakan, adalah ruang yang disesaki sesuatu yang lebih tebal daripada udara: kekuasaan. Juwono duduk di meja besarnya, tangan kirinya menggenggam puntung rokok yang hampir habis. Puntung itu kini tak lebih dari abu panjang, melengkung seperti beban yang menanti jatuh.
Aku berdiri di hadapannya, menunggu, seolah dinding dan lantai turut berkonspirasi mengurung kami dalam diam yang tidak nyaman. Dari jendela kecil di sudut, secercah cahaya masuk, redup dan terpantul dari lantai yang kusam.
“Kau harus memperketat disiplin, Suryo,” suara Kapten Juwono memecah kesunyian. Nada bicaranya tidak terlampau keras, bahkan terlalu tenang untuk perintah sepenting itu. “Terlalu banyak kelemahan di sini, dan itu harus kita bereskan.”
Aku mengangguk, tanpa mengubah ekspresi. Kata-katanya mengawang, menggantung di udara, tanpa meninggalkan makna yang tuntas. Namun, dalam hati, aku tahu benar arti dari ‘disiplin’ yang dimaksud olehnya. Di mulut Juwono, disiplin bukan sekadar aturan. Ini adalah kekerasan, yang tak mengenal ampun, tak memerlukan alasan.
Dia menarik napas, menatap ke luar jendela dengan tatapan tajam. “Tempat ini,” katanya sambil menunjuk sekitar, “adalah ruang yang harus tunduk pada kedisiplinan militer. Di tempat seperti ini, tidak ada belas kasihan, tidak ada kompromi. Kau harus paham itu, Suryo.”
Aku mengangguk lagi, menjaga agar pikiranku tidak bocor melalui raut wajah. Namun, hatiku bergolak. Aku merasa seolah sedang melihat ke dalam kaca gelap, tempat nuraniku dan tugas sebagai prajurit saling memantul, membingungkan.
Kapten Juwono menyulut rokok baru, isapan pertama menyisakan kepulan asap tebal yang membumbung ke langit-langit. “Ada beberapa tahanan yang mulai menunjukkan tanda-tanda… kebandelan,” ujarnya, menyipitkan mata seolah mengira-ngira kata yang tepat untuk menggambarkan tindakan mereka. “Seperti Permadi, misalnya.”
Nama itu seperti pedang tajam yang menusuk, mengingatkanku akan tatapan tajam Permadi yang telah menebar benih keraguan di hatiku. Sudah dua kali tatapan itu membekas, meruntuhkan benteng yang selama ini kubangun untuk membedakan mereka sebagai ‘tahanan’ belaka.
“Aku tahu kau orang yang taat, Suryo. Kau tidak mungkin mempermasalahkan perintahku,” suara Juwono tajam, memastikan aku tidak akan tergelincir keluar jalur. Dia melemparkan pandangan yang penuh ancaman halus, meski bibirnya masih tersenyum tipis. “Kau akan melaksanakan tugas ini tanpa ragu, bukan?”
Pikiranku berdesakan, tapi tetap tak ada yang keluar melalui mulut. Ada beban yang tak terlihat, semakin berat, seperti rantai tak kasat mata yang membelitku lebih erat setiap kali aku mengiyakan perintahnya. “Iya, Kapten,” jawabku singkat, dingin, berusaha meredam semua ketakutan, semua tanda keraguan yang mungkin terbaca.
Dia tampak puas. Matanya meneliti wajahku, mungkin mencari sisa-sisa pembangkangan atau ketidaksetujuan yang ingin kubantah, tapi tak kuasa kuungkapkan. Kapten Juwono adalah pria yang hidup di bawah bendera aturan. Baginya, disiplin adalah hukum tertinggi, tidak untuk dipertanyakan, apalagi dikritik. Dan aku, aku hanya pelaksana.
Aku mulai memikirkan apa yang mungkin menantiku ketika kembali ke lapangan. Aku bisa membayangkan bagaimana wajah-wajah para tahanan yang sedang bekerja di bawah terik, dan mungkin ada di antara mereka yang sudah siap menyambutku dengan tatapan yang serupa dengan Permadi—tatapan yang mempertanyakan nilai hidup dan siapa aku sebenarnya.
“Baiklah, Suryo,” katanya akhirnya, memadamkan rokoknya di asbak penuh dengan abu. “Ingat, jangan biarkan mereka berpikir mereka bisa main-main di sini. Mereka harus tahu bahwa mereka berada di bawah kendalimu.”
Aku mengangguk sekali lagi, walau aku sadar bahwa di balik anggukan itu, ada pergulatan yang tak akan pernah terkatakan.
---
Langit malam di Pulau Buru hitam pekat, bintang-bintang tersebar jauh di atas seperti bara yang redup, seolah takut mendekati tanah yang penuh misteri dan beban ini. Udara malam menggigit, membuat setiap helaan napas terasa berat, dan camp ini, di tengah kegelapan, menjadi lautan ketidakpastian yang tak pernah kukenal sebelumnya.
Aku berjalan perlahan di sekitar barak, mendengar langkahku sendiri yang seakan mempertegas kesunyian di sekitarku. Cahaya bulan tak begitu terang, hanya sesekali menembus ranting pohon dan memantul pada tanah keras berdebu yang telah diinjak ribuan kali oleh sepatu-sepatu lelah. Sesekali terdengar suara napas berat dari para tahanan di dalam barak, sekadar bunyi kecil yang hilang di antara desir angin dan gelegar malam. Di tempat ini, tidur adalah sebuah perlawanan, dan kesunyian adalah kemewahan yang langka.
Aku berhenti di salah satu sudut, mengamati sekelilingku dengan cermat. Di malam seperti ini, kamp bukan lagi sekadar wilayah penjagaan, tapi labirin penuh pertanyaan yang menyeretku ke dalam keraguan, lebih dalam dan dalam lagi. Setiap kali melihat barak yang berdiri kaku di bawah cahaya bulan, pikiranku tak henti-henti bertanya: siapa mereka sebenarnya yang terkurung di sana? Apa yang mereka simpan dalam kepala mereka yang tak terlihat? Apakah semuanya sebatas 'musuh' atau mungkin ada yang lebih dari itu?
Dan di sanalah, di sudut jauh barak, aku melihat sosok yang tetap terjaga—Permadi, duduk bersila dengan tangan yang disandarkan di lutut, wajahnya tenggelam dalam kegelapan. Matanya, yang tampak sendu namun penuh keteguhan, melihat entah ke arah mana, namun seolah ia sedang melihat lebih jauh dari apa yang tampak di hadapannya. Sebuah ketenangan yang menciptakan jarak antara dirinya dan barak-barak sekitar, seakan ia hidup dalam dunia yang berbeda, sebuah dunia yang tetap ia genggam meski dikurung tanpa ampun.
Kakiku mengarah mendekatinya, pelan-pelan tanpa tujuan jelas. Mungkin karena rasa ingin tahu, atau mungkin juga karena tatapan Permadi seakan memanggilku tanpa kata-kata. Angin malam menyapu wajahku, dan ketika jarakku cukup dekat, Permadi mendongak, melihatku dengan mata yang memancarkan sebuah kelelahan, namun juga kebijaksanaan yang sulit dipahami. Kami terdiam beberapa saat, hanya suara malam yang merasuk di antara kami.
"Letnan Suryo," ia menyapaku dengan suara rendah, hampir seperti bisikan. Tidak ada kemarahan dalam suaranya, tidak pula ketakutan, hanya nada yang datar dan dingin. “Apa kau tahu apa yang kau jaga di sini?”
Aku tak menjawab. Aku hanya menatapnya, merasakan gejolak yang seolah meledak dalam diriku. Pertanyaannya sederhana, tapi terlalu besar untuk kukendalikan. Kata-katanya menusuk dalam, mengusik hatiku yang seharusnya keras, seolah mengguncang fondasi yang selama ini kukira kukuh.
Dia menghela napas, lalu tatapannya kembali ke kejauhan, ke kegelapan di balik jeruji barak. “Kita semua di sini dipaksa melihat dunia dari satu sisi,” gumamnya pelan, hampir seperti berbicara pada dirinya sendiri. “Tapi siapa yang menentukan sisi mana itu yang benar?”
Kata-kata itu, sederhana namun penuh makna, seketika meresap dalam diriku. Kebenaran. Salah. Benar. Konsep-konsep yang selama ini kuanggap jelas menjadi buram, seakan Permadi sedang menghapus batas yang selama ini kupahami dengan pasti. Aku tahu tugas yang kuemban, aku tahu aturan yang mesti kupatuhi. Tapi pertanyaan Permadi itu seolah menggelitik bagian dalam batinku yang selalu kucoba pendam. Bagaimana aku bisa yakin bahwa apa yang kuanggap benar adalah kebenaran yang sejati?
Kutatap Permadi, tapi tak ada satu pun yang keluar dari bibirku. Apa yang bisa kuucapkan padanya? Aku hanyalah seorang tentara, seorang yang diperintahkan untuk menjaga, untuk memastikan bahwa para tahanan ini tidak melarikan diri atau menimbulkan kerusuhan. Tetapi malam ini, di bawah naungan langit yang pekat, peran itu terasa kecil, terasa hampa.
“Apa kau pernah meragukan sesuatu, Letnan?” Permadi bertanya lagi, tanpa mengharapkan jawaban.
Sekali lagi aku terdiam. Mungkin seharusnya aku berbalik, mengabaikannya dan pergi. Aku seharusnya tak terjebak dalam percakapan ini. Percakapan semacam ini adalah kelemahan. Namun, malam ini, hatiku seperti enggan berlari dari bayang-bayang pertanyaan yang Permadi lontarkan.
“Aku hanya menjalankan tugas,” sahutku akhirnya, dengan suara yang lebih terdengar seperti pembenaran untuk diriku sendiri. “Kau adalah tahanan. Di sini, di tempat ini, aturan harus dijalankan.”
Permadi tersenyum samar, senyum yang tampak pahit dan penuh dengan kelelahan yang sulit diukur. “Tugas,” ia mengulangi kata itu, seolah memaknai ulang setiap hurufnya. “Apa kau pernah memikirkan, Letnan, bahwa tugas dan tanggung jawab terkadang membutakan kita dari kenyataan yang lebih luas?”
Hatiku bergetar. Kata-katanya semakin mengaburkan batas antara aku sebagai pengawas dan dia sebagai tahanan. Ini bukan soal benar atau salah lagi, tetapi sebuah ruang yang tak terlihat di antara keduanya. Permadi, pria yang secara fisik tampak lemah dan ringkih di depanku, mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang meruntuhkan tembok keyakinanku.
Malam semakin dalam, dan hanya angin yang menjadi saksi percakapan ini. Permadi menatapku, dalam tatapan yang seolah mencari-cari sesuatu. “Bagaimana bisa kita tahu benar atau salah, Letnan?” ucapnya pelan, suaranya serak tapi jelas. Kata-kata itu meluncur seperti doa, menggema di setiap sudut hatiku, meninggalkan luka yang tak terjangkau.
Aku tidak menjawab. Bahkan aku tak tahu apa yang harus kukatakan.
Dengan perlahan, Permadi menundukkan kepalanya, kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri. Pertanyaan terakhirnya terus bergaung dalam benakku, menggaet perasaan yang selama ini kukira sudah mati. Langkahku terasa berat saat aku beranjak pergi, membiarkan Permadi dalam dunianya yang sendiri. Rasanya seperti melarikan diri, menjauh dari suara batin yang mencoba bicara, mencoba mematahkan semua benteng pertahanan yang selama ini kubangun dengan keras kepala.
Aku melangkah, namun kata-katanya tak mau pergi. Batin yang sejak lama terbiasa dengan komando dan perintah, malam ini, diruntuhkan oleh seorang tahanan yang di mataku kini tak lagi sekadar sosok yang patut diawasi. Malam ini, Permadi telah memberiku sesuatu yang lebih menakutkan dari sekadar perlawanan fisik—ia memberiku perlawanan dalam batinku, menyisakan pertanyaan yang akan selalu kembali menghantuiku.
---
Malam turun dengan heningnya yang selalu mengancam, membekap dinding asrama prajurit di Pulau Buru. Di kamar sempitku, hanya ada ranjang besi, satu meja kecil, dan kursi tua yang sandarannya mulai lepas. Dari celah-celah dinding kayu, hembusan angin malam masuk, membuat udara terasa lebih dingin dan lembab. Tubuhku letih, namun kepalaku penuh dengan bayang-bayang hari ini—deretan tahanan yang diam dalam kelaparan, mata Permadi yang masih terbayang ketika ia menatapku dengan sebuah pesan yang tak perlu diucapkan.
Kupaksakan diriku untuk tidur, mengabaikan suara hati yang masih bergema, berusaha menepis bayangan wajah-wajah mereka. Kupalingkan wajah ke dinding, berharap kantuk segera datang seperti malam-malam sebelumnya, ketika aku masih bisa menikmati tidur tanpa merasa dihakimi. Tapi malam ini berbeda. Begitu mata tertutup, kegelapan datang dengan caranya sendiri, menyelinap lebih dalam, membuat diriku seperti melayang, terlempar ke tempat asing.
Aku berada di tengah padang luas. Tak ada pohon, tak ada rumah, hanya hamparan tanah yang tak berbatas. Aku berdiri sendirian, memandangi sekitar yang begitu kosong—atau mungkin hanya menunggu. Lalu perlahan, dari kejauhan, sosok-sosok itu muncul. Mula-mula hanya titik-titik kecil yang bergerak, makin lama makin jelas—mereka datang dari segala arah, mengelilingiku dalam diam.
Mereka adalah wajah-wajah yang sudah kukenal, wajah para tahanan. Mata mereka hitam pekat, menatapku dalam-dalam tanpa emosi. Satu per satu mereka datang, mendekat tanpa suara, tanpa hentikan langkah mereka. Permadi ada di antara mereka, berjalan paling depan, memimpin seperti seorang tua yang membawa rombongan orang-orang setengah mati. Tubuh mereka kurus, pucat, dan penuh luka. Ada yang jalannya pincang, ada yang berdarah di bibir, ada pula yang tangannya patah dan tergantung lemas.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku lenyap. Aku ingin berlari, tapi kakiku seolah tertanam dalam tanah. Wajah-wajah mereka mendekat, semakin dekat, hingga aku bisa melihat setiap guratan di wajah mereka. Napasku tercekat, tersiksa oleh kepungan tatapan mereka yang dalam dan menyakitkan. Tak ada satu kata pun yang mereka ucapkan, tapi aku bisa mendengar suara-suara yang menggema di kepalaku—bisikan yang menuduh, yang menyalahkan.
"Kaulah yang membuat kami seperti ini," suara itu terdengar. "Kaulah yang menonton saat kami kelaparan. Kaulah yang diam ketika kami dipukuli, dihina, dirampas martabatnya."
Permadi berdiri tepat di depanku. Mata hitamnya menusuk, bibirnya melengkung ke bawah, seperti hendak berkata sesuatu. Tapi, sama seperti yang lain, ia diam. Hanya matanya yang berbicara, menelanjangiku dari dalam, menguak rasa bersalah yang kubenamkan dalam-dalam. Tubuhku bergetar, tapi aku tak mampu beranjak. Semua orang ini, dalam diamnya, adalah hakim yang mengadili.
Tanah di bawah kakiku terasa seperti tenggelam, membuat tubuhku semakin jatuh ke dalamnya, sementara para tahanan semakin mendekat, mengepung dari segala arah. Aku merasakan beban yang menghimpit dada, seakan-akan udara telah diambil dari dunia ini. Nafasku tersengal, berkeringat dingin, dan tatapan mereka makin menjadi-jadi, tak memberi sedikit pun celah bagi ketenanganku.
Satu per satu mereka mengulurkan tangan, hendak meraihnya. Sentuhan mereka dingin, namun mengakar ke dalam, mengukirkan rasa bersalah dan takut di jiwaku. Aku mencoba menutup mata, tapi bayang-bayang itu tak hilang, semakin mendalam, semakin kuat.
Aku terbangun mendadak, terduduk di atas ranjang dengan napas tersengal-sengal. Mataku membelalak, menatap kegelapan kamar yang sunyi, seakan baru kembali dari jurang maut. Seluruh tubuhku basah oleh keringat dingin, leherku kaku, jantungku berdetak begitu cepat hingga aku bisa mendengar detakannya memekakkan telinga. Aku pandangi tanganku, yang bergetar tanpa kendali, seakan-akan tangan-tangan itu masih menahan bekas sentuhan dingin dari mimpi yang baru saja kualami.
Aku mencoba bernapas dalam-dalam, berharap ketenangan, tapi bayangan itu tak mau pergi. Wajah-wajah itu masih terpatri di mataku, terutama Permadi, dengan tatapan hitamnya yang menembus jiwaku. Aku memegangi kepalaku, berusaha melawan perasaan takut dan bersalah yang menyerang tanpa ampun. Tapi itu tak mudah, karena meski aku telah bangun, mimpi itu terasa begitu nyata, meninggalkan bekas di benakku.
Kupaksakan tubuh untuk bangkit dari ranjang, berjalan ke meja kecil di sudut kamar. Kuteguk sisa air di dalam cangkir kaleng, mencoba menenangkan diri. Tapi meski air itu dingin, panas dari keringat dan perasaan bersalahku tak juga lenyap. Malam ini, untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar sendirian, terkepung oleh suara hati yang mulai meronta, menggugat keputusanku sendiri.
Di kamar yang sunyi ini, aku menyadari satu hal: tidur tak lagi memberiku ketenangan. Setiap kali mata terpejam, bayangan para tahanan itu akan selalu ada di sana, menunggu dengan tatapan mereka yang membekas. Satu demi satu wajah itu kembali ke benakku, seakan-akan menyusun barisan di dalam pikiranku, menuntut penjelasan atas diamku yang selama ini.
Aku menoleh ke luar jendela kecil di samping kamar, melihat malam yang membentang tanpa bintang. Angin yang dingin menyelinap masuk, menyentuh wajahku dengan lembut, seakan berusaha meredakan api yang berkobar di dalam dadaku. Tapi aku tahu, angin ini takkan bisa menyingkirkan bayangan mimpi itu. Bayangan itu adalah hasil dari apa yang kulakukan, dari apa yang kupilih. Dan meski aku coba menepisnya, aku tahu mereka akan terus datang, membawa kebenaran yang tak ingin kudengar.
Kembali aku duduk di atas ranjang, membiarkan tubuhku tenggelam dalam kesunyian malam. Di kejauhan, suara malam di pulau ini menggaung, terdengar seperti bisikan yang memperdalam rasa takut. Rasanya seperti aku tak lagi berada di sini, di ruangan ini. Jiwa dan pikiranku seolah terperangkap di antara dunia nyata dan bayang-bayang yang terus mengintai.